Islam merupakan agama yang memiliki sifat universal. Berbeda dengan syariat-syariat yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, ia hanya berlaku untuk kaum tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Tidak demikian dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ia berlaku untuk seluruh umat manusia hingga yaum al-akhir. Dalam perjalanannya, Islam tak hanya eksis di benua asalnya, Asia. Islam juga merambah ke benua-benua lain seperti Afrika bahkan juga Eropa.
Ketika masa kejayaan Islam sedang berlangsung, bangsa Barat (Eropa) ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap agama Islam. Hal ini bisa dilihat dari perlakuan mereka terhadap Islam yang mereka jadikan sebagai salah satu objek studi bagi sarjana-sarjana mereka.
Dalam buku “Hadis & Orientalis” karya Prof. Dr. H. Idri, M.Ag diungkapkan bahwa Barat tidak memandang Islam sebagai agama semata. Bagi mereka Islam adalah sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik, dan kebudayaan. Hal ini didukung oleh akibat yang ditimbulkan oleh perang salib dimana para cendekiawan Barat merasa memperoleh kemajuan dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan dari Islam.
Hal tersebut kemudian membuat porsi perhatian mereka kepada Islam menjadi lebih besar. Kemudian mereka melakukan studi terhadap semua ilmu yang berkaitan dengan keislaman secara lebih mendalam. Para intelek Barat yang melakukan kajian terhadap Islam ini disebut dengan orientalis. Sebenarnya, makna dari orientalis lebih luas daripada itu. Dalam perkembangannya, istilah tersebut menjelma menjadi paham sehingga muncullah istilah orientalisme. Bila ditelisik dari segi bahasa, orientalisme merupakan gabungan dari kata orient dan ism. Kata orient memiliki makna ‘arah terbitnya matahari’, sementara ism berarti aliran/paham.
Masih dalam buku “Hadis & Orientalis”, definisi sederhana dari orientalisme adalah kajian tentang dunia Timur. Istilah dunia Timur di sini ditujukan kepada bagian dunia yang terletak di sebelahm timur benua Eropa. Menurut bangsa Barat, dunia Timur dibagi menjadi 3 bagian meliputi Timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Dalam perjalanannya, orientalisme mengalami penyempitan makna. Mulanya kajian tentang dunia Timur, menyempit menjadi kajian tentang dunia Islam.
Sering kali para orientalis dalam melakukan studinya terhadap Islam tidak objektif. Tak jarang apa yang mereka lakukan merupakan kedok untuk menutupi tujuan mereka yang sebenarnya yakni menghancurkan Islam dari dalam. Akibatnya, apa yang mereka utarakandalam hal ini teori tentang studi keislamantidak terkesan ilmiah. Contohnya yakni teori common link yang digagas oleh G.H.A. Juynboll. Menurut teori common link, hadis merupakan buatan seseorang (dari generasi tabi‘in atau tabi‘ al-tabi‘in) yang disandarkan kepada generasi sebelumnya (sahabat) hingga kepada Rasulullah saw. Seseorang tadi lantas menyebarkan hadis buatannya kepada generasi setelahnya.
Dengan demikian, menurut teori common link tidak ada istilah otentisitas hadis. Hampir semua hadis palsu karena bukan berasal dari Nabi saw, ia justru dibuat-buat oleh generasi tabi‘in atau tabi‘ al-tabi‘in. Teori ini kemudian dibantah oleh Mustafa A‘zami yang mengungkapkan bahwa teori common link tak lebih dari sekadar imajinasi Josep Schact yang dikembangkan oleh G.H.A. Juynboll. Melihat fenomena tersebut, maka umat Islam harus benar-benar memegang teguh fakta ajaran Islam yang mereka ketahui supaya tak mudah diruntuhkan oleh teori-teori yang ditawarkan para orientalis.
Meski begitu, perlu dicatat bahwa tidak semua orientalis melakukan studi secara subjektif dan bertujuan menghancurkan Islam. Ada juga beberapa orientalis yang melakukan studi secara objektif, tanpa bayang-bayang kebencian terhadap Islam. Misalnya Karen Armstrong, orientalis perempuan keturunan keluarga Irlandia ini pernah menulis buku yang berjudul ‘Muhammad a Prophet for Our Time’. Tidak seperti buku-buku tentang Nabi Muhammad saw yang ditulis oleh para orientalis lainnya, buku karya Karen Armstrong ini justru merupakan wujud kegelisahan penulis terhadap santernya fitnah dan kebencian terhadap Nabi Muhammad saw khususnya di dunia Barat.
Begitulah, kajian terhadap Islam saat ini sudah menjangkau wilayah yang sangat luas. Islam tak hanya dikaji oleh pemeluknya sendiri, tapi juga dikaji oleh para intelek dari dunia Barat yang notabene mayoritas beragama non-Islam. Dengan mengatahui fakta ini, semoga kita bisa lebih berhati-hati dalam memilih literatur dan tetap berpegang teguh dengan kebenaran yang kita yakini. Aamiin!.