Sekilas, Caping Gunung merupakan sebuah piranti berbentuk kerucut yang dibuat dari anyaman bambu dan dipakai selayaknya topi. Gunanya, tentu saja melindungi kepala dari panasnya siang hari.
Umumnya, caping gunung masih eksis di pedesaan khususnya kalangan petani, atau sekadar hiasan tembok ala saya, haha! Ah iya, nama lainnya adalah capil.
Namun, Caping Gunung rupanya menjelma menjadi langgam yang gayeng atau merdu, sekaligus menyampaikan makna yang mendalam.
Caping Gunung sendiri adalah karya dari Gesang, dan diciptakan pada tahun 1973 dalam versi keroncong. Meskipun sempat meledak lagi di tahun 1985 dalam versi campursari dan dibawakan oleh Waldjinah. Meski begitu, esensi lagu ini seakan tak pernah lekang oleh waktu.
Caping Gunung secara spesifik menggambarkan situasi era sebelum kemerdekaan, yang dibuktikan pada lirik ndek jaman berjuang (pada jaman berjuang/mungkin merujuk pada era peperangan), dan juga jarene wis menang, wis keturutan sing di gadhang (katanya sudah menang, sudah tercapai yang diinginkan/sudah mencapai kemerdekaan).
Bukan hanya menggambarkan kesulitan di masa itu, Caping Gunung juga menjabarkan momentum menyedihkan ketika harus melepas sang anak lelaki untuk terjun ke medan perang. Toh, pada jaman itu, bukan hanya pasukan tentara saja yang berdiri di barisan, melainkan para laki-laki dari kalangan rakyat juga.
Oleh karena itulah, langgam ini seakan menegaskan kerinduan orang tua terhadap anak lelakinya. Anak yang telah mereka rawat sepenuh hati dalam kehidupan masyarakat pegunungan, dengan lirik ning gunung tak cadhongi sega jagung (di gunung/desa di pegunungan kuberi makan nasi jagung. Sebab, pada jaman itu nasi beras masih sulit didapat). Yen mendung tak silihi caping gunung (bila mendung/hendak hujan, kupinjami caping gunung).
Walau garis besarnya adalah kerinduan terhadap sang putra yang tak kunjung pulang meski kemerdekaan telah diraih, langgam ini juga menyampaikan harapan pada generasi berikutnya. Bukan hanya sekadar kemerdekaan di atas hitam putih, melainkan kemajuan dan pemerataan fasilitas di berbagai daerah.
Hal ini seolah menjadi ciri khas bagi para generasi penyintas jaman, mungkin kakek dan nenek kita akan sangat relate sih. Sebab, impian mereka bukanlah kemewahan pribadi, melainkan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Intinya, langgam Caping Gunung bukan hanya sekadar langgam biasa, melainkan mengandung harapan dan cinta bagi generasi selanjutnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Moringa Oleifera: Suara Alam dalam Intrik Mistik dan Gema Reboisasi
-
Mengompos: Healing Buat Manusia Yang Patah Hati, Healing Buat Bumi
-
Bancakan Pitulasan: Tradisi Unik Ramaikan HUT RI yang Menyatukan Perbedaan
-
Ulasan Novel Lewat Tengah Malam: Teror dan Misteri dari dalam Kulkas Bekas
-
Luka dan Tangis Pengampunan dalam Cerpen Mengarungi Samudra Kehidupan
Artikel Terkait
-
Dikunjungi Dian Sastro di Lokasi Syuting Film Rangga & Cinta, Leya Princy Gugup
-
Layanan Door to Door Percepat PosIND Salurkan Bansos PKH dan Sembako
-
Lirik Lagu Iclik Cinta, Dikecam Usai Dinyanyikan di Makam Bung Karno: Benarkah Tak Senonoh?
-
Kurikulum Cinta Diperkenalkan Menteri Agama: Misi Pendidikan Berbasis Kasih Sayang untuk Masa Depan Bangsa
-
Memahami Cinta yang Sempurna Menurut Sudut Pandang Sternberg
Ulasan
-
Dari Utas viral, Film Dia Bukan Ibu Buktikan Horor Nggak Lagi Murahan
-
Review The Long Walk: Film Distopia yang Brutal, Suram, dan Emosional
-
Menyikapi Gambaran Orientasi Seksualitas di Ruang Religius dalam Film Wahyu
-
Review Film Janji Senja: Perjuangan Gadis Desa Jadi Prajurit TNI!
-
Review Film Dilanjutkan Salah, Disudahi Perih: Drama Romansa Penuh Dilema
Terkini
-
Rumah Tangga Retak? Sabrina Unfollow Deddy Corbuzier Bikin Curiga
-
Stop Percaya Mitos! Dokter Kulit Bongkar 5 Salah Kaprah Soal Jerawat yang Bikin Makin Parah
-
ID Liputan Dikembalikan, Ekspresi Diana Valencia Jadi Sorotan
-
Pratama Arhan dan Azizah Salsha Resmi Bercerai, Warganet JustruMerayakan
-
Polusi Plastik Mengancam Pesisir, Bagaimana Partisipasi Publik Jadi Solusi?