Antara Kasus Korupsi Ditjen Pajak dan Target Penerimaan Pajak

Tri Apriyani | Trismayarni Elen, SE., M.Si
Antara Kasus Korupsi Ditjen Pajak dan Target Penerimaan Pajak
Ilustrasi korupsi (shutterstock)

Jika kita mendengar kasus-kasus korupsi yang dilakukan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, sudah pasti membuat geram. Betapa tidak. Pegawai pajak yang digaji negara sudah seharusnya membantu pemerintah dalam penerimaan negara atas pajak namun ternyata melakukan pemufakatan jahat dengan pemilik perusahaan.

Berulangnya kasus serupa di tubuh Ditjen Pajak semakin menguatkan kita bahwa fungsi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak lain seperti marketing di perusahaan yang berorientasi revenue meskipun dalam format berbeda. Yang membuat energi Kemenkeu tanpa disadari tercurah lebih ke arah bagaimana penerimaan pajak sesuai target.

Padahal jika kita melirik pada perusahaan maka peran departemen keuangan adalah lebih ke arah efisiensi dan pengawasan akan penggunaan dana perusahaan, hal ini pun yang seharusnya dilakukan kemenkeu. Fungsi pengawasan pada pengguna anggaran harus diprioritaskan.

Karena bisa jadi karena terlalu sibuknya Kemenkeu dengan aturan demi aturan dengan rancangan undang-undang yang berfokus kepada penerimaan pajak, maka lupa bahwa sehat dan berimbangnya keuangan dalam sebuah organisasi tidak melulu soal penerimaan.

Mengutip dari CNN Indonesia tanggal 7 Juli 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan 19 Rancangan Undang-undang (RUU) di bidang tugas Kementerian Keuangan untuk ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024. Dari 19 RUU tersebut 9 diantaranya lebih ke arah target penerimaan negara termasuk pajak.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan ekonomi yang masih dalam kondisi resesi yang kemungkinan membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk memulihkan kondisi ekonomi dengan asumsi pandemi berakhir, maka sudah pasti tidak mungkin menggenjot penerimaan negara terutama dari pajak, karena saat ini masih banyak perusahaan dan masyarakat yang ekonominya terpuruk.

Sehingga saat ini yang harus dilakukan kemenkeu lebih fokus ke efisiensi dan pengawasan pengguna anggaran agar bisa mengeleminasi menguapnya keuangan negara karena kasus-kasus korupsi.

Mengutip dari situs resmi KPK bahwa hingga tahun 2020 kasus tindak pidana korupsi (TPK) berdasarkan instansi terbesar terjadi di tingkat Pemkab/Pemkot dengan 409 kasus dan urutan kedua adalah tingkat Kementerian/lembaga dengan 382 kasus.

Data ini menandakan early warning pada kasus fraud yang berada di lembaga tersebut tidak berjalan. Sedangkan early warning akan adanya kasus fraud seperti korupsi harusnya bisa terendus sejak dini jika lembaga tersebut memiliki fungsi internal auditor yang kuat.

Sehingga patut diduga, dengan banyaknya kasus korupsi lembaga/kementerian dan lainnya, bukan penerimaan pajak yang tidak sesuai target tapi banyaknya sumber pendapatan negara yang menguap  baik sebelum dan yang sudah masuk kas negara.

Belum lagi permasalahan BUMN yang banyak merugi, melansir CNBC Indonesia tanggal 4 April 2021 Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan bahwa laporan keuangan BUMN karya kinerjanya tidak memuaskan tahun 2020 yang berdampak pada terpangkasnya laba bersih hingga 90%.

Masalah-masalah keuangan ini pasti akan menguras dan memberatkan keuangan negara ditengah pacekliknya penerimaan pajak. Oleh karena itu, peran pengawas yang harus lebih ditingkatkan bukan malah membuat banyak aturan untuk diundangkan agar menaikan target pajak.

