Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Flat Girls: Potret Persahabatan, Rusun, dan Kelas Sosial
Poster Film Flat Girls (IMDb)

Ada sesuatu yang istimewa saat ada film bicara tentang masa muda dari sudut pandang yang sangat membumi. Bukan tentang anak sekolahan elit dengan seragam rapi dan kehidupan serba wah, tapi justru tentang dua remaja perempuan yang tumbuh di kompleks perumahan polisi (sebuah rusun yang sempit, padat, dan penuh cerita). 

Flat Girls’, film asal Thailand yang produksi GDH, membawa kisah semacam itu dengan penuh kedalaman, tapi tetap terasa ringan dan emosional lho. 

Disutradarai Jirassaya Wongsutin, dan dibintangi dua aktris muda yang jadi sorotan: Fairy Kirana Pipityakorn sebagai Ann dan Fatima Dechawaleekul sebagai Jane. Aktor senior, Pakorn Chadborirak, juga ikut memperkuat jajaran pemain.

Film ini tayang eksklusif di Indonesia mulai 12 Juni 2025 lewat KlikFilm, yang lagi-lagi jadi rumah distribusi terpercaya buat film-film berkualitas Asia Tenggara yang mungkin nggak tayang di bioskop mainstream.

Sekilas tentang Film Flat Girls

Ann dan Jane tinggal di tempat yang sama, tapi latar belakang mereka sangat berbeda. 

Ann berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya gugur dalam tugas, dan kini dia membantu ibunya menghidupi tiga adik di tengah segala keterbatasan. Sementara Jane hidup lebih nyaman. Ayahnya seorang perwira, dan ibunya menjalankan bisnis pinjaman uang di kompleks flat tersebut. Di antara lapangan bulutangkis sempit dan lorong flat yang ramai, keduanya membangun persahabatan yang kuat.

Namun, kehidupan di flat nggak selamanya damai. Ketika polisi muda bernama Tong pindah ke sana, dinamika hubungan mereka perlahan berubah. Sementara itu, keluarga Ann menghadapi ancaman terusir dari flat, dan Jane mulai menyadari bahwa nggak semua hal bisa mereka bagi, terutama ketika perbedaan kelas sosial makin terasa nyata.

Yap, kedekatan Ann dan Jane perlahan diuji ketika realita mulai mengetuk. Bukan karena mereka saling menjauh, tapi karena dunia di sekitar mereka secara nggak langsung memaksa mereka melihat perbedaan yang selama ini mereka abaikan.

Mungkin ini hal yang related buat banyak penonton pernah alami. Saat tumbuh dewasa dan menyadari lingkungan dan ekonomi bisa memengaruhi banyak hal, yang di antaranya: Cara hidup diperlakukan, kesempatan yang datang, bahkan impian yang bisa dikejar.

Dan apa saja yang terjadi pada Ann dan Jane, tengoklah langsung di KlikFilm!

Impresi Selepas Nonton Film Flat Girls 

Waktu pertama kali nonton filmnya, yang langsung menarik perhatianku bukan hanya hubungan dua tokoh utamanya, tapi juga latar tempatnya. Sebuah rusun tua yang terlihat sesak dan penuh warna. Kompleks perumahan polisi yang nggak cuma jadi tempat tinggal, tapi juga jadi gambaran berbagai konflik sosial, nilai keluarga, bahkan ketimpangan ekonomi yang kerap nggak disadari.

Setting semacam ini jarang banget muncul dalam film coming-of-age Asia Tenggara, apalagi dengan sudut pandang yang jujur dan manusiawi. Di ‘Flat Girls’, tempat tinggal nggak cuma jadi latar doang, tapi jadi bagian penting dari narasi ceritanya. Yap, bagaimana ruang sempit bisa mempererat atau justru meretakkan hubungan; bagaimana kehidupan komunitas bisa jadi hangat tapi sekaligus penuh tekanan sosial.

Bagiku, ini bukanlah ‘pemandangan baru’, tapi juga bentuk keberanian dari Studio GDH dan Sutradara Jirassaya Wongsutin dalan menampilkan realita yang nggak dilapisi glamor. Realita terbingkai begitu mentah, yang membuatnya jadi sangat nyata.

Aku pun merasakan konfliknya sangat kuat tapi tetap halus. Nggak ada dramatisasi lebay, malah lebih ke ketegangan emosional yang dibangun dari interaksi sehari-hari. Film ini bikin diriku sadar betapa rumitnya mempertahankan hubungan saat dunia memperlakukan kita berbeda.

Bahkan ‘Flat Girls’ terasa begitu tulus dan membekas, dan mungkin itu karena film ini diangkat dari pengalaman pribadi Jirassaya Wongsutin. Gitu deh, yang katanya, dia pernah tumbuh di lingkungan seperti karakter Ann dan Jane. Jadi jelas, sang sutradara tahu rasanya dibesarkan di ruang yang terbatas, yang dipenuhi suara (berisik), cerita, dan dinamika sosial yang rumit.

Dan ini sangat terasa di ‘Flat Girls’. Ya … nggak cuma dari cara karakternya dibentuk, tapi juga dari bagaimana konflik sosial dan personalnya diramu dengan empati.

‘Flat Girls’ mungkin tampak kayak film low budget yang tanpa bintang besar atau skala produksi masif. Eits, jangan salah ya! Film ini toh bicara lantang tentang hal-hal yang dekat di sekitar perihal kelas sosial, persahabatan, dan kenangan masa muda yang nggak selalu manis. 

Dan untukku pribadi, ‘Flat Girls’ tuh salah satu bukti kalau film coming-of-age bisa tetap relevan dan kuat. Selamat nonton ya. 

Skor: 4/5

Athar Farha