Ada masa ketika dua karakter ikonik, Rangga dan Cinta, bukan cuma sebatas karakter film, tapi kayak mantra yang bikin teater bioskop penuh.
Tahun 2002, Film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) nggak lagi sebatas tontonan, tapi peristiwa langka dalam hal mengubah wajah perfilman Indonesia yang saat itu sedang bangkit dari masa mati suri. Semua orang membicarakan puisinya, soundtrack-nya, bahkan cara Rangga menatap Cinta yang seolah-olah bisa membekukan waktu.
Empat belas tahun kemudian, AADC 2 (2016) membuktikan bahwa cinta lama memang bisa bersemi kembali. Yup, bukan cuma di layar, tapi juga di hati jutaan penonton. Dalam sepuluh hari penayangan, film itu mencetak 1,6 juta penonton, dan akhirnya menutup angka lebih dari 3 juta. Sebuah capaian yang kala itu seperti dongeng keajaiban cinta.
Lalu datanglah Rangga & Cinta (2025). Film yang dari judulnya saja sudah memancing rasa penasaran. Apakah ini lanjutan, tribute, atau sekadar numpang nama besar? Kita tahu ya, ini adalah remake dari AADC dengan bintang baru dan kisah yang dibuat lebih relevan di masa kini. Tentunya, keputusan membangkitkan kisah lawas yang dicintai sinefil itu sangatlah berisiko sekaligus melahirkan angan-angan berupa kesuksesan yang semoga saja jauh lebih besar.
Sayangnya, setelah 11 hari tayang, film ini baru menyentuh 500 ribu penonton. Sabtu lalu menjadi puncak tertingginya dengan 64 ribu penonton dalam sehari, sementara di hari-hari biasa hanya bertahan di kisaran 30 ribu penonton.
Untuk film dengan nama sekuat ini, pencapaian tersebut terasa berat. Memang ini bukan gagal total, tapi juga jauh dari ekspektasi. Bandingkan saja, di rentang waktu yang sama, film sejenis dengan kampanye kuat seperti Dear Nathan (2017) bisa tembus angka lebih dari 1 juta penonton dalam dua minggu.
Ada yang Salah dan Ada Sesuatu yang hilang dari Rangga & Cinta

Film ini seolah-olah ingin menghidupkan romansa lama dengan baju baru, tapi kehilangan jiwa yang membuat penonton dulu jatuh cinta. AADC punya bahasa dan kepekaan yang intim lho. Mulai dari pertemuan antara puisi dan masa muda yang masih canggung. Sementara di filmnya kali ini, Rangga & Cinta, tampil rapi tapi hambar; terlalu bersih, terlalu aman, dan nggak punya aroma ‘masa muda’ yang menggigit.
Banyak sinefil menyebutnya ‘cantik tapi datar’. Visualnya modern, tapi kosong dari sisi atmosfer filmnya. Dialognya memang dibuat manis, tapi nggak meninggalkan bekas. Bahkan musiknya pun nggak menciptakan gema yang bisa menempel di kepala. Hmmm … sesuatu yang dulu jadi senjata pamungkas AADC lewat Melly Goeslaw dan Anto Hoed.
Barangkali itulah yang membuat film ini kebanting banget. Di tengah derasnya gelombang film horor dan thriller sosial yang sedang jadi primadona bioskop Indonesia, Film Rangga & Cinta terasa seperti berjalan sendiri di jalan yang sudah nggak ramai. Ibarat ingin menawarkan keindahan, tapi penonton hari ini sedang mencari luka dan realisme. Ups.
Perubahan selera penonton juga jadi faktor besar. Generasi baru tumbuh di era streaming, dengan eksposur ke film-film yang lebih berani dan eksperimental. Mereka nggak lagi mencari kisah cinta idealistis; mereka mencari kebenaran emosional, bahkan jika itu menyakitkan. Dan Film Rangga & Cinta, yang menempatkan cinta di panggung yang terlalu mulus, jadi sulit untuk dipercaya.
Bahkan bagi penonton lama yang dulu memuja karakter Rangga dan Cinta, film ini malah menimbulkan rasa asing. Ada kesan seperti menikmati kenangan yang direka ulang tanpa denyut kehidupan yang dulu membuatnya hidup. Nostalgia memang bisa menjual, tapi tanpa rasa yang otentik malah jadi kayak etalase kosong lho.
Apakah karakter Rangga & Cinta memang seharusnya dibiarkan hidup di masa lalu? Seharusnya, biarlah abadi jadi film yang memikat tanpa harus berusaha menghidupkannya lagi bila semua itu berlandaskan latah.
Sudahkah Sobat Yoursay tonton Film Rangga & Cinta? Buruan nonton deh, karena bisa jadi besok sudah turun layar.