Gerimis melanda Jakarta senja itu. Kendati begitu, Ibu Kota tetap tak sanggup mengurai asap kendaraan yang lalu lalang. Seorang pria menyeberang Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, menuju Taman Ismail Marzuki, tempat para seniman bersenda gurau dan bercengkerama dengan alam maupun sesama.
Pria itu adalah aku, pemburu senja dan penikmat semesta. Alih-alih ingin menikmati senja, hujan malah mengguyur Taman Ismail Marzuki. Aku berteduh di dekat pelataran, usai melewati beberapa anak tangga di sana. Tampak manusia berlomba dengan sepeda motor untuk mencari tempat singgah berteduh sejenak, hindari basah.
Matahari bersembunyi. Sinarnya terhalangnya pekatnya awan mendung. Untuk mengintip saja, Batara Surya tak kuasa. Alhasil, dia buatlah awan menangis tersedu-sedu. Air matanya membasahi bumi, rumput dan tanah hingga akhirnya kelembaban melanda. Aku menghirup wangi tanah dan rumput basah.
Aku melihat mobil lalu-lalang. Kebut-kebutan. Apa yang mereka cari? Waktukah? Sebegitu pentingkah waktu, sehingga mereka rela menerobos lampu merah dan nyaris sikut-sikutan dengan kendaraan lain? Lalu lebih berharga mana? Waktu atau nyawa? Sudahlah. Biarlah mereka yang menjawab, toh mereka sudah besar kok.
Hujan, yang tadinya gerimis, membuat dagangan para warung kopi laku keras. Biasanya, pelanggan mereka adalah pengendara sepeda motor. Dengan mudah, mereka memarkirkan sepeda motornya di pelataran. Kalau pengendara mobil, jangan harap! Banyak bajaj yang menghalangi jalannya kendaraan seukuran mobil.
Wangi siomay mengibas-ngibas indera penciumanku. Tak dinyana, liur pun nyaris tumpah ruah. Ingin kubeli, namun apa daya hujan begitu deras, tak merestui keinginan ini. Hanya kopi yang menjadi temanku. Kuseruput sedikit demi sedikit, kunikmati hingga tetes terakhir. Tanpa ampas tentunya.
Di depan Taman Ismail Marzuki, menjulang dua gedung cukup tinggi yang mengapit sebuah jalan kecil menuju Jalan Gondangdia. Senja ramai di jalanan ini. Sebab, jalan ini menjadi akses penting bagi orang-orang yang baru pulang bekerja, dan ingin kebut-kebutan mengejar waktu di rumah.
Taman Ismail Marzuki menjadi tempat nongkrong para remaja, terutama mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, serta seniman-seniman yang tengah bergaul serta mencari ilham. Meski inspirasi dan ilham terkadang kabur-kaburan, seniman itu tak kelu. Mereka mengisi hari dengan mengisap rokok dan minum kopi.
Di dalam, Taman Ismail Marzuki terdapat bioskop yang juga cukup lawas di Jakarta. Namanya, TIM 21. Sebelum memasuki area bioskop, aku melihat banyak jajanan dengan tenda-tenda berbentuk payung. Nikmat tampaknya, namun aku terus jalan mengarah menuju bioskop TIM 21 untuk menjelajahi toko buku di sebelahnya.
Aku duduk sejenak di pelataran bioskop. Dudukku diapit oleh dua orang pasangan yang saling bercumbu. Aku hanya terpaku, menikmati pemandangan ini dengan kelu. Biarlah mereka yang sedang asyik, aku ingin merenung sejenak menikmati hujan ini, dan wangi rumput Taman Ismail Marzuki yang membasah.
Tak sengaja, aku menemukan sepucuk surat di dekat tempatku bersandar. Surat yang ditulis dalam kertas bergaris. Telanjang, tanpa amplop. Tanpa nama penulis. Kertasnya pun agak lecek, terkena air hujan dan jatuh ke jalanan yang becek. Kendati begitu, isinya masih terbaca. Di sana tertulis:
Kepada kekasihku Gaia, sang pencinta tumbuhan dan pemuja kesunyian,
Hatiku berisi peperangan batin yang mendalam. Bagai Bharatyudha di Medan Kurusetra dalam kisah Mahabharata. Logika dan rasa tengah berkecamuk. Seluruh isi hati ini menjadi korban. Namun, rasa memang selalu menang. Akibatnya, timbullah kerinduanku padamu wahai kasihku serta keikhlasanku untuk mencintai dan memujamu.
Suara-suara di pikiranku selalu menyebut namamu. Kucoba teriakkan, namun nama itu tak kunjung hilang. Terus terngiang di antara sekumpulan ide-ide dan inspirasi. Ketika kutuangkan nama itu dalam tulisan, suara itu sayup-sayup memudar. Kendati demikian, mereka muncul kembali. Terus menerus merapal nama indahmu.
Aku mengakui dalamnya cinta ini. Tenggelam dalam jurang yang tak berdasar. Meski sempat memegang tepian, aku memilih jatuh. Namun, hingga kini, aku tidak kunjung terhempas ke dasar jurang itu. Aku kini masih senantiasa melawan angin, dan entah sampai kapan. Inilah cinta, ketika kuambil resiko untuk tersakiti.
Wahai Gaia, dunia bagaikan terhenti sejenak. Aku melihat manusia terdiam, kelu. Bagaikan Adam sebelum Tuhan menciptakan Hawa di surga, hingga akhirnya diusir ke bumi. Hanya aku dan suara alam yang terdengar. Sedangkan, manusia hanyalah ornamen hiasan dunia. Di jiwa ini, hanya ada kamu dan dunia yang mengelilingimu.
Kerap kali kudengar tawamu. Ceria yang terbungkus oleh sikap dinginmu. Bahagiaku mendengar tawa itu, cukup untuk mengobati nestapa di hatiku. Bayanganmu yang tiba-tiba melintas dari jendela, kerap menuai pandanganku. Aku pun terpaku sejenak, meninggalkan segala nikmat di dunia.
O, Gaia. Apa salahku? Semesta memaksaku berkata cinta. Sang Smara menciptakan pergolakan yang hebat di hati. Puncaknya adalah malam itu, sehingga aku memutuskan untuk mengungkapkan semua rasa yang ada. Namun, kusadari kesalahan itu. Sebuah momen yang salah, tapi aku mengungkapkan perasaan yang tak lebih dari sebuah kebenaran.
Aku tak bisa menyentuh jiwamu, kini. Ada tembok besar yang menghalangi. Entah kau atau aku yang membuat. Hanya lewat surat ini, aku ungkapkan rasa cinta dan pujaku kepadamu. Aku tak ingin membuat Tuhan cemburu. Tapi, kuakui kau adalah ciptaan-Nya yang terindah di muka bumi. Bukan dusta yang kuungkap, melainkan kebenaran.
Kau dan aku adalah jiwa yang berbeda, sangat berbeda. Tapi, aku ingin memasuki duniamu. Dengan segala kerendahan hati, aku ingin melangkah di jalan yang kau lalui, bergandeng tangan denganmu, dan merajut tali suci. Duniamu membuatku berbeda, begitu pula duniaku bagi dirimu.
Pandanglah mata ini, jika kau bertemu denganku. Apa yang kau temukan? Hanya seorang lelaki yang tiada munafik dan sombong untuk mengungkapkan kelemahan dirinya. Lebih baik aku memuja kejujuran, daripada kemunafikan yang hanya akan membawa kehancuran hebat bagi harga diri seseorang.
Lelaki ini lemah, namun mengungkapkan segala kejujuran melalui surat ini. Tubuhku tak lebih dari sekumpulan kebenaran yang tiada terbungkus kemunafikan untuk menutupi sesuatu yang aku yakini. Untuk sesuatu tersebut, aku tidak akan menyerah dalam keadaan yang gamang. Jalan ini masih panjang, dan terjal. Banyak bukit curam dan kerikil tajam.
Aku merindukan wajah bekumu yang begitu dekat denganku. Aku merindukan rumah asrimu, tumbuhan-tumbuhan yang memberikan kesejukan serta tawa canda riangmu. Dibalik itu, aku menemukan kesedihan yang tak kuasa kau ungkapkan. Namun, kau simpan rapat-rapat di dalam sebuah peti emas yang terkunci erat.
Gaia, aku ingin menjagamu, membawamu melihat dunia baru. Dunia yang tidak pernah terjamah olehmu, bahkan oleh orang-orang di sekelilingmu. Karena, disanalah kau menemukan kedamaian yang mungkin bisa menghilangkan sejenak penatmu. Setidaknya, izinkan aku untuk berusaha membuatmu tersenyum.
Kasihku Gaia, aku tiada mengenal bumi tempat kau berpijak. Kini, alam berjalan begitu lambat. Bahkan, tetes embun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghempaskan diri ke bumi ini. Ketika itu pula, aku melihat rumahmu. Saat obrolan terakhir kita mengalir, dan dirimu menjadi sosok yang berbeda di keesokan hari.
Wahai Gaia, bicaralah padaku. Bukan dengan kata-kata indah. Bicaralah dengan kalimat-kalimat yang singkat. Setidaknya aku tahu kalimat itu kau tujukan buatku. Tulislah di secarik kertas, jika kau lelah untuk membuka suara. Izinkan aku untuk mengetahui kabar baik darimu. Aku menyayangimu.
Tertanda
Cronos, Sang Penyair dan Pemuja Senja
Sebuah surat cinta rupanya. Tentang, kesedihan seorang penyair yang membawa nama Cronos. Mungkin, ini hanyalah secarik kertas lecek. Bahkan, pemulung pun ogah untuk memungutnya. Tapi, surat ini tampaknya sangat berharga bagi sang empunya dan orang yang dituju oleh si penyair tersebut.Lebih baik, aku simpan surat yang menyiratkan ribuan kata dan kalimat ini. Meski hanya secarik, kertas ini bisa saja mengubah dunia. Siapa tahu surat ini milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono buat Ibu Ani? Tapi, kemungkinan besar tidak. Pasalnya, tokoh dalam surat itu sesosok orang yang patah hati. Tak mungkin, orang sebesar Presiden patah hati.
Dunia menciptakan cinta untuk diungkapkan. Bagaikan dam yang tak kuasa menahan derasnya air sungai. Air adalah cinta, dan dam itu merupakan simbol dari hati para pemujanya. Ketika tekanan begitu deras, dam itu hancur. Terlontarlah kata cinta dan buaian asmara.
Cinta terkadang bagaikan malaikat pencabut nyawa, yang siap menarik nyawa seseorang. Alhasil, para pencinta mengalami sesak di dada. Mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya. Berbahagialah bagi mereka yang masih bisa jatuh cinta. Karena tanpa cinta, dunia menjadi hampa.
Aku lanjutkan menikmati senja. Namun, toko buku itu pun sudah di ambang senja pula. Toko tutup, saat aku sibuk membaca surat cinta itu. Mungkin lain kali, mungkin tidak. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan selalu yang menentukan. Langkahku pun gontai menuju jalan keluar Taman Ismail Marzuki.