Jika kamu adalah penggemar karakter female lead yang kuat, tangguh, dan cerdik, mungkin kamu bakal suka dengan The East Wind of the Altas.
The East Wind of the Altas adalah manhwa yang diadaptasi dari novel karya Gaskelle yang mengusung genre psychological, romance, historical, dan bumbu misteri manis, dengan rating 18+.
Manhwa ini menurutku menyajikan alur dan konflik yang dikemas begitu memukau, tentang perebutan tahta dan garis keturunan ya. Jadi, walau konfliknya cukup mainstream untuk sebuah manhwa historical kerajaan, tetapi eksekusinya ciamik dan bikin nagih. Tentu sedikit dibalut dengan tension tinggi khas 18+, dan taburan bumbu stockholm syndrome tipis.
The East Wind of the Altas mengisahkan seorang janda muda bernama Claire, yang nggak sengaja berhadapan dengan Marquiss Balt Morenheitz, sang tuan tanah kaya raya sekaligus ksatria ahli pedang yang masih mewarisi darah salah satu pendiri negeri. Balt digadang-gadang mampu menjadi kaisar berikutnya, lantaran kemampuannya yang mumpuni dan juga karena bersekutu dengan prajurit setia kekaisaran Lungern, yaitu pasukan Teuton.
Yah, meski Balt nggak terlalu memikirkan tahta karena dia malas kalau harus berseteru dengan kubu Grand Duke ataupun kubu Kaisar yang sekarang sih. Dia lebih suka mengamuk di peperangan daripada duduk di tahta kekaisaran.
Pertemuan Balt dengan Claire terjadi karena kecerobohan yang membuat Balt menebas kuda kesayangannya. Dan demi membayar ‘hutang’ atas kematian kuda, Claire harus melayani Balt.
Maksudku, ini aneh sekaligus agak kagum dengan penggambaran karakter Claire. Dia bisa saja minta maaf kemudian kabur, tetapi Claire justru menganggap kejadian tadi sebagai hutang yang harus dibayar. Kayak apa ya, Clair menyerahkan dirinya pada Balt yang tentu diterima dengan sukacita lah! Apalagi visual janda muda ini memang cakep dengan mata biru menyala.
Setelah melalui malam bersama, yang digambarkan nggak begitu eksplisit tetapi penuh dengan tension menembus layar, Balt pun mengetahui bahwa Claire masih perawan. Bahkan, ketiga anak yang dibawa bersama bibinya bukanlah anak Claire, melainkan para keponakan.
Dari situ, readers akan disuguhi dengan kebucinan Balt yang masih angkuh dan arogan, bahkan mulutnya minta dilakban saking gacornya. Balt sendiri yang begitu mendamba tubuh Claire, tapi dia malah menuduh Claire kegatalan.
Dasar mulut lancip macam soang!
Kisah kasih mereka begitu sangar karena dibalut dengan romantisme syahdu, pertikaian hingga saling lempar umpatan, hingga komedi ringan lewat chibi-chibi sekaligus beberapa interupsi dari ksatria yang lain. Malahan, salah satu ksatria begitu gigih menggoda Claire yang membuat Balt ngamuk macam abege kasmaran haha.
Namun, karakter Claire rupanya diungkap perlahan chapter demi chapter. Pengembangan karakternya begitu memikat karena nggak hanya menyajikan sisi perempuan lemah, tetapi sangat manipulatif juga. Selain itu, ada plot twist yang mencengangkan dan melahirkan misteri kala identitas aslinya terungkap.
Bahwa Claire adalah garis keturunan terakhir Kaisar Ringgen, dari negeri tetangga Lungern yang berambisi merebut tahtanya kembali. Barangkali, peribahasa jangan melihat buku dari sampulnya menang bener sih.
Yah, walau dari visual begitu rupawan dengan ekspresi yang meminta simpati, rupanya Claire adalah perempuan tangguh lho. Dia bahkan ‘sengaja’ memanfaatkan Balt demi suksesinya dalam membangkitkan negerinya yang hancur. Yah walaupun ada unsur kebucinan Balt sehingga dia mau-mau saja dimanfaatkan sih.
Menurutku sendiri, pengembangan karakter Claire ini adalah esensi dari manhwa ini sendiri. The East Wind of the Altas berhasil menyajikan sisi spesial suatu manhwa meski dengan alur dan konflik yang mirip dengan manhwa lain. Di samping itu, ending yang disajikan juga cukup memuaskan walau agak gantung sedikit, ketika Claire berhasil menggenggam tahtanya, dan dia memiliki hidup bahagia bersama Balt.
Art style yang disuguhkan juga sangat ciamik, lengkap dengan chibi-chibi lucu yang mengeksekusi komedi dalam manhwa. Walau ada perubahan drastis antara season 1 dengan season berikutnya hingga ending. Bagiku, art style di season 1 lebih hidup dari penggambaran visual maupun proporsi tubuh para karakter. Sedangkan di season berikutnya justru proporsi tubuh berubah, malahan para karakter terlihat begitu kurus ramping.
Kesannya seperti membaca buku tapi terbalik. Agak aneh.
After all, The East Wind of the Altas bolehlah bernilai 8 dari 10. Oh ya, manhwa ini masih on-going lho. So, kamu berminat membaca?
Tag
Baca Juga
-
Bertualang Seru Penuh Kejanggalan Lewat Cerpen Misteri Hutan Larangan
-
Novel Salah Asuhan: Hagemoni Kolonial, dan Keegoisan Pribumi
-
Banda Neira Kembali 'Menghidupkan' Lewat Lagu 'Mimpilah Seliar-liarnya'
-
Daytime Star: Art Dewa, Karakter Green Flag, Klise Tapi Bikin Penasaran
-
Ulasan Novel Life After You: Keikhlasan dan Cinta Sejati dalam Situasi Perang
Artikel Terkait
-
5 Shadow Terkuat Sung Jinwoo Tampil Perdana di Musim Ketiga Solo Leveling
-
3 Bos Dungeon Terkuat di Solo Leveling yang Berhasil Dikalahkan Sung Jinwoo
-
Kupas Alasan Sistem Pilih Jinwoo Jadi Wadah Shadow Monarch di Solo Leveling
-
Review Serena: Story Berat, Art Cakep, dengan Tension yang Menembus Layar
-
3 Karakter Akan Bersinar di Anime Solo Leveling Season 3, Ada Favoritmu?
Ulasan
-
Novel Only Lovers in the Building:Podcast Cinta dari Dua Orang yang Terluka
-
Masih Tayang di Bioskop, Kupas Soft Sci-fi Film Sore: Istri dari Masa Depan
-
Novel Maid for Each Other: Komedi Romantis tentang Cinta dan Harga Diri
-
Ulasan Novel Flip-Flop: Terjebak di antara Aku, Kamu, Jarak, dan Dia
-
Ulasan Film Sihir Pelakor: Drama Perselingkuhan Berbalut Teror Gaib!
Terkini
-
BRI Super League: Betinho Perkaya Opsi Strategi Arema FC, Ini Kata Pelatih
-
Salip World War Z, F1 Kini Jadi Film Terlaris Sepanjang Karier Brad Pitt
-
Kesehatan Mangaka Menurun, Manga Rurouni Kenshin Hokkaido-hen Hiatus Sebulan
-
Jelang Tayang, Kreator Beber Hal Baru dari Wednesday Musim Kedua
-
Kru Topi Jerami Kembali! One Piece Live Action Season 2 Rilis Preview Baru