Menonton film animasi seringkali dikaitkan dengan hiburan ringan yang penuh warna dan imajinasi. Namun, Jumbo membuktikan kalau animasi juga bisa menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan cerita emosional dan menggugah hati penonton.
Film produksi Visinema Studios ini disutradarai Ryan Adriandhy, dengan deretan pengisi suara yang luar biasa, beberapa di antaranya: Prince Poetiray, Den Bagus Sasono, Ratna Riantiarno, Yusuf Ozkan, Graciella Abigail, Quinn Salman, M. Adhiyat, dan beberapa pendukung lainnya.
Dengan latar cerita yang kaya dan visual yang memanjakan mata, Film Jumbo jadi salah satu film animasi Indonesia yang layak diperhitungkan buat di tonton pas Lebaran 2025 lho.
Sekilas tentang Film Jumbo
Don (suaranya diisi sama Prince Poetiray dan Den Bagus Sasono) si anak bertubuh besar yang sering diejek teman-temannya dengan panggilan "Jumbo". Sejak kehilangan kedua orangtuanya, dia tinggal bersama sang nenek, Oma (Ratna Riantiarno), yang merawatnya dengan penuh kasih.
Satu-satunya peninggalan orangtuanya yang sangat berarti bagi Don adalah sebuah buku berjudul Pulau Gelembung, dongeng yang selalu menemani harinya. Buku itu nggak cuma sumber hiburan, tapi juga penghubung emosional yang membuatnya merasa tetap dekat dengan ayah dan ibunya.
Ketika Don berencana mengadaptasi isi Buku Pulau Gelembung ke dalam pertunjukan bakat di sekolah, tiba-tiba buku itu dicuri oleh Atta (M. Adhiyat), si anak yang sering merundungnya.
Bersama dua sahabatnya, Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail), Don berusaha merebut kembali buku tersebut. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan Meri (Quinn Salman), hantu anak misterius yang cantik dan penuh keajaiban, meminta bantuan Don untuk kembali kepada orangtuanya.
Dari sinilah perjalanan Don nggak hanya soal mendapatkan kembali buku kesayangannya, tapi juga memahami makna kehilangan dan mau mendengarkan cerita orang, termasuk bagaimana cara menghadapi ujiannya.
Impresi Selepas Nonton Film Jumbo
Saat pertama kali mendengar tentang Jumbo, aku pikir ini akan jadi film animasi anak-anak yang ringan, penuh humor, dan petualangan seru. Tapi ternyata, film ini punya lapisan emosi yang dalam. Don, sebagai karakter utama, nggak digambarkan sebagai korban dari keadaan, melainkan anak yang mencoba menghadapi duka dengan caranya sendiri.
Satu hal yang sangat aku suka adalah bagaimana film ini menangkap perasaan anak-anak dalam menghadapi kehilangan. Nggak ada penggambaran kesedihan yang berlebihan, tapi lebih ke bagaimana mereka mencari cara untuk tetap terhubung dengan orang-orang yang mereka cintai, entah melalui benda-benda kenangan, imajinasi, atau pertemanan.
Hubungan Don dengan buku dongeng peninggalan orangtuanya terasa sangat lekat banget deh. Dan itu mengingatkanku, bahwa terkadang kenangan bisa jadi jembatan antara yang telah pergi dan yang masih bertahan.
Asli deh, cara film ini membangun karakternya tuh top banget. Sosok Atta, misalnya, nggak sekadar digambarkan sebagai anak yang suka merundung. Film ini memberinya latar belakang yang jelas, sehingga kita sebagai penonton bisa memahami mengapa dia bertindak seperti itu. Hal yang sama juga berlaku untuk karakter lain, termasuk sahabat-sahabat Don yang selalu mendukungnya.
Aku juga terkesan dengan bagaimana film ini ngasih ruang untuk para karakter dewasa, terutama Oma. Sosok nenek Don ini bukan sekadar pelengkap, tapi jadi figur penting yang membimbing Don melewati rasa kehilangannya dengan penuh kehangatan.
Secara visual, Jumbo tampil dengan gaya animasi yang kece badai! Warna-warna pastel yang digunakan menciptakan suasana yang hangat dan nyaman, cocok dengan tema dongeng dan nostalgia yang diangkat. Detail kecil seperti tekstur kain, bentuk bola kasti, makanan, hingga suasana kampung tempat Don tinggal dikerjakan dengan sangat baik.
Aku juga menyukai bagaimana film ini menangkap nuansa era 2000-an, dari kebiasaan anak-anak bermain di luar rumah tanpa gadget, hingga makanan nasi telur kecap yang bikin ngiler saking kelihatan nyatanya. Terlepas latar tempat Don dan teman-temannya bermain di lapangan kosong terasa seperti tribute untuk anime Doraemon, di mana Nobita dan kawan-kawan juga punya tempat serupa. Nggak apa-apa kok.
Pokoknya, dengan penceritaan yang solid, karakter yang kuat, dan animasi yang indah, termasuk dengan ending yang bikin mata berkaca-kaca, film ini jadi bukti kalau animasi Indonesia bisa bersaing di tingkat global!
Skor: 4,2/5
Baca Juga
-
Review Film Angkara Murka: Horor dan Kekuasaan di Balik Gelapnya Tambang
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Review Film Lilo & Stitch: Live-Action yang Cuma Dibikin Ulang?
-
Review Film Gundik: Teror Siluman Ular Saat Rumahnya Dirampok
-
Apa yang Membuat Film Final Destination - Bloodlines Sukses Besar?
Artikel Terkait
-
Film Muslihat: Tipu Daya Iblis di Panti Asuhan, Siapa yang Akan Tersesat?
-
3 Beda Film Pabrik Gula Versi Cut dan Uncut, Pahami Dulu Sebelum Nonton!
-
Review Qodrat 2: Lebih Religius dan Lebih Berani Menebar Teror!
-
Bertema Okultisme, 3 Karakter Pemeran Utama Film Holy Night: Demon Hunters
-
Ada Annabelle, 5 Film Hits Ini Ternyata Diproduksi dengan Budget Rendah
Ulasan
-
Review Film Angkara Murka: Horor dan Kekuasaan di Balik Gelapnya Tambang
-
Ulasan Novel The Three Lives of Cate Kay: Antara Karier dan Keluarga
-
Film Komedi Kinda Pregnant, Kebohongan Kehamilan Menjadi Realita Emosional
-
6 Rekomendasi Wisata Air Terjun di Sumba, Ada yang Mirip Niagara
-
Review Film Lilo & Stitch: Live-Action yang Cuma Dibikin Ulang?
Terkini
-
Netflix Buka Suara Soal Yeji ITZY Gabung Alice in Borderland Season 3
-
4 Klub Unggas Sudah Berjaya di Tahun 2025, tapi Masih Ada Satu Lagi yang Harus Dinantikan!
-
Haechan akan Merilis Lagu The Reason I Like You, OST Second Shot At Love
-
Film Animasi KPop Demon Hunters Umumkan Jajaran Pengisi Suara dan Musik
-
Wacana BRI Liga 1 Tambah Kuota 11 Pemain Asing, Ini 3 Dampak Negatifnya