Di balik sejarah panjang Nusantara, ada banyak tradisi dan profesi yang kini terlupakan, salah satunya adalah Gowok. Profesi ini nggak cuma unik, tapi juga gambaran bagaimana budaya Jawa zaman dulu memahami pentingnya edukasi seksual. Namun, profesi Gowok perlahan-lahan hilang dan meninggalkan jejaknya sebagai kisah legenda.
Kini, cerita itu dihidupkan kembali melalui film Gowok-Javanese Kamasutra, film yang memadukan tradisi, sejarah, dan eksplorasi estetika. Film ini akan rilis perdana pada 20 Januari 2025 sampai 9 Februari 2025 dalam Big Screen Competition di ajang International Film Festival Rotterdam (IFFR).
Disutradarai Hanung Bramantyo dan diproduseri Raam Punjabi, Film Gowok-Javanese Kamasutra menghadirkan aktor dan aktris berbakat, di antaranya: Raihaanun, Reza Rahadian, Devano Danendra, Alika Jantinia, Slamet Rahardjo, Lola Amaria, dan Donny Damara. Dengan latar waktu 1955-1965, film ini mengangkat tajuk yang berani yang nyaris terlupakan di tengah modernitas zaman. Ugh, bikin kepo deh!
Sinopsis Film Gowok - Javanese Kamasutra
Di sebuah desa, di Jawa pada era 1950-an, hidup sosok wanita bernama Lastri (Raihaanun), seorang Gowok alias dukun seksual bagi calon pengantin pria. Melalui kitab-kitab kuno seperti Centhini dan Wulangreh, Lastri nggak cuma mengajarkan teknik bercinta, tapi juga pentingnya cinta, penghormatan, dan kepuasan dalam hubungan rumah tangga.
Namun, peristiwa politik tahun 1965 mengubah segalanya. Profesi Gowok dianggap tabu, bahkan dilabeli sebagai bentuk prostitusi terselubung. Lastri, bersama profesinya, terpaksa menghilang. Apa yang sesungguhnya terjadi pada Lastri? Hmmm, sungguh mengundang rasa penasaran.
Menghidupkan Profesi Gowok
Di zaman modern, pendidikan seksual sering menjadi topik yang sensitif dan tabu. Namun, Gowok menunjukkan, masyarakat Jawa di masa lalu punya pendekatan yang jauh lebih beradab dan terstruktur dalam hal ini.
Profesi Gowok adalah bentuk edukasi seksual yang berakar dari tradisi. Nggak cuma mengajarkan aspek teknis, Gowok juga mengajarkan nilai-nilai mendalam tentang cinta, penghormatan, dan keterhubungan emosional dalam hubungan pernikahan. Kitab-kitab kuno seperti Serat Centhini jadi panduan utama, yang menunjukkan pada kita, bahwa tradisi Jawa sudah memiliki sistem pendidikan seksual yang sangat maju pada zaman dan masanya.
Namun, pandangan masyarakat terhadap profesi itu berubah drastis setelah 1965. Profesi Gowok dianggap melanggar norma agama dan sosial yang berkembang saat itu. Hilangnya profesi Gowok itu jelas menggambarkan pergeseran politik dan budaya ternyata bisa menghapus tradisi yang pernah dianggap luhur.
Melalui film ini, Gowok dihidupkan kembali, nggak hanya sebagai tontonan, tapi juga pengingat: Tradisi dan sejarah adalah bagian penting dari identitas kita. Profesi ini mungkin sudah nggak ada lagi, tapi nilai-nilai yang diusungnya masih relevan dalam diskusi tentang hubungan, seksualitas, dan cinta di zaman sekarang.
Bisa dibilang Film Gowok-Javanese Kamasutra nggak hanya bercerita tentang masa lalu, tapi juga mengajak kita berpikir kritis tentang bagaimana kita memandang pendidikan seksual di masa kini. Melalui kisah Lastri, kita akan diajak memahami edukasi seksual bukan hanya soal teknik, tapi juga soal menghargai pasangan dan membangun cinta yang sejati.
Kamu sudah siap melihat sisi lain dari sejarah Gowok?