Ringgo Agus dan Dian Sastrowardoyo bagikan cerita di balik proses produksi film Esok Tanpa Ibu. Keduanya ungkap pengalaman emosional dalam memerankan sosok orang tua yang berhadapan dengan dinamika anak remaja dan perkembangan teknologi.
Dalam konferensi pers yang digelar di JAFF 2025 pada Kamis (4/12/2025), Ringgo mengungkap dirinya berperan sebagai seorang bapak yang berhadapan dengan dinamika anak remaja. Sementara itu, Dian memerankan sosok ibu yang harus beradaptasi dengan jarak emosional anak di tengah perkembangan teknologi.
Dian mengungkapkan proses pengembangan karakternya sebagai ibu dalam film ini tak lepas dari pengalaman pribadinya sebagai orang tua anak remaja. Ia juga menyadari bahwa peran sebagai ibu dari anak yang memasuki masa remaja ini menjadi pengalaman pertamanya sepanjang perjalanan kariernya di dunia sinema.
“Sepanjang karier aku ini pertama kali aku merilis diri aku di sinema menjadi ibu-ibu seorang remaja,” tutur Dian dalam keterangannya di konferensi pers pada Kamis (4/12/2025).
Dian mengaku, sebagai ibu ia merasa semakin sulit bersaing merebut perhatian anak-anaknya yang kini lebih tertarik pada hal-hal di luar obrolan dengan orang tua. Ia juga menyadari waktu terus berjalan, sementara kesempatan untuk membangun kedekatan bisa saja terlewat tanpa disadari.
“Sebagai ibu-ibu di rumah aku paham banget bagaimana kita bersaing pada atensi mereka yang diarahkan kepada hal-hal yang jauh lebih menarik, daripada ngobrol ke orang tua sendiri,” jelasnya.
Film Esok Tanpa Ibu membuatnya banyak melakukan kontemplasi tentang bekal hidup yang sudah ia berikan kepada anak-anaknya. Ia mempertanyakan apakah nilai-nilai yang ia tanamkan selama ini sudah cukup jika suatu saat ia harus lebih dulu pergi.
“Aku punya kecurigaan, jangan-jangan aku belum ngebekalin ke anak-anak aku. Main di film Esok Tanpa Ibu bikin aku kontemplasi, kalo besok aku pergi duluan kira-kira bekal yang aku turunkan ke anak sudah cukup belum ya?” ungkap Dian.
Selanjutnya, Dian juga menyebut mengajak anak-anaknya berbincang tidak selalu berjalan mudah. Ia menggambarkan situasi itu seperti mencoba mendekati seseorang yang tidak membalas perasaan, karena sering kali ajakan berbicara justru diabaikan.
Pengalaman merasa “dianggap asing” oleh anak sendiri itu, menurut Dian, sudah benar-benar ia rasakan dalam kehidupan nyata. Justru dari titik itulah ia mendapatkan modal emosional yang kuat untuk menghidupkan karakter Ibu Laras dalam film Esok Tanpa Ibu.
“Dicuekin anak itu aku sudah merasakannya. Ternyata itu yang menjadi modal besar pada saat aku main jadi Ibu Laras,” jelasnya.
Di sisi lain, Ringgo mengungkap perannya sebagai bapak dalam film ini tak jauh dari pengalaman pribadinya. Ia mengaku pernah berada di posisi sebagai remaja yang sering berkonflik dengan orang tua, hingga kini merasakan hal serupa dari sudut pandang seorang ayah terhadap anak-anaknya.
Ringgo menyebut proses memahami dunia anak sebagai pembelajaran yang terus berlangsung, termasuk dalam cara berkomunikasi. Menurutnya pertanyaan sederhana seperti menanyakan kondisi di sekolah justru menjadi hal yang paling tidak menarik bagi anak-anak.
“Menurutku sebagai orang tua, pertanyaan, “Gimana tadi di sekolah?” adalah pertanyaan paling nggak asik buat anak-anak,” tutur Ringgo.
Ia menuturkan bahwa, berkomunikasi saat anak masih kecil terasa lebih mudah karena respons mereka masih spontan dan antusias. Namun, ketika anak sudah beranjak remaja, jawaban yang muncul sering kali singkat dan minim respons, sehingga orang tua harus lebih memutar otak untuk mencari cara berkomunikasi yang tepat.
Lebih jauh, saat pertama menerima skenario, Ringgo melihat keresahan itu tergambar lewat karakter Ali sebagai sosok anak yang berada di usia remaja dan lebih ingin banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
“Ali kayak kita semua cowok-cowok yaa, dimana kita waktu usia belasan pengennya di luar rumah, nongkrong sama temen-temen,” jelasnya Ringgo.
Dalam situasi tertentu, Ringgo menggambarkan kebingungan anak remaja saat harus berhadapan dengan bapaknya, termasuk ketika duduk bersama di meja makan dan tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Nanti kalau menghadapi bapak mikir lagi harus gimana ini, kalau di meja makan harus nanya apa nih, kalau nanya yg berat-berat agak repot,” tuturnya saat menggambarkan kondisi anak remaja laki-laki.
Menurut Ringgo, kebingungan itu justru menjadi dinamika yang menarik dalam cerita, terlebih ketika percakapan yang terlalu serius justru membuat suasana semakin canggung. Dari situ tergambar bagaimana relasi bapak dan anak dalam film ini dibangun lewat jarak, kegelisahan, sekaligus usaha untuk tetap saling terhubung.
Lebih jauh lagi, film Esok Tanpa Ibu dijadwalkan tayang pada 22 Januari 2026 mendatang dengan menyasar penonton keluarga. Film ini menghadirkan kisah relasi orang tua dan anak remaja di tengah perubahan teknologi yang relevan dengan dinamika komunikasi keluarga saat ini.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS