Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Cahaya Bintang Tareem (DocPribadi/Miranda)

“Bagaimana jika cinta bukan sesuatu yang kau kejar, tapi sesuatu yang pelan-pelan tumbuh karena keadaan dan takdir?”

Kalimat itu berulang kali saya pikirkan usai membaca novel Cahaya Bintang Tareem karya TaaNee Jee. Sebuah novel fiksi Islami yang ringan namun menyimpan lapisan makna tentang cinta, pernikahan, dan perjalanan batin dua manusia yang awalnya bahkan tidak saling menyukai.

Kisah ini bermula dari insiden kecil tapi memalukan di sebuah pesta pernikahan. Algha dan Dee—dua orang asing yang tidak pernah terikat apa pun—mendadak menjadi pusat perhatian karena kejadian yang membuat keduanya dianggap “harus bertanggung jawab” secara moral di hadapan keluarga dan masyarakat. Dalam situasi yang mendesak, dengan reputasi yang dipertaruhkan, satu-satunya jalan keluar yang dianggap "terhormat" adalah: menikah.

Mungkin kita sudah sering mendengar cerita pernikahan yang diawali tanpa cinta. Tapi TaaNee Jee membungkusnya dengan cara yang segar: tidak mendayu-dayu, tidak terlalu dramatis, tapi juga tidak datar. Algha dan Dee adalah dua karakter yang sama-sama kuat dan keras kepala, namun punya nilai-nilai yang berbeda. Dee religius, lembut, dan berhati-hati dalam menjaga dirinya. Algha logis, praktis, dan awalnya agak cuek terhadap nilai-nilai agama.

Menikah karena keadaan tentu bukan sesuatu yang romantis. Tapi dalam novel ini, justru dari hubungan yang terasa “kering” di awal itulah cinta perlahan disemaikan. Mereka membuat kesepakatan: rumah ini hanya tempat tinggal bersama. Tidak ada cinta, tidak ada harapan apa-apa. Tapi waktu dan kebersamaan yang terus berlangsung menghadirkan momen-momen kecil yang perlahan mengubah segalanya.

Apa yang membuat saya tertarik bukan hanya alur ceritanya, tapi juga latar yang digunakan. Penulis mengambil setting di Tareem, Yaman—kota kecil yang dikenal sebagai kota seribu wali. Tempat ini tidak hanya memperkaya imajinasi visual pembaca, tapi juga memberi latar spiritual yang kuat dalam narasi. Saya seperti dibawa berjalan di antara lorong-lorong tua di Tareem, mencium aroma rempah khas Timur Tengah, mendengar lantunan doa, dan merasakan denyut kehidupan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu agama di negeri orang.

Saya menyukai bagaimana penulis menyeimbangkan antara drama personal dan nilai-nilai spiritual. Banyak momen dalam novel ini yang memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi dalam pernikahan, bagaimana pengaruh salat berjamaah, bagaimana perlahan Algha mulai belajar untuk menjadi suami yang memimpin dengan hati, bukan ego. Ini bukan kisah tentang laki-laki yang menyelamatkan perempuan, atau sebaliknya. Ini kisah tentang dua orang yang saling tumbuh dan saling menguatkan, walau awalnya terpaksa hidup bersama.

Tentu saja, novel ini bukan tanpa cela. Beberapa bagian terasa agak terlalu "rapi", terlalu idealis. Misalnya, konflik batin tokoh kadang terasa diselesaikan terlalu cepat. Beberapa dialog juga cenderung formal dan kaku, dengan sapaan “kau” dan “saya” yang kadang membuat pembaca merasa sedang menonton drama klasik, bukan cerita kontemporer. Tapi saya memahami bahwa mungkin ini adalah bagian dari gaya khas penulis, atau upaya menjaga kesopanan narasi.

Hal yang menarik lainnya adalah gaya penulisan TaaNee Jee yang sederhana, tidak terlalu puitis tapi tetap menyentuh. Bahasa yang digunakan bisa dicerna dengan mudah oleh pembaca remaja maupun dewasa muda, tanpa kehilangan pesan moral yang ingin disampaikan. Salah satu kutipan yang paling saya ingat adalah ketika Dee berkata: “Kadang kita harus menutup mata dari luka, agar bisa melihat cahaya yang datang setelahnya.” Kalimat ini sederhana, tapi mengena. Seolah mewakili perjalanan batin yang dialami Dee selama proses penyesuaian dalam pernikahan.

Membaca Cahaya Bintang Tareem seperti melihat lukisan cinta yang tidak selesai dalam satu sapuan kuas. Cintanya tumbuh dalam jeda, dalam doa-doa yang disampaikan dalam diam, dalam saling memaafkan dan membuka diri. Novel ini mengajarkan bahwa cinta sejati bukan selalu tentang getaran pertama, tapi tentang keputusan untuk tetap bertahan dan merawat perasaan.

Bagi kamu yang sedang dalam proses hijrah, mempertimbangkan pernikahan, atau mungkin pernah merasakan getirnya mencintai dalam keterpaksaan, buku ini bisa menjadi cermin dan penghibur. Ia tidak memberikan jawaban pasti, tapi menunjukkan kemungkinan bahwa cinta bisa datang meski awalnya tidak diminta. Dan bahwa Tuhan selalu punya cara misterius untuk mempertemukan dua hati. Karena mungkin, cinta sejati bukan yang kita rencanakan. Tapi yang Tuhan izinkan tumbuh.

Miranda Nurislami Badarudin