CERPEN: Clarabella dan Anak-Anak Perindu Bulan

Hayuning Ratri Hapsari | Gita Fetty Utami
CERPEN: Clarabella dan Anak-Anak Perindu Bulan
Ilustrasi Clarabella dan Anak-Anak Perindu Bulan (Nano Banana/Gemini AI)

"Ah, jadi begitu ceritanya?" gumam Clarabella, wajahnya berkerut prihatin. Di depannya duduk dua bocah yang menatapnya lekat-lekat.

Satu jam lalu gadis bermata hazel ini menemukan anak-anak tersebut berkeliaran di tepi hutan, yang menjadi pemisah antara rumahnya dan rumah penduduk setempat. Kondisi mereka kelelahan dan kedinginan, hanya mengenakan piyama compang-camping. Sementara hari beranjak gelap.

Tentu saja ia lekas menyuruh mereka masuk ke rumahnya yang hangat. Lalu menyelubungi mereka dengan selimut, membuatkan dua cangkir cokelat susu, dan menyuruh mereka minum perlahan-lahan saja. Setelah rona pipi kakak beradik itu kembali, barulah ia menanyakan apa yang terjadi. 

Awalnya ia berniat mengantar mereka pulang. Namun setelah mendengar penuturan Tim dan Laura secara bergantian, ia merasa terusik. Rupanya anak-anak tersebut telah lari dari rumah bibi mereka, Esther. Menurut Tim si sulung--Clarabella menebak usianya sepuluh tahun--selama enam bulan tinggal di rumah sang bibi, bukan kasih sayang yang mereka dapat melainkan penyiksaan. 

Keduanya menjadi yatim piatu, setelah orang tua mereka, Jonathan dan Mary, meninggal dalam kecelakaan mobil. Otoritas pengadilan yang menelusuri data keluarga, mendapati nama Esther sebagai adik kandung Jonathan. Hal tersebut membuat dirinya menjadi wali yang sah di mata hukum. Karena itulah, Tim dan Laura lalu dibawa pergi oleh petugas Dinas Sosial dan pengacara publik menuju rumah Esther, di wilayah Utara. 

Kedatangan mereka disertai penjelasan status hukum yang tiba-tiba, mengejutkan wanita tersebut. Ia yang masih melajang di usia empat puluhan, sama sekali tak siap mengasuh dua keponakan yang asing. Ya, sebelum ini Jonathan dan Esther tak pernah saling berkunjung. Namun, tentu saja perempuan itu tak kuasa menolak perintah resmi.

"Bibi nggak pernah suka padaku sejak awal. Aku juga sering dibentak, dijewer, dijambak," lirih suara Laura. Gadis cilik itu menekuri cangkirnya yang menyisakan ampas cokelat tipis. Berkat minuman itu perutnya kini terasa hangat. 

Tim meletakkan cangkir kosongnya di meja beralas taplak rajutan. Gerakannya membuat ia meringis tipis. Ekspresi itu tertangkap oleh mata tajam milik Clarabella. Gadis itu menyibak helai rambut merahnya ke belakang kuping. Tanpa ragu ia meraih tangan kanan anak itu. Tim menjengit menahan sakit.

"Kenapa? Apa ada yang luka?" selidik Clarabella. Anak laki-laki tersebut menunduk.

Adiknya menyingkap selimut kakaknya. "Nona, kemarin sore kakakku disabet dengan ikat pinggang bibi. Itu, punggung sampai bagian sininya," ucapnya, menunjuk kedua lengan Tim. 

"Benarkah? Coba kulihat, Tim," bujuk Clarabella lembut. Akhirnya Tim menurut.

Anak itu membuka bajunya, lalu berdiri perlahan. Clarabella memindai tubuh yang tipis itu, dan ketika ia melihat bagian belakang Tim, spontan si gadis mengatupkan rahangnya. Terlihat galur-galur bekas cambukan di situ, kulit yang mengelupas, dan jejak darah. Bibi mereka pastilah berwatak bengis. 

Tim kembali mengerang, lukanya terasa berdenyut-denyut. Ia terduduk kembali. Adiknya mengusap-usap pipi kanan Tim. Mata gadis cilik bermata biru itu berembun. 

