The Boldest White adalah penutup dari trilogi warna karya Ibtihaj Muhammad, dan kali ini ceritanya berfokus pada arti keberanian.
Buku ini masih mengikuti tokoh utama, Faizah, yang kini menghadapi tantangan baru, baik secara pribadi maupun sosial, dan mulai memahami bahwa keberanian bukan hanya soal tampil berani di luar, tapi tentang bagaimana membangunnya dari dalam diri.
Dalam The Boldest White, Faizah kini tumbuh lebih besar dan mulai melihat bagaimana dirinya—sebagai seorang gadis Muslim berhijab—berperan dalam lingkungan sekitarnya.
Cerita berpusat pada kegiatan komunitas di sekolah dan lingkungan tempat tinggal mereka, di mana Faizah dan Asiya berpartisipasi dalam berbagai aksi sosial dan kegiatan yang menonjolkan nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran.
Warna putih menjadi simbol penting dalam buku ini—melambangkan kejujuran, kemurnian niat, dan keberanian yang muncul dari keyakinan dan solidaritas.
Faizah mulai menyadari bahwa mengenakan hijab bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga tentang menjadi representasi dari komunitas yang ia cintai.
Ia belajar untuk tetap berdiri teguh meski mendapatkan driskimnasi halus dari orang di sekitarnya.
Yang membuat The Boldest White terasa begitu kuat adalah kemampuannya dalam menyampaikan pesan yang besar dengan cara yang lembut. Jadi, ini bukan buku yang setiap kalimatnya terlihat marah atau defensive.
Sebaliknya, ia justru mengajarkan bagaimana membalas ketidaktahuan dengan kebaikan, dan bagaimana menjadi "berani" tidak selalu berarti lantang, tapi bisa juga berarti sabar, konsisten, dan hadir.
Faizah sebagai tokoh utama menunjukkan pertumbuhan emosional yang nyata.
The Boldest White juga bicara tentang peran dalam komunitas, bagaimana menjadi inspirasi dan pemimpin dalam lingkungan yang kita cintai. Meskipun narasi kadang terasa tersendat, pesan yang ingin disampaikan tetap jelas dan relevan, terutama untuk anak-anak yang sedang mencari jati diri mereka di dunia yang kompleks.
Ilustrasi Hatem Aly seperti biasa tidak mengecewakan. Warna putih dalam buku ini tampil tidak datar atau dingin, tapi justru bersinar, menggambarkan semangat kebersamaan dan harapan yang menyelimuti komunitas mereka.
Setiap halaman terasa penuh dengan warna. Namun pada novel ini memang warna putih menjadi warna yang paling dominan.
Meski begitu, beberapa tema seperti menjadi pemimpin, menyesuaikan diri, dan "berani tidak cocok" terkesan dipaksakan masuk untuk mendukung pesan seputar pemakaian jilbab putih, yang jujur saja, sedikit mengganggu ritme cerita.
Meski begitu, inti pesan buku ini cukup kuat: keberanian itu tidak instan.
Faizah belajar banyak tentang hal ini lewat pelatihan anggarnya, di mana ia menemukan keberanian tidak selalu berarti menang—tapi tetap berdiri teguh meski gagal.
The Boldest White adalah penutup yang indah dari trilogi warna yang dimulai dengan The Proudest Blue.
Ia menegaskan bahwa hijab bukan sekedar simbol identitas diri saja, tapi juga sebuah media untuk membangun koneksi dalam sebuah komunitas.
Ini adalah buku yang tepat untuk mengajarkan pada anak-anak (dan orang dewasa) tentang nilai solidaritas, keberanian, dan pentingnya merayakan keberagaman.
Buku ini terasa menjadi dorongan yang halus untuk membuat kita menjadi sosok yang lebih baik dari diri kita sebelumnya dengan melakukan banyak kebaikan. Membaca buku ini juga membuat pembacanya seperti mendapatkan pelukan yang hangat.
Kesimpulannya, buku ini tetap memiliki nilai yang baik meski tidak sekuat dua buku sebelumnya.
Pesan untuk pembaca? Jadilah dirimu sendiri, dengan yakin dan sepenuh hati!
Baca Juga
- 
                      
              The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
- 
                      
              "Bakat Menggonggong", Eksperimen Narasi yang Cerdas dan Penuh Nyinyiran
- 
                      
              Novel Ada Zombie di Sekolah: Ketika Pesta Olahraga Berubah Jadi Mimpi Buruk
- 
                      
              Serunai Maut II, Perang Terakhir di Pulau Jengka dan Simbol Kejahatan
- 
                      
              Serunai Maut: Ketika Mitos, Iman, dan Logika Bertarung di Pulau Jengka
Artikel Terkait
Ulasan
- 
                      
              Review Film She Walks in Darkness: Misi Gelap di Balik Pengkhianatan
- 
                      
              Murah tapi Ngebut! Ini 7 HP Xiaomi dan Poco 2025 yang Paling Worth It
- 
                      
              Review Anime Umamusume: Pretty Derby Season 2, Menghadapi Badai Cedera
- 
                      
              Review Film Tron: Ares, Membawa Aksi Digital ke Level Tingkat Baru!
- 
                      
              Review Film Black Phone 2: Lebih Gelap, Lebih Sadis dan Lebih Menyeramkan!
Terkini
- 
           
                            
                    
              Classy dan Elegan! 6 Inspirasi Suit Style ala Kim Woo Bin yang Wajib Dicoba
- 
           
                            
                    
              Makin Kurus, Ahmad Assegaf Kembali Dituding Numpang Hidup ke Tasya Farasya
- 
           
                            
                    
              Blak-blakan, Sule Ungkap Pendapatan Fantastis dari Dunia Digital
- 
           
                            
                    
              Jerome Polin Berduka: Kenang Sosok Ayah yang Penuh Kasih dan Rendah Hati
- 
           
                            
                    
              Usaikan Rangkaian Laga Uji Coba, Timnas Indonesia Miliki Modal Cukup Apik Menuju Piala Dunia U-17