Perubahan iklim sudah menjadi isu yang sering dibicarakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, isu ini masih belum dipahami secara dalam oleh sebagian besar masyarakat.
Perubahan iklim sendiri merupakan fenomena global yang disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama kegiatan yang berhubungan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan kegiatan pembakaran hutan.
Kegiatan-kegiatan seperti itu dapat menghasilkan gas-gas yang semakin lama semakin banyak jumlahnya di atmosfer. Gas-gas tersebut terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N20).
Gas-gas ini memiliki seperti kaca yaitu meneruskan gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan permukaan bumi yang sifatnya panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat. Hal inilah yang disebut sebagai efek rumah kaca dilihat dari pengaruh yang ditimbulkannya.
Pemanasan global tidak terjadi seketika, tetapi berlangsung dari puluhan dan ratusan tahun. Pada saat revolusi industri yang dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu gas rumah kaca CO2 di atmosfer baru 290 ppm (part per million).
Saat ini telah mencapai sekitar 350 ppm. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan menjadi 580 ppm atau dua kali lipat dari zaman praindustri.
Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4,5 °C yang berdampak luar biasa besarnya terhadap semua makhluk hidup di bumi, termasuk kita manusia.
Penghasil terbesar emisi gas rumah kaca adalah negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, dan negara-negara lain di belahan bumi utara. Pola konsumsi dan gaya hidup negara-negara di kawasan utara sangat berbeda dengan negara-negara berkembang di kawasan selatan.
Di lain pihak negara-negara berkembang, termasuk Indonesia juga memiliki kontribusi dalam pemanasan global yang disebabkan kebakaran hutan marak terjadi. Bahkan, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menempatkan Indonesia pada posisi tiga besar negara dengan emisi terbesar di bawah Amerika Serikat dan China pada tahun 2000. Hal ini terjadi karena asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sendiri menyatakan antara tahun 2000-2004 hutan Indonesia yang rusak mencapai 3,4 juta hektar per tahun, tahun 2005 menjadi 2,8 juta hektar per tahun, dan tahun 2006 menurun menjadi 2,73 juta tahun hektar per tahun.
Tidak hanya pembakaran hutan, Chloro Fluoro Carbon (CFC) atau yang biasanya dikenal dengan istilah freon juga dikenal sebagai gas rumah kaca karena CFC menyerang ozon yang berada di atmosfer.
Ketika ozon mulai menipis akibat penggunaan freon yang berlebihan, kadar CO2 di atmosfer akan meningkat. Akibatnya, kandungan ozon di angkasa menipis sehingga menimbulkan lubang ozon, khususnya Kutub Utara dan Selatan. Dengan demikian, sinar ultraviolet mampu menerobos masuk ke atmosfer sampai ke permukaan bumi.
Radiasi ultraviolet ini pun dapat menimbulkan kanker kulit. Jika lapisan ozon terus menipis maka bumi tidak lagi memiliki pelindung radiasi ultraviolet. Hal ini akan terus-menerus terjadi di bumi dan akan menghancurkan bumi jika kita mengabaikan isu-isu pemanasan global dan angka emisi yang dihasilkan negara-negara yang terdapat di dunia.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran kita untuk menjaga bumi kita di masa yang akan datang.