Hikmawan Firdaus | Rie Kusuma
Cover novel Turning Seventeen.[Dok. Ipusnas]
Rie Kusuma

Ada perasaan yang tiba-tiba menghangat di dalam hati, selain juga rasa getir yang mengiringi seusai saya membaca novel Turning Seventeen karya dari Artie Ahmad.

Turning Seventeen terbitan dari Elex Media Komputindo pada tahun 2015 berkisah tentang persahabatan lima orang gadis remaja, yaitu Keana, Prila, Dirza, Zizi, dan Sekar.

Menggunakan sudut pandang Keana, pembaca akan diajak menekuni kisah persahabatan mereka yang penuh hal-hal manis: hangout bareng, curhat, bimbel, sampai main game favorit mereka Truth or Dare.

Namun, persahabatan indah tersebut ternyata juga memiliki setitik cela, ketika masing-masing dari mereka menyembunyikan rahasia yang tak diketahui satu sama lain. Lalu datang rahasia terbesar milik Sekar, yang merenggangkan jarak antara mereka dan nyaris meruntuhkan persahabatan yang telah terjalin sekian lama.

Aku mengemudikan mobilku dengan perasaan yang tidak menentu. Sedih, kecewa, bingung, dan marah bercampur menjadi satu. Aku tak pernah menyangka bahwa apa yang aku dapatkan hari ini begitu mengecewakan. (Hal. 118)

“Aku nggak nyangka. Ternyata cewek seperti kamu juga bisa ngasih malu ke teman-teman kamu.” Suara Zizi membuat kami terkejut. (Hal. 116)

Turning Seventeen dikemas dalam narasi-narasi sederhana dengan dialog-dialog lugas nan segar, penuh keakraban dan kehangatan, meski kadangkala disisipi amarah dan ego yang bergejolak.

Novel ini mengangkat konflik-konflik yang realistis dan dekat dengan kehidupan remaja, seperti percintaan yang bertepuk sebelah tangan, salah pergaulan, oedipus complex, dan rahasia-rahasia yang disembunyikan antara satu sama lain.

Beberapa konflik tak butuh waktu lama dalam penyelesaian. Seperti kasus Zizi yang harus terjaring razia polisi di sebuah night club. Peran serta para sahabatnya yang menjadi penjamin dan membantu proses pembebasan Zizi terasa menghangatkan hati.

Beberapa konflik lainnya membangkitkan berbagai emosi yang menguras energi saya sebagai pembaca. Di sini kepiawaian seorang Artie Ahmad teruji, bagaimana beliau berhasil mengaduk-aduk perasaan saya, sampai ada satu momen yang membuat saya meneteskan air mata terus-menerus.

Karakteristik para tokohnya saya pikir masih bisa dieksplor lebih dalam lagi, selain dari penggambaran impian dan cita-cita mereka, seperti Keana, sang narator, yang fokus pada tujuannya untuk menjadi seorang arsitek. Dirza sang kutu buku dan berkeinginan besar menjadi seorang penulis. Prila sang pencinta alam yang ingin mendaki puncak merbabu. Zizi sang ratu modis yang gemar hangout. Lalu ada Sekar, si paling anggun, pintar, dan agak menutup diri.

Selain hal tersebut yang saya anggap sebagai kekurangan dari novel ini adalah pada mudahnya para tokoh dalam novel Turning Seventeen mencapai tujuan dan cita-citanya, serta beberapa plot yang lemah.

Namun, di luar dari kekurangannya, melalui novel Turning Seventeen para pembaca bisa melihat sisi lain dari kehidupan remaja yang ternyata cukup kompleks dan penuh rahasia, tapi sekaligus menghangatkan hati.