Clarabella menghela napas. Kemudian ia mengulurkan telapak tangan kanan dan menempelkannya di atas luka-luka Tim. Mulutnya merapal mantra. 

"Tollendum omnes infectiones. Id quod petusic fiat."

Laura membelalak takjub. Cahaya kebiruan muncul bak sulur tanaman dari telapak gadis penolong mereka. Cahaya itu memayungi semua galur luka di tubuh kakaknya. Ketika berkasnya hilang, terlihat kulit Tim kembali mulus, seolah tak pernah tergores sedikit pun. 

 "Whoaaa, hebat sekali, Nona!" kagum Laura.

"Bagaimana sekarang, Tim?" Clarabella menarik tangannya. Ia mengamati anak itu dengan saksama.

Sesaat Tim terkesima. Tubuhnya kini bugar. Ia menoleh ke arah Laura, lalu kepada Clarabella. "Sakitnya hilang! Terima kasih, Nona Clarabella!" serunya girang.

"Ternyata Nona Clarabella penyihir, ya?" Laura bertanya polos, dengan tatapan memuja. 

Clarabella menjawab dengan kedipan mata jenaka. Dua anak yatim-piatu itu ternganga, saling bertukar pandangan kagum.

"Kalau benar Nona adalah penyihir," ucap Tim tak selesai. Ia dilanda rasa ragu. Bagaimanapun mereka baru kenal malam ini. 

"Ya, Tim?" Clarabella mengangkat alis, menunggu. 

Laura menggenggam tangan kakaknya, berbagi tekad yang sama. Ia tahu apa yang bakal diucapkan oleh Tim. Sebab selama hari-hari sengsara di rumah Bibi Esther, keduanya telah menginginkan hal yang sama.

"Bisakah mengeluarkan kami dari sini? Jauh dari Bibi Esther?" Akhirnya Tim berhasil mengutarakan maksudnya.

"Iya, benar. Habis Bibi Esther jahat, suka memukul!" timpal adiknya.

Clarabella mengibaskan rambut merahnya. "Hmm, memangnya kalian ingin ke mana? Apa mau kuantar menemui pengacara publik, yang dulu mengantar kalian ke rumah Bibi Esther?"

"Jangan, jangan ke kantor Pak Frederick! Per-percuma, Nona. Nanti tetap saja kami dikembalikan ke rumah bibi. Atau lebih buruk lagi, ke panti asuhan," jawab Tim, ngeri membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Clarabella tertegun.

"Pokoknya ke tempat yang jauh, Nona!" 

"Ke tempat yang tinggi saja, Nona, biar aku dan Tim bisa dekat-dekat Ibu di bulan!" Laura tak mau kalah ikut meminta. 

"Siapa yang bilang ibu kalian di bulan?" 

"Bibi yang bilang," ceplos Laura. Tim langsung melotot pada adiknya. Bagaimana kalau gadis cantik itu menganggap mereka ngawur? 

Clarabella menopang dagu, berpikir lebih keras. Rupanya ia tengah menimbang-nimbang baik-buruknya mencampuri urusan kaum non penyihir. 

"Sebenarnya, aku tahu tempat di mana tak ada bibi yang jahat dan kasar. Bahkan kalian bisa bermain apa saja, termasuk memancing di bulan," urai Clarabella. Ia sudah mengambil keputusan di kepalanya. 

"Benarkah? Kami mau, Nona!" Serentak Tim dan Laura berdiri menghambur kepada si penyihir muda.

"Baiklah... Mari kuantar kalian ke Neverland. Itu nama tempatnya." 

Clarabella beranjak ke salah satu lukisan di dinding rumahnya. Lukisan itu menampilkan malam yang cantik, dengan bulan serta bintang-bintang. Tim dan Laura langsung mengekor. 

"Sekarang pegang tanganku, jangan sampai terlepas," pesannya wanti-wanti. 

Setelah memastikan Tim dan Laura mematuhi perintahnya, Clarabella merapal mantra. "Circumvertens. Ad terram desideratam. Numquamterra."

Pusaran angin membawa debu perak muncul dari kehampaan. Lalu mengurung Clarabella, Tim, dan Laura. Setelah itu mereka bertiga lenyap dari ruangan itu. 

Cilacap, 311225

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak