Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film Mungkin Kita Perlu Waktu (IMDb)

Aku akhirnya nonton film Mungkin Kita Perlu Waktu di bioskop CGV BG Junction Surabaya, Kamis (15/5/2025). Film garapan Teddy Soeriaatmadja ini udah bikin penasaran sejak trailernya rilis, apalagi setelah mendapat respons positif di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024.

Dengan popcorn di tangan dan hati yang siap dibikin baper, aku duduk di kursi bioskop, dan nggak nyangka bakal diajak naik roller coaster emosi selama 98 menit. Yuk, aku ceritakan pengalaman nonton film ini!

Begitu lampu bioskop redup dan layar mulai menyala, kita langsung dibawa ke suasana keluarga yang kelihatannya "baik-baik aja" dari luar, tapi sebenarnya rapuh banget.

Ceritanya berfokus pada Restu (Lukman Sardi), Kasih (Sha Ine Febriyanti), dan anak mereka, Ombak (Bima Azriel), yang berjuang mengatasi trauma setelah kehilangan Sarah (Naura Hakim), anak sulung mereka, karena kecelakaan.

Trauma ini bikin hubungan mereka retak—Restu mati-matian agar menjaga keutuhan keluarga, Kasih menyimpan amarah yang meledak-ledak, dan Ombak tenggelam dalam depresi sampai pernah mencoba bunuh diri. Alur ceritanya lambat tapi ngena, seperti mengajak kita pelan-pelan menyusuri luka masing-masing karakter.

Sutradara Teddy Soeriaatmadja emang jagonya bikin cerita yang personal dan emosional. Di film ini, dia nggak cuma membahas soal duka, tapi juga menunjukkan bagaimana setiap orang punya cara sendiri untuk mengatasi lukanya sendiri.

Teddy bilang, film mengambil inspirasi dari five stages of griefdenial, anger, bargaining, depression, acceptance—dan ini kelihatan banget dari karakternya.

Kasih, misalnya, stuck di fase anger, sering marah-marah yang mirip banget sama bom waktu. Restu keliatan denial, berusaha sok kuat untuk keluarganya. Sementara Ombak, duh, depresinya bikin pengin peluk dia lewat layar.

Bima Azriel memainkan karakternya juara banget, matanya penuh kesedihan tapi juga ada secercah harapan ketika bertemu Aleiqa (Tissa Biani), perempuan bipolar yang membawa warna baru dalam hidupnya.

Review Film Mungkin Kita Perlu Waktu

Salah satu adegan di film Mungkin Kita Perlu Waktu (IMDb)

Ngomongin soal akting, Lukman Sardi dan Sha Ine Febriyanti adalah powerhouse. Lukman sebagai Restu bikin kita merasakan dilemanya sebagai ayah yang pengin menjaga keluarganya akan tetapi tak tahu caranya.

Sha Ine sebagai Kasih? Wow, dingin, keras kepala, tapi di balik itu ada luka yang dalam. Chemistry mereka berdua bikin adegan-adegan kecil, seperti cuma duduk bareng di meja makan, terasa berat banget.

Tissa Biani juga nggak kalah, Aleiqa yang dia perankan punya vibe ceria tapi rapuh, membuat dinamika dengan Ombak jadi salah satu highlight di film ini.

Oh iya, Asri Welas sebagai psikolog Nana juga mencuri perhatian. Dialognya bersama Ombak, terutama soal musik yang "enak dinikmati pas bahagia, gampang dimengerti pas sedih," bikin aku merinding.

Secara visual, Mungkin Kita Perlu Waktu punya tone yang gloomy tapi cantik. Sinematografinya bikin kita merasa dekat dengan karakternya, apalagi di adegan-adegan close-up yang menangkap emosi mentah mereka.

Scoring-nya juga top, lagu “Waking Up Together With You” yang dipakai di beberapa adegan bikin suasana makin nyesek tapi juga hangat. Tapi, ada satu hal yang agak mengganggu: subplot soal rencana umroh Restu dan Kasih.

Meskipun relevan untuk menunjukkan realita di masyarakat, rasanya agak nanggung dan bikin film ini sedikit terasa mirip dengan drama religi yang nggak begitu maksimal.

Di tengah film, aku merasa seperti sedang bermain di wahana halilintar. Ada momen-momen yang bikin gelisah, campur aduk antara sedih, marah, dan harapan. Klimaksnya, menjelang akhir, benar-benar bikin napas tertahan.

Tanpa spoiler, aku cuma bisa bilang bahwa ending versi Director’s Cut (yang katanya beda dari versi JAFF) memberikan closure yang adil untuk Restu dan Kasih.

Teddy bilang dia pengin memberi akhir yang lebih bikin lega, dan menurut aku, dia berhasil. Ketika lampu bioskop menyala, aku lihat beberapa penonton mengelap air mata—termasuk aku sendiri sih.

Film ini bukan cuma hiburan semata, tapi juga cermin untuk kita melihat dinamika keluarga. Aku merasa relate banget sama tema komunikasi yang buruk antargenerasi, apalagi ketika lihat Ombak yang merasa asing di rumah sendiri.

Pesan utamanya? Kadang, kita butuh waktu untuk berdamai dengan luka, dan nggak ada cara yang "benar" atau "salah" untuk mengatasi duka. Film ini mengajak kita untuk lebih peka dengan orang-orang di sekitar, termasuk yang kelihatannya "baik-baik aja."

Kesimpulannya, Mungkin Kita Perlu Waktu adalah film yang bikin hati nyesek tapi juga memberikan harapan. Dengan akting yang kuat, cerita yang emosional, dan arahan Teddy yang ciamik, film ini wajib banget ditonton, terutama kalau kamu suka drama keluarga yang ngena di hati. Bawa tisu, ya, karena pasti kamu bakal butuh! Untuk rating 8.5/10.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ryan Farizzal