Dari jalanan Kali Code hingga layar festival internasional, Gadis dan Penatu menapak setiap jejak kota dan manusia di dalamnya. Film ini adalah perjalanan ide, perjuangan tim, dan suara lokal yang diwujudkan lewat lensa kamera, siap menghadirkan cerita yang hidup dan nyata.
Perjalanan panjang Gadis dan Penatu bukan hanya soal menyusun adegan atau dialog, tapi juga meresapi denyut kehidupan di balik setiap sudut kota.
Setiap langkah di Kali Code, setiap percakapan dengan warga, hingga pemilihan talenta lokal, menjadi bagian dari proses yang memastikan film ini bukan sekadar tontonan, tapi cermin realitas sosial dan perjuangan manusia di Yogyakarta.
Dengan fondasi itu, tim produksi melangkah ke tahap yang menentukan: dari persiapan pra-produksi hingga proses syuting yang padat.
Mengangkat Isu Nyata Lewat Lensa Film

Bagi sang produser Saddam Putra Dewa Rimbawan (23), dua hal utama yang membuat Gadis dan Penatu layak diwujudkan ke layar adalah kedekatan emosional dan validasi dari riset lapangan.
Pertama, kedekatan emosional dengan isu yang dihadapi Santi, karakter utama film. “Film ini merefleksikan dinamika hubungan anak dan orang tua dalam menghadapi tantangan global, yaitu gentrifikasi,” ujarnya kepada Yoursay pada Rabu (8/10/2025). Cerita ini sangat relevan dengan kondisi Yogyakarta saat ini.
Kedua, validasi dari riset lapangan. Saat tim melakukan riset bersama warga asli Kali Code, keresahan mereka nyata, bahwa maraknya pembangunan hotel dan sektor komersial memperlebar kontras sosial dan ekonomi antara kawasan lama dan baru.
Sebagai pendatang, Saddam merasa keresahan warga asli ini layak diberi ruang untuk bersuara dan film adalah medium yang tepat untuk itu.
Tantangan Produksi di Tengah Waktu Terbatas

Selain itu, ada pula tantangan terbesar, menurut Saddam, yang justru muncul saat proses produksi berlangsung. Film ini merupakan proyek tugas akhir yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, antara September hingga Desember 2022.
“Kami hanya punya dua hari utama plus satu hari kontigensi di awal Desember,” tambahnya.
Produksi Gadis dan Penatu tergolong kompleks. Tim harus melakukan sosialisasi ke warga Ledok Tukangan dan Juminahan, berkolaborasi dengan Pemadam Kebakaran DIY untuk adegan hujan buatan, serta bekerja sama dengan Hotel Melia Purosani.
Namun, di hari kedua syuting, beberapa pengambilan gambar penting belum rampung ketika pihak hotel tiba-tiba harus menjalani sterilisasi COVID-19 selama seminggu. “Akhirnya, kami terpaksa menjadwalkan ulang, satu minggu kemudian,” bebernya.
Selain kendala waktu, tim juga menghadapi tantangan finansial karena seluruh kru masih berstatus mahasiswa. Tantangan teknis pun muncul, terutama saat pengambilan adegan hujan, yang ternyata merupakan hujan asli, bukan efek buatan.
Meski begitu, proses perizinan lokasi dan komunikasi dengan warga dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab produksi, bukan hambatan. Sedikit masalah komunikasi antar tim sempat terjadi, namun semuanya dapat diatasi berkat kekompakan anggota produksi.
Pra-Produksi yang Menentukan Segalanya

Keputusan penting dari sisi produksi, menurut Saddam terletak pada komitmen tim selama tahap pra-produksi yang dijalankan dengan sangat ketat. Ada tiga hal mendasar yang menjadi penentu hasil akhir Gadis dan Penatu.
Pertama, supervisi naskah. Naskah direvisi berulang kali hingga benar-benar siap diproduksi, karena cerita yang kuat dianggap sebagai fondasi utama film.
Kedua, seleksi ketat tim dan lokasi. Proses casting dilakukan selama dua hari dengan hampir 60 talent, hingga akhirnya terpilih dua pemeran terbaik. Sebuah keputusan yang kemudian berbuah penghargaan Best Actress dan Best Supporting Actress di beberapa festival.
Sesuai keinginan sang sutradara, seluruh pemain Gadis dan Penatu dipilih dari talenta asli Yogyakarta. Langkah ini diambil agar karakter dalam film dapat merepresentasikan warga lokal secara otentik, bukan hanya melalui dialog dan dialek, tetapi juga lewat rasa berbahasa yang hidup dan alami.
Sementara untuk lokasi, tim menghabiskan hampir sebulan menyusuri Kali Code dari Jakal hingga Sewon demi menemukan spot yang paling tepat.
Ketiga, komunikasi intens. Tim rutin mengadakan Pre-Production Meeting (PPM) secara detail untuk memastikan seluruh elemen siap sebelum produksi. “PPM selalu diadakan secara berkala dan mendetail,” ujar Saddam.
Dengan perencanaan matang ini, ketika kendala muncul di lapangan, tim tetap mampu bekerja dengan tenang dan efektif.
Dari Layar Kecil ke Festival Internasional

Setelah Gadis dan Penatu rampung, tim menyiapkan strategi distribusi yang berfokus pada jalur festival film dan pemutaran alternatif. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan press kit profesional agar film mudah didistribusikan dan dinilai oleh para programmer festival.
Namun, strategi mereka tidak berhenti pada sekadar mengirimkan film. Tim secara khusus mempelajari karakteristik setiap festival, baik nasional maupun internasional. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesesuaian tema dengan Gadis dan Penatu sebelum melakukan submisi.
Selain itu, membangun jejaring juga menjadi salah satu strategi untuk menjangkau penonton. “Kami juga aktif membangun jejaring dengan programmer festival dan penyelenggara pemutaran alternatif,” ungkapnya.
Upaya tersebut tentunya membuahkan hasil. Gadis dan Penatu berhasil terpilih di berbagai forum internasional, di antaranya 2nd edition Art of The Score Juilliard School Program (berkolaborasi dengan mahasiswa pascasarjana Juilliard School, Amerika), 16th Bali International Film Festival, dan 19th Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), serta sejumlah festival film nasional lainnya.
Menutup jejak perjuangan para crew film di balik layar. Gadis dan Penatu bukan sekadar film, tapi juga catatan perjalanan ide, emosi, dan dedikasi tim yang menembus batas waktu dan tantangan produksi.
Dari riset lapangan hingga pemilihan talenta lokal, Gadis dan Penatu menapaki setiap sudut kota dan hati manusia, menyuarakan perjuangan dan realitas Yogyakarta melalui lensa film.