Jalan yang mungkin dilakukan segera adalah: Pertama Kemenkeu harus melepas Ditjen Pajak untuk menjadi lembaga/kementerian terpisah dari kemenkeu sehingga kemenkeu bisa maksimal sebagai fungsi pengawasan pada pengguna anggaran yang bersinergi dengan auditor internal seperti mengembalikan kembali peran dan fungsi BPKP sebagai internal auditor, serta dengan eksternal auditor pemerintah yaitu BPK.

Sehingga kasus-kasus bisa segera terditeksi dan tertangani dan tidak menunggu KPK yang sudah pasti akan memakan waktu lama, karena hingga sekarang masih banyak kasus-kasus yang masuk ke KPK belum dituntaskan.

Selain itu, jika terjadi lagi kasus korupsi yang menyeret Ditjen Pajak maka Kemenkeu bisa dengan cepat menditeksi dan member saran tegas untuk menindak pelakunya, tidak hanya korupsi yang besar namun juga yang kemungkinan kecil-kecil namun berjumlah banyak.

Kedua Dengan Ditjen Pajak berdiri sendiri maka diharapkan pengawasan terhadap lembaga tersebut gampang tersorot dan tidak berlindung di balik Kemenkeu lagi. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan integritas para pegawai pajak, serta Ditjen Pajak lebih bisa bertanggungjawab dan fokus akan peran dan fungsinya sebagai pusat penerimaan pendapatan negara saat ini.

Jika pengawasan dari kemenkeu berjalan maka Ditjen Pajak juga tidak merasa dalam tekanan tinggi dalam hal target penerimaan pajak karena nyatanya korupsi terjadi hampir merata disemua lembaga/kementerian juga pemkab/pemkot.

Ketiga Mereformasi dan menata ulang struktur organisasi dan orang-orang yang bertugas di dalam Ditjen Pajak. Misalnya untuk bagian pemeriksan pajak dan account representative (AR) yang berada di KPP Pratama.

Maka pada kedua posisi tersebut dipilih dari orang-orang yang tidak hanya berpendidikan akuntansi namun juga harus berpengalaman di bagian keuangan/akuntan manajemen perusahaan skala menengah dan besar minimal 5 tahun, sesuai di mana nanti mereka ditempatkan.

Agar pegawai pajak tidak kalah “cerdik” dengan pengusaha. Kecerdikan pengusaha dan manajemen perusahaan tidak serta merta diartikan negatif yaitu untuk penggelapan pajak.

Banyak pegawai pajak merupakan alumni PTN terkemuka dan PTS ternama, namun lebih mengedepankan teori ekonomi khususnya akuntansi dalam menghadapi wajib pajak, sedangkan kasus-kasus yang dihadapi perusahaan itu seringkali tidak seindah yang ada dibuku-buku atau literasi kuliah yang lebih banyak mengadopsi buku-buku ekonomi akutansi dari Amerika dan Eropa.

Karena perusahaan di Indonesia yang meski berskala menengah besar namun masih banyak yang menggunakan instink dan pengalaman mereka sebelumnya dalam menjalankan bisnisnya.

Bila diibaratkan dari seluruh aktivitas perusahaan dalam hal perputaran uang, maka akan mendapatkan perbandingan 80% : 20% antara kegiatan bisnis/operasional dengan pembayaran pajak. Dengan asumsi 20% adalah maksimal pembayaran pajak  perusahaan, itu pun jika perusahaan berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Maka energi dan pikiran perusahaan akan tercurah pada aktivitas 80% tersebut, sehingga jika ada permasalahan pajak yang dihadapi perusahaan maka perusahaan cenderung mengambil jalan yang paling rasional versi mereka dengan menggandeng konsultan pajak serta penasehat hukum jika sampai ke pengadilan pajak.

Karena memang mayoritas pegawai pajak merupakan sarjana akuntansi yang sangat ahli dalam mengolah angka namun tidak pakar dalam menginterpretasikan kata, maka tidak perlu heran jika kasus pajak sampai menyeret wajib pajak ke pengadilan pajak maka lebih banyak dimenangkan wajib pajak yang lebih memilih konsultan pajak dan kuasa hukum untuk menghadapinya.

Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan // Pemerhati Bisnis dan Keuangan UMKM

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak