Dini Hari yang Mencekam

Tri Apriyani | Eko Saputra
Dini Hari yang Mencekam
Ilustrasi hutan (pexels)

         Jantungku berpacu, deras keringat membanjiri kepala hingga kaki. Tubuhku seakan membeku, suaraku tercekat. Bayangan tentang akhir kehidupan kian jelas. Tak ada pilihan, tetapi aku tak ingin berlalu secepat ini. Di hadapanku berdiri seorang lelaki berbadan besar dan berwajah kasar. Matanya memberikan tatapan paling menakutkan yang pernah kulihat. Garis wajah dan air mukanya menunjukkan betapa ia telah lama hidup dalam kegelapan. Sekarang, tangan kanannya semakin kuat mencengkeram leherku. Sedikit lebih kuat lagi, dia pasti sudah memutus urat nadi hidupku. Sedangkan di tangan kirinya tergenggam sebatang balok yang kekerasannya cukup untuk mengeluarkan seisi kepala. Tubuhku tertahan di sebatang pohon. Tak ada tempat untuk lari. Dan aku sama sekali tak mengenal kawasan ini. Siapa pun, tolong aku! 

          Aku berusaha melepaskan tangan itu, tetapi sia-sia saja. Dia semakin keras menekan. Dan pasti, aku akan berakhir malam ini, jika bukan karena cekikan itu, tentu oleh balok di tangan kirinya. Jika bukan napasku yang diambil, pastilah darah di kepala.

          "Sayang sekali anak muda, kau telah memilih jalan yang salah. Selamat tinggal, dan tidurlah di neraka.”

          "Tung...gu..du—" dengan susah payah aku memohon padanya.

          “Kau tahu apa yang barusan kau lihat, ha?” Suaranya tenang, tetapi menakutkan. 

          Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Aku sedang berjalan-jalan saja ketika kudengar suara pukulan keras bertubi-tubi dari semak belukar. Aku penasaran dan menelusuri sumber suara. Saat itu kulihat kau, dan seorang perempuan tergeletak di kakimu. Aku tak tahu siapa kau, apalagi perempuan yang tak jelas lagi wajahnya itu. Tolong lepaskan tanganmu. Aku tak akan beri tahu siapa pun. Kumohon. Namun, semua kata tertahan. Aku tak sanggup lagi bahkan untuk berbisik. Tangannya begitu kuat mencengkeram batang leher. Siapa pun, tolong!

          “Kau tahu apa yang barusan kau lihat?” Suaranya mulai meninggi, “kau mau mati juga?”

          Aku tidak tahu dan tidak mau mati. Lepaskan.

          Seakan membaca pikiranku, laki-laki berbadan besar itu mengendurkan cengkeramannya. Aku mulai bernapas sedikit-sedikit. Sesaat saja. Setelah itu—tanpa basa-basi lagi—ia mengamuk. 

          "SEKARANG MATI KAU!"

          Seketika balok itu mengempas kepalaku sebelum sempat aku menghindar, sebelum sempat aku bertanya siapa dan mengapa. Yang kutahu setelah itu pandanganku berputar, berkunang-kunang. Kurasakan tubuhku membentur tanah. Masih kudengar suara pukulan berkali-kali lagi, sampai genangan darah mengalas kepalaku. Pemandangan terakhir hanya dewi malam yang bertengger tenang di ketinggian sana, seolah tak peduli pada apa yang disaksikannya. Setelah itu gelap. Kemudian sunyi. Lalu hitam. Selesai. Aku berangkat, menuju dimensi lain. 


***


          Hening yang panjang. Sangat panjang. Aku tidak tahu sudah berapa lama ketika kurasakan dingin angin menusuk kulit. Masih hidupkah? Siapa sebenarnya orang itu? Di mana ini? Aku masih bertanya-tanya ketika jeritan keras menyentakkanku. Membuatku tersadar dan terloncat. Kubuka mata, betapa ajaibnya, aku masih hidup. Di kananku hanya ada meja dan kursi dan lemari dan kipas angin yang lupa dimatikan. Di kiriku hanya jendela dan foto-foto bergantungan di sebelahnya. Di hadapanku sebuah pintu yang di sampingnya tergantung jam dinding pukul tiga. Oh, jadi tadi hanya mimpi? Syukurlah kalau begitu. Aku mengembuskan napas lega. Tapi tetap saja mengerikan. 

          Merasa haus, aku turun dari tempat tidur, ingin ke dapur. Kubuka pintu kamar, tetapi terasa berat, seperti ada yang menahan dari luar. Kucoba lagi, semakin berat. Apa ini? Sekuat tenaga kutarik sekali lagi. 

          Lagi. 

          Dan lagi, tetapi tidak juga. 

          Sekali lagi. 

          Seketika pintu mengempas terbuka seakan baru saja lepas dari tahanan kuat dari luar kamar, diiringi suara berdebum sesuatu yang jatuh ke lantai. Aku terperanjat bagai disengat listrik tegangan tinggi. Apa lagi ini? Bibirku tak bisa membuka, bahkan sekadar untuk berteriak. Telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Di bawah kakiku. Sebuah tubuh terlangkup bergelimang darah segar. Dengan sedikit keberanian yang dipaksakan, kubalikkan tubuh itu dengan sebelah kaki. Mati. Ia sudah mati. Siapa? 

          Alangkah terkejutnya aku ketika beberapa saat kemudian menyadari satu hal; wajah mayat itu. Tidak! Tidak mungkin! Aku sungguh semakin tidak percaya ketika pandanganku mengarah beberapa meter ke depan. Di sana tergeletak sebatang balok berwarna merah. Darah. Balok yang persis seperti dalam mimpiku. Mustahil! Ini pasti mimpi lagi. Aku coba membantah. Namun, tetap saja tak bisa menolak kenyataan bahwa seseorang berbadan besar yang membunuhku di alam mimpi dini hari ini, telah dibunuh di alam nyata—dini hari ini, di dalam rumahku—oleh seseorang yang menahan pintu.


2019

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak