Review Film The Chaplin Revue: Upaya Maestro Menghidupkan Kembali Masa Lalu

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film The Chaplin Revue: Upaya Maestro Menghidupkan Kembali Masa Lalu
Poster Film The Chaplin Revue (Katalog KlikFilm)

Pada era 1950-an, dunia seakan-akan mulai melupakan Charles Chaplin atau yang akrab dipanggil Charlie Chaplin. Sosok The Tramp yang dulu begitu dicintai sudah nggak lagi muncul, dan Chaplin sendiri nggak lagi jadi bintang yang bersinar di era film ‘bicara’. Ditambah lagi, masa-masa kelam politik AS membuatnya terusir dari negeri yang membesarkan namanya. Dia tinggal di Swiss, jauh dari Hollywood, dan jauh dari kejayaan masa lalunya.

Lalu datanglah Film The Chaplin Revue, upaya Chaplin untuk membangkitkan kembali karakter dengan cara yang unik. Sebenarnya, dia bukan membuat film baru, melainkan menyusun kembali tiga film pendek klasik dari era First National (1918–1923), dan ngasih sentuhan baru berupa musik, narasi suara, dan intro pribadi dari sang maestro sendiri. 

Film-filmnya yang masuk, di antaranya: ‘A Dog’s Life, Shoulder Arms, dan The Pilgrim’. Sebagai bonus, Chaplin juga menyisipkan potongan video pendek berjudul ‘How to Make Movies’, dokumenter mini yang awalnya nggak pernah dirilis secara utuh

Namun, apakah usaha usahanya berhasil? Jawabannya cukup rumit!

Review Film The Chaplin Revue

Aku nggak akan mengulasnya dalam satu bagian itu, tapi mengupas tiga rasa dari tiga film yang dimasukan. Kepoin terus, ya!

1. A Dog’s Life (1918)

Dari ketiga film, inilah yang paling menghibur dan menyentuh. Di sini, Tramp adalah sosok pengangguran yang mencoba bertahan hidup di tengah kerasnya kota. Salah satu adegan terbaik adalah saat dia mencoba masuk ke kantor lowongan kerja tapi terus saja dikalahkan antrean. Ketika Tramp bertemu dengan anjing jalanan dan penyanyi bar yang malang, cerita berkembang menjadi kisah persahabatan dan perjuangan kelas bawah yang menghangatkan hati.

Di sini, Chaplin memperlihatkan kejeniusannya dalam menciptakan momen-momen lucu dari hal yang sederhana. Walaupun beberapa adegan terasa seperti kumpulan sketsa acak, film ini tetap ada pesona tersendiri. 

2. Shoulder Arms (1918)

Film kedua mengambil latar Perang Dunia I dan menampilkan Tramp sebagai tentara yang canggung di medan perang. Namun, bukannya menyajikan kritik pedas terkait perang, Chaplin justru menghadirkan nuansa satir yang cukup sentimental. Adegan pembukaan dengan narasi Chaplin yang menyebut perang sebagai perjuangan masa lalu yang heroik, terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan pidato anti perang yang dia sampaikan di The Great Dictator.

Yang menarik, kamera mengikuti Tramp yang berjalan di parit perang. Adegan ini terasa berbeda dan membuktikan bahwa Chaplin juga punya sisi eksperimental.

3. The Pilgrim (1923)

Sayangnya, film terakhir ini adalah yang paling lemah. Dirilis lima tahun setelah dua film sebelumnya, yang ini terasa letih dan kehilangan semangat. Tramp kali ini berperan sebagai pelarian yang menyamar jadi pendeta. Ceritanya klise, leluconnya repetitif, dan chemistry romantis dengan Edna Purviance nggak begitu kuat.

Meski ada momen lucu, seperti anak kecil nakal yang mengenakan bowler hat, film ini tampaknya dibuat hanya untuk memenuhi kontrak studio, bukan karena dorongan artistik.

Namun, harus kuakui, Film The Chaplin Revue punya nilai historis, yang membuka jalan buat generasi baru untuk mengenal film-film awal Chaplin, terutama ketika akses film bisu klasik belum semudah sekarang. 

Sayangnya memang, seperti banyak kumpulan film nostalgia, hasilnya nggak selalu memuaskan. Bila Sobat Yoursay mau nonton, cek saja di KlikFilm. Bila nantinya kamu merasakan hal yang berbeda, atau bahkan menemukan lebih banyak hal ketimbang diriku, itulah serunya seni menikmati film. Selamat nonton!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak