Ekspektasi penonton akan film Doctor Strange 2 terbilang sangat tinggi. Bagaimana tidak, film ini menyematkan dengan lugas label ‘multiverse’ pada judulnya. Sisi termaktub seolah menyiratkan bahwa film Doctor Strange 2 akan menawarkan sesuatu yang belum pernah ada dalam fase-fase MCU sebelumnya.
Belum lagi sutradara yang digandeng untuk film ini adalah Sam Raimi, seorang sutradara yang telah membuktikan diri mampu menyuguhkan trilogi Spider-Man (versi Tobey Maguire) dengan apik dan dikenal telah banyak menggarap film horor. Oleh sebab itu, tak heran bila dahulu pernah tersiar rumor yang menyebut bahwa film Doctor Strange 2 akan menjadi film horor pertama MCU.
Rumor yang beterbangan tentang film ini tak berhenti pada genre semata, masih ada banyak rumor lainnya. Sebagai contoh, kemunculan salah satu karakter dari series What If...?. Rumor ini pada akhirnya terbukti, karakter yang dimaksud adalah Captain Carter.
Desas-desus lain yang juga sempat beredar adalah kehadiran organisasi Illuminati. Seluruh rumor itu kian melambungkan ekspektasi penonton pada film Doctor Strange in the Multiverse of Madness ini. Patut diakui, metode pemasaran yang ditempuh pihak Marvel sangat berhasil menarik atensi publik. Namun, hal tersebut di Indonesia mengalami sedikit hambatan. Ya! Film Doctor Strange 2 harus bersaing dengan film KKN di Desa Penari dalam merengkuh penonton.
Saat film Doctor Strange 2 dirilis, respons penonton tentu sangat beragam. Ada yang merasa cukup puas, ada yang bilang film ini terhambat oleh rating PG-13 sehingga eksekusinya terbatas, ada yang kecewa karena unsur multiverse-nya sangat sedikit, ada juga yang terngiang-ngiang dengan kalimat romantis Doctor Strange pada Christine Palmer (begini kalimatnya, “I love you in every universe”).
Yah..... memang seperti itulah sebua karya, sebagian tak suka, sebagian tak sabar dengan karya berikutnya, sebagian lagi biasa saja. Jadi, buat teman-teman yang ingin mulai berkarya, jangan terjebak oleh kekhawatiran dan ketakutan atas ketidaksukaan orang nantinya. Sebab, bagaimana pun sebuah karya akan menemukan penikmatnya sendiri.
Oke, kembali ke Doctor Strange. Dalam salah satu scene, saya tertarik dengan ucapan Doctor Strange yang kurang lebih seperti ini, “Kau mengira menyelamatkan dunia bisa membuatmu bahagia, tapi ternyata tidak”. Kalimat ini diucapkan oleh Doctor Strange di penghujung akhir film.
Artinya, ucapan Doctor Strange tersebut merupakan kesimpulan dari semua yang telah ia jalanikhususnya dalam film Doctor Strange 2. Begitulah realitanya, untuk dapat menyelamatkan dunia, Doctor Strange mau-tak mau harus kehilangan banyak hal. Ia kehilangan banyak momen bersama Christine Palmer, yang lantas membuat kisah cintanya tersebut kandas. Tak berhenti di situ, bangunan Kamar-Taj hancur, Cloak of Levitation robek, hingga nyawa beberapa murid di Kamar-Taj yang melayang. Semua itu jelas merupakan perkara yang menyesakkan.
Kendati demikian, Doctor Strange tetap harus melanjutkan langkahnya dalam menyelamatkan dunia. Sebab, jika ia berhenti, maka ia akan menemui sesuatu yang lebih menyesakkan. Film Doctor Strange 2 tampaknya menaburkan bumbu yang sama seperti film-film MCU lainnya. Sebagai penonton, kita cenderung diajak untuk berkhayal menjadi sang tokoh utama. Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Doctor Strange tentang menyelamatkan dunia tadi, saya rasa masih kurang terkesan di hati penonton. Mengapa? Karena apa yang dilakoni Doctor Strange sangat kecil kemungkinannya kita lakoni juga di dunia nyata. Ucapan Doctor Strange memang realistis, tapi apa yang dilakukannya adalah fantasi bagi kita.
Jika ingin melihat bukti dari ucapan Doctor Strange, kita dapat menemukannya dalam film The Batman. Saya di sini tidak membanding-bandingkan antara film Doctor Strange 2 dengan filmThe Batman, lho ya!. Saya hanya mencoba menunjukkan bahwa ucapan Doctor Strange memang related dengan kehidupan nyata.
Dalam film The Batman, kita diperlihatkan betapa susahnya menjadi ‘pahlawan’. Padahal ranah penyelamatannya hanya kota. Namun, seolah kita bisa merasakan betapa lelahnya Bruce Wayne. Ia harus berjuang menyingkap tabir kebusukan yang telah menyelimuti kota kelahirannya. Semua demi meringkus para kriminal dan menyelamatkan kehidupan orang-orang tak bersalah. Apa yang dilakukan Bruce Wayne sangat mungkin kita lakukan di dunia nyata. Dan, saat kita membayangkannya mungkin kita akan berpikir beberapa kali untuk menjadi ‘pahlawan’.
Kembali ke Doctor Strange. Selain mengorbankan banyak hal, menyelamatkan dunia kadang juga merupakan ujian bagi idealisme sang pahlawan. Dalam kasus ini, idealisme sang pahlawan terpaksa mengalami benturan dengan idealisme yang dimiliki pihak yang dihadapi. Sang pahlawan harus memilih, tetap keukeuh berpegang pada idealismenya atau berpaling pada idealisme musuh.
Masing-masing tentu mempunyai risiko. Dalam film Doctor Strange 2 pun demikian. Idealisme sang tokoh utama mengalami gesekan dengan milik sang villain, yakni Scarlet Witch. Sebagai seorang ibu, Wanda alias Scarlet Witch ingin bertemu dan hidup bersama anak-anaknya yang ada di semesta lain. Cara yang ditempuhnya adalah dengan mengambil secara paksa kekuatan America Chavez.
Apa yang dilakukan oleh Scarlet Witch tersebut ditentang oleh Doctor Strange. Pasalnya, sebelumnya Wanda telah ‘membahayakan’ penduduk Westview dengan kekuatannya. Jika ia mendapat kekuatan America Chavez, maka ia akan menjadi ancaman besar bagi banyak universe. Perkara semacam ini tentu menjadi cukup kompleks. Apalagi Wanda melakukan perbuatannya berdasarkan dalih posisinya sebagai seorang ibu. Artinya, ia melakukan hal tersebut lantaran kasih sayangnya pada anak-anaknya. Sayangnya metode yang ditempuh Wanda adalah metode yang tidak semestinya dan berpotensi mengganggu keseimbangan semesta. Akhirnya, tanpa sengaja Wanda pun menjadi villain.
Yah.....begitulah kehidupan super hero, banyak pengorbanannya. Apa yang diucapkan Doctor Strange seolah menyiratkan bahwa menjadi orang biasa itu lebih nyaman dan menenangkan. Dengan menjadi orang yang biasa-biasa saja, kita bisa menghabiskan waktu dengan orang tersayang. Hidup pun juga tak penuh oleh tuntutan. Bukan hanya tuntutan menyelamatkan dunia, tapi juga tuntutan untuk selalu terlihat sempurna. Saat ada yang iri dan memfitnah kita, seketika status ‘public enemy’ melekat pada diri kita. Sementara saat kita menjadi orang biasa lalu melakukan kesalahan, mungkin orang sekadar memberikan nyinyiran sewajarnya, atau bisa jadi malah tak peduli sama sekali.
Bicara soal pahlawan, tampaknya ada definisi yang lebih membumi dari Sonic. Menurut Sonic menjadi pahlawan itu bukan soal menjaga diri sendiri, melainkan bertanggung jawab ke orang lain. Barangkali pernyataan Sonic tersebut bisa diinterpretasikan seperti ini, “Kita tak harus menyelamatkan dunia untuk bisa disebut sebagai pahlawan. Cukup kita berbuat baik pada orang lain, maka saat itulah kita merupakan seorang pahlawan”.
Namun, masalahnya sekarang kita kerap mendapati situasi yang dilematis saat hendak berbuat baik. Ada banyak kasus di mana orang yang berbuat baik justru ditusuk dari belakang. Ada juga yang malah memanfaatkan orang baik demi kepuasan pribadi. Hah! Andai saja perbedaan antara kebaikan dan keburukan tampak jelas seperti dalam film superhero, mungkin kita tak akan serepot ini saat mau berbuat baik.