Harga produk untuk perempuan sering kali lebih tinggi meski fungsinya sama persis dengan versi laki-laki. Fenomena ini dikenal sebagai pink tax dan diam-diam terjadi di banyak kategori barang sehari-hari.
Kamu sering nggak sih merasa heran kenapa barang cewek selalu lebih mahal padahal bentuk dan fungsinya sama saja? Dari alat cukur sampai sampo, perempuan seperti “dibiasakan” membayar lebih tanpa pernah benar-benar diberi alasan yang adil.
Fenomena inilah yang disebut pink tax, praktik penetapan harga lebih tinggi untuk produk yang ditujukan bagi perempuan. Meski bukan pajak resmi, efeknya nyata dan terasa di hampir semua kebutuhan sehari-hari.
Harga yang berbeda ini kerap dibalut alasan pemasaran, seakan kemasan lebih manis dan aroma lebih lembut cukup menjadi pembenaran. Namun jika ditelisik, pink tax menunjukkan bagaimana perempuan masih dibebani biaya tambahan hanya karena dianggap pasar yang “lebih mudah dijual”.
Mengenal Lebih Dalam Fenomena Pink Tax yang Masih Membebani Perempuan
Mengutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pink tax dipahami sebagai biaya tambahan yang dibayar perempuan karena mereka mengonsumsi produk “penting” agar dipandang menarik dan feminin. Praktik ini kerap tidak disadari masyarakat sehingga diumpamakan sebagai biaya tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penjelasannya, pink tax dikenakan pada produk dan layanan yang ditujukan untuk perempuan, meski manfaatnya sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan produk serupa untuk laki-laki. Istilah ini muncul karena warna merah muda secara umum diasosiasikan sebagai simbol feminitas.
Meski mengandung kata pajak, pink tax bukanlah pungutan resmi pemerintah, melainkan perbedaan harga yang diterapkan perusahaan kepada konsumen perempuan. Dengan demikian, tidak ada peran pemerintah dalam pengenaan pajak berbasis gender ini.
DJP mencatat bahwa fenomena pink tax di Indonesia paling sering muncul pada produk perawatan diri yang digunakan setiap hari. Contohnya, pisau cukur laki-laki rata-rata dibanderol Rp20.000,00 hingga Rp50.000,00, sedangkan pisau cukur untuk perempuan bisa melampaui Rp100.000,00 meskipun fungsinya sama.
Hal serupa juga terlihat pada produk sabun muka, di mana harga untuk laki-laki rata-rata berada di kisaran Rp50.000,00. Sementara itu, sabun muka perempuan umumnya dijual dengan harga lebih dari Rp100.000,00, menunjukkan selisih yang cukup jauh tanpa perbedaan manfaat yang signifikan.
Selisih harga yang begitu jauh ini tentu memunculkan pertanyaan besar: mengapa kebutuhan dasar perempuan justru dibanderol lebih mahal tanpa alasan yang benar-benar rasional? Jika produk dengan fungsi serupa diberi nilai dua kali lipat hanya karena ditujukan untuk perempuan, berarti ada bias yang sengaja dipertahankan industri.
Praktik seperti ini seakan menormalisasi bahwa perempuan adalah pasar yang bisa dieksploitasi lewat kemasan manis dan citra feminin. Ketika standar kecantikan terus dijadikan pembenaran untuk mematok harga lebih tinggi, konsumen perempuan akhirnya membayar konsekuensi dari konstruksi sosial yang tidak mereka ciptakan sendiri.
Pada akhirnya, pink tax menunjukkan bahwa perempuan masih dibebani biaya yang tidak semestinya hanya karena label dan segmentasi gender yang dibuat industri. Kesadaran konsumen menjadi kunci penting agar praktik semacam ini tak terus dianggap wajar dan perlahan bisa ditekan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS