Terlaksananya Pilkada serentak pada 2020 kemarin telah menjadi momentum bagi banyak masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin yang dirasa sesuai. Tidak terkecuali bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tentunya merupakan bagian dari penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih. Meski begitu, ASN memiliki batasan-batasan tertentu dalam berpartisipasi di ajang demokrasi tersebut guna menjaga netralitasnya sebagai pegawai negara.
Sebagaimana dicantumkan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pasal 2 huruf f, bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah “Netralitas”, dimana setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan ASN selama masa Pilkada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, pasal 11 huruf C, antara lain:
- ASN dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
- ASN dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
- ASN dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah;
- ASN dilarang menghadiri deklarasi bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik;
- ASN dilarang mengunggah, menanggapi atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon kepala daerah, visi misi bakal calon/bakal pasangan calon kepala daerah, maupun keterkaitan lain dengan bakal calon/bakal pasangan calon melalui media online maupun media sosial;
- ASN dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan;
- ASN dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.
Pelanggaran netralitas tetap terjadi
Selama proses Pilkada, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diketahui menemukan 1056 kasus terduga pelanggaran netralitas ASN, angka yang dinilai cukup tinggi jika dibandingkan dengan pelanggaran Pilkada tahun 2018, yaitu sebesar 491 pelanggaran (KASN, 2018). Disamping itu, masyarakat juga melaporkan adanya 167 kasus diduga pelanggaran netralitas (Mashabi, 2020). Tercatat pelanggaran netralitas terbanyak yang dilakukan ASN adalah keterlibatan atas kegiatan kampanye dalam sosial media (KASN, 2020).
Hampir semua kasus pelanggaran tersebut telah ditindaklanjuti oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan nilai, kode etik dan kode perilaku ASN, dimana salah satu tugasnya ialah menjaga netralitas ASN. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mayoritas ASN pelaku pelanggaran telah diberikan sanksi, baik sanksi ringan hingga berat. Tidak hanya itu, ditemukan juga 104 dugaan terkait pelanggaran yang dilakukan ASN yang merupakan tindak pidana (Rahayu, 2020).
Apa penyebabnya?
Patronasi politik menjadi salah satu penyebab terbesar ASN bersikap tidak netral dalam ajang Pemilukada. Beberapa ASN memilih untuk kemudian condong ke salah satu pasangan calon guna mendapatkan atau mempertahankan posisi atau kariernya yang berada di tangan kepala daerah. Selain itu, hubungan kekeluargaan atau kekerabatan antara ASN dengan calon kepala daerah menjadi penyebab utama lainnya.
Hal tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kendala dalam pengawasan netralitas yang diakibatkan oleh kurangnya komitmen dan integritas dari para ASN untuk bersikap netral. Beberapa pihak juga merasa bahwa sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran ASN berupa sanksi moral dan administratif masih belum cukup tegas (KASN, 2018).
Lalu, bagaimana cara mencegah terjadinya pelanggaran netralitas ASN di Pemilukada selanjutnya?
Layaknya korupsi, isu netralitas merupakan salah satu hal yang sulit diberantas. Alasan utamanya karena perilaku ketidaknetralan tersebut cenderung timbul dari pribadi ASN masing-masing yang belum menjunjung integritas dan profesionalisme. Jalan utamanya ialah pemberian sanksi yang berat atau bahkan pemberhentian dengan tidak hormat guna menimbulkan rasa jera.
Untuk mewujudkannya, perlu adanya sinergitas antara badan pengawas, seperti KASN dan Bawaslu dengan masyarakat, serta dari pihak ASN itu sendiri. Apabila menemukan pelanggaran netralitas, masyarakat harus mau ikut berpartisipasi dalam melaporkan pelanggaran tersebut melalui saluran pengaduan yang telah disediakan oleh KASN. Begitu juga dengan para ASN apabila menemui sesama rekan ASN yang terbukti melakukan pelanggaran. Dengan pengawasan yang kuat serta sanksi yang berat, harapannya ASN tidak lagi menganggap pelanggaran netralitas sebagai hal yang lumrah.
REFERENSI
- Komisi Aparatur Sipil Negara. (2018). Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara. Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem-KASN.
- Komisi Aparatur Sipil Negara. (2020). Tindaklanjut Rekomendasi KASN oleh PPK, Ujung Tombak Penegakan Netralitas ASN.
- Mashabi, S. (2020). Bawaslu Temukan 1.056 Dugaan Pelanggaran Netralitas ASN pada Pilkada. https://nasional.kompas.com/read/2020/12/17/15550091/bawaslu-temukan-1056-dugaan-pelanggaran-netralitas-asn-pada-pilkada.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
- Rahayu, L. (2020). Bawaslu Temukan 46 Kasus Dugaan Pelanggaran Pilkada oleh ASN-Kepala Desa. https://news.detik.com/berita/d-5279610/bawaslu-temukan-46-kasus-dugaan-pelanggaran-pilkada-oleh-asn-kepala-desa.
- Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).