Korean Wave dan Sebuah Kisah Perjalanan Self Love

Tri Apriyani | Uswa
Korean Wave dan Sebuah Kisah Perjalanan Self Love
Ilustrasi Istana Gyeongbokgung dan Hanbok (Unsplash)

Fenomena korean wave yang kaya akan budaya serta dikemas secara menarik dan epik melalui produk K-Pop dan K-Drama memiliki pengaruh yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Khususnya bagi para milenial, termasuk saya. Hobi menonton drama Korea dan menonton konten-konten idol favorit, bagi saya mampu untuk menyegarkan pikiran dan mengatasi stres karena padatnya aktivitas atau kesibukan kerja.

Saat menonton saya merasa sangat excited dan semangat sekaligus kagum dengan budaya Korea yang penuh kreativitas dan inovasi, namun tetap mempertahankan keotentikannya. Selain itu, dampak korean wave ternyata bisa menjadi ajang untuk menerapkan self love dalam kehidupan saya.

Menurut saya, self love itu ketika seseorang bisa menerima diri sendiri apa adanya dan mampu memberikan yang terbaik untuk dirinya. Seperti yang saya sadari, melalui hobi menikmati K-Pop dan K-Drama adalah cara saya untuk bisa lebih mengenal bahwa inilah sosok seorang “Uswa” sosok yang nge-hype banget dengan hal-hal yang berbau Korea.

Meskipun, saya masih sering mendengar pertanyaan “kok kamu masih suka korea-koreaan? Buat apa kamu belajar bahasa Korea, nggak nyambung sama jurusanmu”. Di saat seperti itu, justru hobi fangirling, menonton drama, dan terus belajar bahasa Korea menjadi motivasi saya untuk bangkit. Bahkan saya menganggap belajar bahasa Korea itu seperti healing. Karena saat belajar saya tetap fokus, merasa tenang, dan menikmati prosesnya meskipun kesulitan tetap ada. Ini merupakan hal terbaik yang bisa saya berikan untuk diri saya.

Dampak korean wave terbesar yang saya rasakan adalah saya mampu menerapkan self love yang ternyata berujung pada self development untuk diri saya. Terutama melalui rasa cinta saya terhadap budaya Korea dan bahasa Korea ini, saya jadikan sebagai kesempatan untuk fokus dan menetapkan tujuan saya sebagai lulusan pendidikan untuk berkarier sebagai pengajar bahasa Korea.

Sebagaimana saya diajarkan bahwa “Mendidik harus dengan sepenuh hati”, maka saya memilih untuk mengajarkan apa yang saya sukai dan saya kuasai. Kabar baiknya, saya sangat bersyukur karena tahun ini saya akan mulai mengajar bahasa Korea di salah satu lembaga favorit saya. Saya juga berharap melalui karier ini, saya bisa membangun personal branding sebagai pribadi yang passionate dan professional.

Bagi saya, hal terpenting dari self development adalah proses untuk menemukan diri saya. Saya belajar dari nilai-nilai budaya Korea yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam kehidupan saya. Seperti menerapkan budaya "ppalli-ppalli" (cepat-cepat) ketika saya bekerja atau membuat suatu keputusan, dengan tetap berpegang pada filosofi hidup orang Jawa “Alon-alon waton kelakon” (pelan-pelan asal terlaksana) yang saya jadikan “rem” supaya tetap berhati-hati dan waspada.

Dari hal ini saya mampu mengenal diri saya sebagai pribadi yang cenderung menyukai keseimbangan dalam hidup. Ternyata budaya yang saya punya, jika diakulturasikan dengan budaya Korea sangat membantu saya untuk mengenal diri saya dengan lebih baik. Jadi saya bisa melestarikan budaya sendiri, dengan tetap mengikuti budaya lain, tanpa merasa takut kehilangan identitas saya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak