Perjuangan Melawan Kekecewaan Tanpa Kekerasan

Hernawan | Muhammmad
Perjuangan Melawan Kekecewaan Tanpa Kekerasan
Ilustrasi marah (pexels/@katlovessteve)

Munculnya berbagai ekspresi emosi dengan cara yang serampangan, sehingga menyebabkan beberapa orang terluka secara psikologis, menambah miris keadaan. Dimulai dari ulah rasis para pendukung Timnas sepakbola Inggris kepada eksekutor pinalti yang gagal memasukan bola ke gawang Itali di final Euro 2020. Hingga perhelatan akbar Olimpiade 2020. Saat saya sedang berselancar di dunia maya, ada satu ombak besar yang menarik perhatian, dari salah satu media sosial berlogo burung.

Retetan kejadian tersebut membuat saya geleng-geleng kepala. Emosi manusia apabila dituruti terus menerus tanpa ada batasan yang jelas, akan membawanya pada kemalangan. Dalam pergulatan batin tersebut,  saya teringat salah satu kisah klien pemasyarakatan yang sedang dalam masa percobaa Pembebasan Bersayarat. Masa lalunya yang kelam, membuat namanya terkenal se-antero kota tempat saya bekerja. Sekali saja menyebut namanya, hampir masyarakat tahu. Masyarakat menyebutnya Lona (jelas bukan nama aslinya).

Mendekati individu dengan label “superstar” di kalangannya , bukan perkara mudah. Terlebih perbedaan faktor budaya, membuat jarak komunikasi kian membuatnya sulit. Tetapi, saya percaya kepada salah satu wejangan senior, bahwa manusia sekejam apapun ada titik “lemah” untuk ditaklukan.

Konfrontasi dan celetukan nakal berbau labeling masih sering dilakukan oleh masyarakat kita. Tidak mudah menjadi seorang manusia tersesat, ketika keluar ia harus menghadapi kondisi yang jauh lebih berat. Mereka yang kembali lagi di tengah kehidupan sosial, layaknya manusia yang terlahir kembali, semua ia mulai dari kosong.

Usaha untuk berbaur kembali, sulit dilakukan, terkadang lingkungan sosial menerima dengan setengah hati atau yang paling para,  lingkungan inti menolaknya dengan mentah-mentah. Hingga pada saat pandemi ini, saat melakukan tugas pengawasan terhadap klien pemasyarakatan secara virtual, ada satu momentum menenggangkan yang sebenarnya tidak saya inginkan terjadi pada Pak Lona.

Saya dibuat tercengang, disertai  perasaan bingung, karena melihat postingan video yang dia unggah pada status WhatsApp. Dalam video tersebut, dia menunjuk ke arah jendela yang  pecah, dan sebongkah batu seukuran dua kepal tangan orang dewasa.

Dalam kondisi setengah sadar, karena kebetulan sore itu adalah hari istirahat, saya mengulang-ngulang  video yang dia unggah. Suaranya yang terdengar samar-samar, adalah salah satu alasannya.

“Wah bahaya ini,” gumam saya saat memutar video yang ia posting. Pikiran saya terbang ke mana-mana. “Wah gawat ini akan ada aksi layaknya film Crows Zero di kota ini,” batin saya.

Apabila ia mau, bisa saja dengan mudah memetikkan jarinya, dan menyuruh pengikutnya untuk mencari orang tersebut. Kalaupun si pembuat onar itu mengerti istilah “jangan menganggu macan yang sedang tidur,” mungkin ia akan berpikir ribuan kali sebelum memulai aksi brutalnya.

Tentu saya tidak mau larut dalam pikiran kelam tersebut. Akan ada beban moral yang saya bawa bila pikiran kelam yang saya tadi terjadi. Saya mencoba menghubungi dirinya melalui aplikasi WhatsApp.

“Gimana pak keadaanya sekarang?” pembukaan diplomatis.

“Alhamdulillah, baik pak. Cuma ada insiden kecil ini," mendadak ia meminta panggilan melalui video call. “Ini pak kejadiannya kecilnya," ucapnya sambil mengarahkan kamera HP pada sebongkah batu besar, serta serpihan kaca.

“Tapi, tidak kena ke bapak kan?” tanya saya kepada dia. “Tidak pak, saat itu saya sedang tidak di rumah". Saya memberanikan diri untuk bertanya “terus kita,mau apakan pelakunya pak?”. Ia tak lantas menjawab, sambil memegang kepalanya karena bingung. “Saya diamkan saja pak, rencana saya mau pindah ke tempat orang tua saja, di sini sudah tidak aman sepertinya".

Jawaban Pak Lona melegakan hati. Seperti sinar mentari pagi, mengusir kabut-kabut pekat yang  sedari tadi meliputi pikiran saya. Tindakkannya membuat saya teringat pada satu  kisah perjuangan Gandhi, hingga ia mendapatkan gelar Mahatma.

***

Mahatma Gandhi adalah sosok manusia yang teguh dalam pendirian, perjuangannya dalam melawan penindasan disebut sebagai “kasih yang teguh”. Bahkan beberapa tokoh dunia menjiplak strategi perlawanannya. Ada 300 gerakan anti kekerasan di dunia, yang mengejutkan hampir separuhnya berhasil. Salah satunya adalah Marthin Luther King saat berjuang melawan politik apartheid di Amerika.

Strategi perlawanan tanpa kekerasan, seolah mulai hilang dari muka bumi. Saya muak melihat berbagai jenis kekerasan yang terjadi selama pandemi. Namun, Pak Lona memiliki cara tersendiri. Ia menjelma bak malaikat pembawa kabar gembira di saat berbagai kasus kekerasan fisik dan verbal sering terjadi. Ia meningatkan bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan tidak akan ada habisnya.

Melihat hal itu, saya teringat salah satu cerita, dari Mahatma Gandhi yang terdapat pada karya Eric Weiner. Ia mengisahkan bagaimana Mahatma Gandi bersama 80 pengikutnya melakukan perjalanan dari Ahmedabad menuju laut arab, yang berjarak puluhan kilo meter.

Sesampainya di Laut Arab, Mahatma Gandhi bersama pengikutnya yang bertambah hingga beberapa ribu, berendam di sana. Gandhi mengambil setangkup garam alami dari laut arab, yang selanjutnya diikuti oleh para pengikutnya. Ini adalah simbol perlawanan dari Gandhi terhadap kolonial Inggris, yang melarang melakukan tindakan demikian.

Di tepi laut sudah menunggu, puluhan polisi yang siap memukul mundur Mahatma Gandhi bersama pengikutnya, namun hal tersebut tidak dihiraukan. Benar saja, mereka semua dipukul dengan tongkat lathi berujung baja. Tidak ada satupun dari Gandhian yang mengangkat tangannya untuk sekedar menangkis serang tersebut. Ia menerima hujan hantaman dari polisi, hingga membuat orang-orang yang di sekitarnya keheranan, bahkan ikut geram.

Mahatma Gandhi menyadari bahwa perlawanan dengan fisik tidak akan menyelesaikan masalah. Lagipula Gandhi bersama pengikutnya sedang melakukan perlawanan dengan dalam bentuk lain. Kejadian ini merupakan titik balik perjuangan kemerdekaan India.

***

Memasuki bulan ke delapan dalam kalender masehi, bangsa kita selalu melakukan kegiatan yang merefleksikan perjuangan para pahlawan.  Kita selalu didongengkan bentuk perlawanan terhadap kolonial, dengan bambu runcing. Tetapi ada perjuangan melawan penjajahan, tanpa kekerasan, melalui berbagai negosiasi dan konferensi.

Manusia di muka bumi yang masih sehat bergas waras, jiwa raganya pasti menginginkan kemerdekaan atas dirinya. Siapa sih di antara manusia di bumi ini yang mau dikurung?  Namun kemerdekaan diri bila dituruti dan dilakukan dengan cara serampangan, hasilnya bukan kemerdakaan, namun kesesatan.

Mendapatkan kemerdekaan diri, ia tentu harus dilewati dengan pengorbanan dan rasa sakit tak tertahankan. Namun, di zaman sekarang, bahkan akhir-akhir ini, yang terjadi justru perjuangan ketika mendapati jalan kegagalan, dilontarkan dengan rasa kecewa berlebihan yang jatuhnya malah bisa menjadi rasis.

Pendukung Timnas Inggris dan para atlet olimpiade yang melakukan ujaran berbau rasis, sebagai bentuk ekspresi kekecewaan. Tampaknya harus belajar lagi cara menumpah ruahkan kekecewaan. Mereka perlu melakukan perenungan mendalam, perihal makna perjuangan.

Alih-alih melawan dengan kekerasan verbal, Pak Lona saat sedang berjuang kembali mendapatkan kepercayaan di tengah masyarakat, dan menerima peristiwa yang mengecewakan, ia memilih jalan perjuangan dengan menghindari konflik, serta membuat hal-hal berbau konfrontasi melalui video yang ia unggah. Ingat kata Mahatma Gandhi, “cara mu berjuang lebih penting, ketimbang apa yang kamu perjuangkan".

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak