CERPEN: Senyum Ibu Sumber Kekuatanku

Hayuning Ratri Hapsari | Fathorrozi 🖊️
CERPEN: Senyum Ibu Sumber Kekuatanku
Ilustrasi cerpen Senyum Ibu Sumber Kekuatanku (Gemini AI)

Namaku Irfan Kurniawan, umurku 9 tahun dan kini aku duduk di kelas 4 sekolah dasar. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Jefri Kurniawan, dia baru berumur 2 tahun. Ibuku bernama Listiowati. Dia adalah seorang wanita tegar yang pantang menyerah serta rela menempuh jarak puluhan kilo setiap hari demi mendapat sesuap nasi.

Sedangkan ayahku, namanya Kurniawan atau biasa disapa Wawan oleh tetangga sekitar. Aku tak tahu banyak tentang siapa ayahku, tentang pekerjaannya apa dan di mana. Namanya saja yang aku kenal karena memang nama ayah menjadi nama belakangku juga adikku.

Enggan rasanya aku bercerita tentang ayah. Ayah tak punya pekerjaan yang jelas. Berangkat siang pulang pagi dan bisanya hanya marah-marah serta membuat ibu susah. Begitulah sedikit tentang kisah keluargaku.

***

Suara azan Subuh mulai berkumandang. Selimut malam hendak tersingkap oleh terbitnya sang fajar. Seperti biasa, ibu sudah sibuk di dapur membuat kue-kue yang hendak di bawa ke pasar.

“Fan….. Irfan, bangun, Nak, sudah subuh!” ibu menggoyang-goyangkan badanku.

“Sudah subuh ya, Bu?”aku masih setengah sadar sambil mengucek kedua mataku yang sebenarnya masih malas untuk dibuka. Namun, mau tidak mau dengan langkah penuh paksa kulangkahkan juga kaki untuk berwudu menghilangkan rayuan setan yang mengajak terus menyulam mimpi.

Seusai berwudu aku langsung salat Subuh, bersujud kepada Sang Maha Esa. Baru selesai salam keduaku, ibu sudah memanggilku.

“Fan, sudah selesai belum salatnya?” suara ibu dari dapur.

“Iya, Bu, Irfan sudah selesai salatnya.”

Kemudian tanpa ibu minta, aku langsung bergegas ke dapur seperti biasa untuk membantu ibu dan ibu akan bergantian untuk salat Subuh. ”Bu, ayah belum datang ya, Bu?”

“Sudahlah, Nak, tak usah kau tanyakan ayahmu,” ibu menahan butir bening di kelopak matanya saat aku menanyakan tentang ayah.

Selalu saja begitu saat aku bertanya tentang ayah. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ibu meninggalkan aku. Dan tanpa diminta, aku langsung menata kue-kue yang telah dibuat ibu untuk kemudian dijual di pasar.

Pagi sudah sempurna. Matahari sudah tersenyum cerah. Burung-burung bernyanyi. Angin pagi yang berhembus juga masih perawan. Maklumlah aku tinggal di pedesaan.

Pagi yang cerah aku sudah siap untuk pergi ke sekolah. Seragamku sudah lengkap, atasan putih dan celana merah yang keduanya sudah mulai kusam karena semenjak menjadi milikku memang tidak pernah merasakan lembutnya disetrika.

Jangankan untuk membeli setrika, untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah cukup susah. Tapi, aku tetap bersyukur karena ibu masih mau menyekolahkanku.

Tak hanya aku yang siap berangkat sekolah pagi itu. Ibu juga sudah siap pergi ke pasar untuk berjualan. Sebuah keranjang kue besar telah siap dijinjing oleh ibu. Dan juga adikku, sudah ada dalam gendongan ibu turut menjadi beban ibu.

“Fan, ayo, Nak, kita segera berangkat! Sepertinya sudah siang,” seru ibu padaku yang tengah mengikat tali sepatu.

Saat itu aku tak tahu jam berapa karena memang di rumahku tak ada jam yang bertengger di dinding sebagai pengingat waktu. Mendengar seruan ibu aku langsung berangkat tanpa berkomentar sepatah katapun.

Sepanjang jalan, ibu menuju pasar dan aku menuju sekolah. Kami tak mau menyia-nyiakan waktu. Kami menyelam sambil minum air. Aku berjalan sambil menjajakan kue buatan ibu.

“Kue-kue!” ibu berteriak menawarkan kue buatannya sepanjang jalan menuju pasar. Pun juga begitu denganku.

Suara kecilku melengking bergantian dengan ibu turut mempromosikan kue.

”Kue-kue. Kue, Pak! Kue, Bu!”

Tiap kali ibu mendengar suaraku yang kecil ikut-ikutan menjajakan kue, ibu selalu tersenyum sembari menatapku. Entah apa yang ada dalam fikiran ibu. Banggakah ibu padaku karena aku turut menawarkan dagangannya atau ibu merasa iba karena melihatku yang tengah mengenakan seragam dan hendak menuju sekolah masih ikut menjajakan kue dulu demi mendapatkan uang saku ke sekolah.

“Bu, kenapa hari ini sepi ya, Bu? Sepanjang jalan kok tidak ada yang membeli kue kita?” seraya aku menatap ibu yang masih dengan tegar menenteng keranjang besar yang penuh dengan kue.

Dan lagi-lagi ibu melempar senyum padaku yang entah itu apa maknanya. Senyum ibu selalu membuatku merasa bangga menjadi anaknya.

“Sabar, Nak, Allah itu cinta pada orang-orang yang sabar. Mungkin di pasar kue-kue ibu ini akan laris dan terjual habis.” Kali ini kata-kata ibu mengajarkan padaku untuk senantiasa bersabar.

Ibu, ibu aku bangga menjadi anakmu. Senyum dan kata-katamu selalu menyejukkan hatiku.

“Bu, Irfan sudah sampai di sekolah. Irfan pamit dulu,” aku mencium tangan ibu.

“Belajar yang rajin, ya, di sekolah?” ibu merogoh sesuatu dari kantong bajunya. Kemudian diserahkannya selembar uang ribuan itu padaku. ”Ini uang jajanmu!”

“Tapi, Bu, jualan kita kan masih belum laku sama sekali. Irfan tidak apa-apa kok hari ini tidak jajan di sekolah,” aku menolak uang dari ibu.

Lagi-lagi senyum ibu mengembang di wajah tegarnya.

”Sudahlah, Nak, kamu ambil saja uang ini, barangkali kau butuh apa-apa di sekolah!”

“Baiklah kalau begitu,’’ aku menerima uang dari ibu.

”Assalamualaikum,” salamku kemudian kepada ibu.

“Wa’alaikumsalam,” ibu menjawab salamku.

Kemudian meninggalkanku untuk melanjutkan perjalanan menuju pasar. Sedangkan aku sendiri langsung menuju ke sekolah. Sesampainya di sekolah, pikiranku masih tertuju pada ibu, entah mengapa hari ini aku tak ingin berpisah sama sekali dengan ibu.

***

Bel berdering tanda pelajaran telah usai. Semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya, begitu pula aku. Di luar, matahari menyengat dengan begitu dahsyatnya. Membuat keringatku menganak sungai.

Aku menyusuri jalan menuju rumah. Di tengah perjalanan pulang, sebuah sepeda berhenti di dekatku hingga membuatku kaget. Si pengendara sepeda membuka helmnya dan ternyata Pak Rosyid tetangga sebelahku.

“Fan, ayo naik biar cepat sampai!” kata pak Rosyid padaku. Dan tanpa berkata apa-apa aku naik ke atas sepeda tetanggaku itu.

”Dari mana, Pak? Tumben siang-siang begini dari arah pasar. Biasanya bapak datang dari pasar kan sebelum Zuhur?” tanyaku kemudian ketika sepeda Pak Rosyid sudah mulai melaju.

“Bapak sengaja mau menjemput kamu ke sekolah,” jawab Pak Rosyid.

“Memangnya ada apa, Pak, kok sampai bapak yang jemput saya?” aku keheranan.

“Sudahlah, kamu pasti tahu kalau sudah sampai di rumahmu sebentar lagi.”

Pikiranku tak tenang, entah mengapa firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu yang buruk menimpa ibu.

Ibu, oh Ibu, apa yang terjadi padamu, Ibu.

Beberapa saat kemudian, sepeda Pak Rosyid sudah memasuki halaman rumahku. Aku heran, rumahku ramai, banyak orang.

”Pak, kenapa banyak orang di rumah saya, Pak? Ada apa sebenarnya?” tanyaku kepada pak Rosyid.

“Maafkan bapak, Fan, tadi bapak tidak berani berterus-terang padamu bahwa.....”

“Bahwa kenapa, Pak? Ibu saya baik-baik saja kan, Pak?”

“Ibu dan adikmu  meninggal dunia, Fan,” lanjut pak Rosyid kemudian.

Mendengar kata-kata Pak Rosyid itu darahku langsung seolah berhenti mengalir. Nadiku seolah disambar petir di siang bolong.

”Apa? Ibu dan adikku meninggal dunia? Itu tidak mungkin, Pak. Bapak bercanda, kan?” aku masih tidak percaya dengan kata-kata Pak Rosyid.

”Tadi pagi, ibu dan adik baik-baik saja. Tidak mungkin mereka meninggal, Pak.” Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi.

“Mereka mengalami kecelakaan tadi di jalan dekat pasar. Begitu ayahmu datang, ia sangat memaksa pada ibumu untuk diberi uang. Namun, ibumu menolaknya. Kemudian ibumu lari, sementara ayahmu terus mengejar dan ternyata dari arah berlawanan ada truk yang melaju kencang. Supir truk tak bisa menghindar dari ibumu, hingga terjadilah tabrak maut itu,” jelas Pak Rosyid cukup detail padaku.

Sedetik kemudian, aku berlari menerebos kerumunan orang yang memenuhi rumahku. Di ruang tamu kudapati jasad ibu dan adikku yang tengah tak berdaya.

Ibu, mengapa ini harus terjadi padamu. Mengapa engkau begitu cepat meninggalkanku. Ibu, tak kan pernah lagi kudapati senyummu yang selalu menyejukkan kalbuku.

Ibu, senyummu kini hanya kenangan bagiku. Senyum yang tulus, senyum yang penuh makna, senyum yang penuh arti, senyum yang hanya dimiliki ibu.

Namun, kini senyum itu takkan pernah lagi kulihat, karena pemilik senyum itu telah kembali kepada Sang Pemiliknya. (*)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak