Lari Itu Bukan soal Pace, tapi soal Progress! 4 Mitos Sesat yang Bikin Kamu Takut Mulai Lari

M. Reza Sulaiman
Lari Itu Bukan soal Pace, tapi soal Progress! 4 Mitos Sesat yang Bikin Kamu Takut Mulai Lari
Ilustrasi Lari (Pexels.com/Tirachard Kumtanom)

Gengs, di era sekarang, lari itu udah bukan lagi olahraga "bapak-bapak komplek". Lari sudah jadi bagian dari gaya hidup keren anak muda. Menurut riset global dari New Balance, 70% Gen Z dan Milenial di seluruh dunia itu lari setidaknya seminggu sekali!

Tapi, di balik populernya olahraga ini, ada banyak banget mitos sesat yang bikin sebagian dari kita jadi minder duluan. Dari yang ngerasa "nggak punya bakat" lari sampai yang takut dibilang lambat.

Nah, biar kamu nggak lagi terjebak sama pikiran-pikiran negatif itu, yuk kita patahkan bareng-bareng empat mitos paling umum soal lari, langsung dari para ahlinya!

Mitos #1: "Aku Nggak Punya Bakat Lari, Baru 1 Km Udah Ngos-ngosan"

Ini adalah alasan paling klasik yang sering banget kita dengar (atau bahkan kita ucapkan sendiri). Kita lihat teman kita bisa lari 5 km dengan santai, sementara kita baru 500 meter sudah kayak mau pingsan. Terus kita nyerah dan bilang, "Ah, emang gue nggak bakat."

Faktanya: Menurut Daniel Mananta, seorang marathoner sekaligus Brand Ambassador New Balance, nggak ada yang namanya "nggak bisa lari".

"Kalau baru mulai dan tubuh terasa lemas atau pegal, itu tanda tubuh sedang beradaptasi, bukan berarti nggak bisa lari," ujarnya.

Semua pelari, bahkan yang paling profesional sekalipun, pasti pernah melewati fase ini. Jadi, kalau kamu sudah bisa melangkahkan kaki dan berlari, selamat, kamu sudah resmi jadi seorang pelari. Yang penting, mulai dulu dan nikmati proses adaptasinya.

Mitos #2: "Malu ah, Pace-ku Lambat Kayak Siput"

Di era media sosial dan aplikasi lari, angka pace (kecepatan lari per kilometer) seolah jadi "harga diri". Banyak yang akhirnya jadi minder dan nggak mau lari karena takut pace-nya di-bully teman.

Faktanya: Lari itu bukan cuma soal seberapa cepat kamu sampai di garis finis. Dr. Tirta, seorang dokter yang juga pelari maraton, punya pandangan yang berbeda.

"Keberhasilan lari itu bisa dilihat dari banyak hal, seperti detak jantung yang stabil, jarak yang makin jauh, atau waktu pemulihan yang makin cepat," katanya.

Ia bahkan cerita pengalamannya sendiri. "Tiga bulan sebelum Berlin Marathon, saya baru pertama kali ikut maraton di Jakarta dan finis hampir 5 jam. Tapi dengan latihan konsisten, saya bisa pecahin personal best di Berlin."

Pesannya jelas: lari itu soal progress pribadimu, bukan soal membandingkan diri dengan orang lain.

Mitos #3: "Lari Itu Olahraga Mahal, Sepatunya Aja Jutaan"

Lihat para pelari di Instagram, sepatunya keren-keren, jam tangannya canggih, bajunya bermerek. Auto mikir, "Wah, olahraga sultan nih."

Faktanya: Lari itu justru salah satu olahraga paling "hemat". Kamu cuma butuh satu modal utama: sepatu lari yang nyaman. Itu saja.

"Jangan terpengaruh social pressure. Lebih baik invest di hal yang bikin kamu konsisten, misalnya coach, daripada beli gear yang dipakai atlet elite,” ujar Daniel.

Satu pasang sepatu lari yang bagus itu bisa dipakai sampai 800 km, lho. Jadi, kalau dihitung-hitung, ini adalah investasi kesehatan yang sangat efisien.

Mitos #4: "Aku Lari Cuma karena FOMO Ikut-ikutan Teman"

Banyak yang mulai lari bukan karena niat sehat, tapi karena lagi ngetren atau diajakin teman. Terus jadi ngerasa, "Ah, gue nggak tulus nih."

Faktanya: Nggak masalah! Apapun alasan awalnya, tubuhmu tetap akan merasakan manfaatnya. Menurut sebuah studi, lari seminggu sekali saja bisa menurunkan risiko penyakit jantung sampai 47%.

Menurut Dr. Tirta, "Nggak apa-apa mulai karena FOMO, yang penting bergerak dulu. Lama-lama bisa jadi kebiasaan yang baik untuk kesehatan jangka panjang.”

Jadi, gengs, lupakan semua mitos dan keraguanmu. Kampanye global dari New Balance, "Run Your Way", punya pesan yang sangat simpel: lari itu milik semua orang.

Nggak peduli seberapa cepat atau seberapa jauh langkahmu, yang paling penting adalah kamu sudah bergerak maju, dengan caramu sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak