Cerita legendaris Mahabharata berhasil direkonstruksi oleh Seno Gumira Ajidarma melalui kacamata yang berbeda. Apabila biasanya kisah Mahabharata mengagungkan kehebatan lima Pandawa, kelicikan Kurawa, dan kedahsyatan perang Bharatayuddha, tetapi kini sosok Drupadi yang lebih disorot penulis.
Drupadi merupakan putri dari Kerajaan Pancala. Konon, kecantikannya melebihi apa pun yang ada di dunia. Oleh sebab itu, buku ini dibuka dengan bab yang berjudul Kecantikan yang Melebihi Mimpi. Dikisahkan bahwa Drupadi lahir dari sekuntum bunga teratai dan keberadaannya selalu meninggalkan bau wangi.
Novel ini langsung dibuka dengan peristiwa sayembara Kerajaan Pancala untuk mencari calon suami Drupadi. Kisah Mahabharata yang diadopsi ke pewayangan Jawa menyebutkan Drupadi hanya bersuami Yudhistira saja, tetapi Seno Gumira Ajidarma menggunakan versi asli yang menggambarkan Drupadi sebagai istri Lima Pandawa.
Cerita berlanjut pada peristiwa permainan dadu antara Yudhistira dengan Kurawa. Beberapa kisah menyoroti nasib Pandawa yang kehilangan wilayah dan harta setelah kalah permainan dadu. Namun, nasib Drupadi tak kalah tragis karena peristiwa ini membuatnya dipermalukan dan dilecehkan.
Sebagai perempuan, Drupadi tidak memiliki kekuatan untuk membela dirinya sendiri. Sementara itu, Pandawa tidak membela Drupadi karena kalah taruhan dan telah menjadikan Drupadi sebagai taruhan permainan.
Peristiwa ini menjadi titik balik perasaan Drupadi. Setelah dipermalukan, dipermainkan, dan dilecehkan oleh Kurawa dalam permaianan dadu, Drupadi akhirnya bersumpah tidak akan membersihkan dan menyisir rambutnya sebelum ia membilas rambutnya dengan darah Dursasana.
Alur cerita terus berlangsung hingga peristiwa perang Bharatayuddha. Setelah kekalahan Kurawa dan Bima berhasil membunuh Dursasana, Drupadi akhirnya menepati dendamnya dengan membasuh rambut dan menyiram dirinya dengan darah Dursasana. Sayangnya, perang ini memberi duka baru bagi Drupadi karena ia harus kehilangan seluruh anak-anaknya mati terbunuh.
Setelah Perang Bharatayuddha, Drupadi melakukan perjalanan mendaki gunung Mahameru bersama Pandawa untuk melaksanakan Yoga Pemusnahan, sebuah cara untuk menyatukan diri dengan sumber kehidupan dan alam semesta. Di perjalanan ini, Drupadi akhirnya mengembuskan napas terakhirnya.
Sepanjang cerita, pembaca akan menemui kisah kehidupan Drupadi yang tragis sekaligus miris. Sebagai perempuan keturunan kerajaan, Drupadi tidak memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri.
Kisah Drupadi dalam novel ini memang sangat kental dengan isu subordinasi perempuan dan patriarki. Perempuan, yang dalam konteks novel ini adalah Drupadi, dianggap berada di posisi yang lebih rendah dari lelaki. Sementara itu para lelaki, seperti Pandawa dan Kurawa mewakili perilaku yang patriarki.
Peristiwa sayembara menjadi simbol bahwa perempuan bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Apalagi ketika Pandawa saling lempar Drupadi agar dinikahi salah satu dari mereka, kian menguatkan kalau perempuan tidak memiliki kesempatan untuk bersuara dan membela haknya.
Isu patriarki, ini makin terasa saat peristiwa permainan dadu. Pandawa yang dianggap kesatria justru mempertaruhkan Drupadi dalam permainan dadu dengan Kurawa. Pada akhirnya, Drupadi memperoleh penghinaan dan pelecehan dari Kurawa karena hanya dipandang sebagai objek taruhan semata.
Pada salah satu dialognya, Drupadi mengatakan bahwa ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Meskipun hidup sebagai keturunan Kerajaan Pancala dan istri raja Kerajaan Indraprastha, ia merasa menderita dan tidak bahagia.
Narasi ini menjadi penggambaran bahwa posisi perempuan dalam status sosial tidak menjamin bahwa ia bisa memperoleh hak kebebasan atas diri sendiri.
Novel Drupadi menjadi sebuah upaya rekonstruksi kisah yang menyayat hati sekaligus tajam mengkritik ketimpangan gender.
Hal menarik lainnya adalah novel ini ditulis berdasarkan data dan rujukan yang jelas, termasuk naskah asli kisah Mahabharata.
Identitas buku
Judul: Drupadi
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2017
Tebal buku: 175 halaman
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ulasan Buku Journal of Gratitude: Syukuri Hal Sederhana untuk Hidup Bahagia
-
Ulasan Buku My Olive Tree: Menguak Makna Pohon Zaitun bagi Rakyat Palestina
-
Ulasan Novel Terusir: Diskriminasi Wanita dari Kacamata Budaya dan Sosial
-
Membaca Buku Self Improvement, Sumber Motivasi atau Malah Toxic Positivity?
-
Ulasan Novel Petjah: Benang Takdir yang Membuka Luka di Masa Lalu
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Animal Farm karya George Orwell: Revolusi Menjadi Tirani
-
Ulasan Novel 1984 karya George Orwell: Kengerian Dunia Totalitarian
-
Review Novel 'Perjalanan Menuju Pulang': Pulang Tak Selalu Soal Rumah
-
Ulasan Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Sejarah Kelam Indonesia
-
Ulasan Novel Rindu karya Tere Liye: Perjalanan Panjang Menemui Makna Hidup
Ulasan
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
Terkini
-
4 Padu Padan Outfit Warna Putih ala Bona WJSN yang Kece Buat Hangout!
-
Ditanya Malam Pertama Setelah Menikah, Amanda Manopo: Kita Coba Hari Ini!
-
Sinopsis Light of Dawn, Drama China yang Dibintangi Zhang Ruo Yun
-
Bunda Maia Beri Pesan Hidup pada Marshanda dan Maria Theodore: Pengalaman?
-
Gagal Redam Lawan, Bukti Skema Dua Bek Tengah Tak Cocok di Timnas Indonesia