Beberapa hari ini, story dan grup WhatsApp saya, dihiasi dengan gambar uji kejeniusan serta keunikan manusia. Kali, ini bukan uji tebak-tebak gambar absurd yang dikaitkan dengan percintaan ataupun karier setiap individu yang mencoba mengerjakannya. Akan tetapi, melalui kalimat yang mencampur adukan berbagai bahasa, sehingga menjadi sebuah paragraf. Teranyar, yang saya dapati di grup WhatsApp, lebih unik lagi, pasalnya ia memakai tiga bahasa, Indonesia, Jawa dan bahasa internasional umat manusia, dan Inggris.
Saya yang memiliki kemampuan pas-pasan dalam menyusun kalimat, untuk komunikasi lisan maupun tulisan mampu memahaminya. Si pembuat memang unik sekali dalam menyampaikan pesan motivasi. Ia, menguji kemapuan para pembacanya dengan ramuan kalimat dalam berbagai bahasa.
Memang, di tengahketidak jelasan dan sepertinya mudik yang bakalan dilarang kembali karena pandemi yang belum berhenti, membuat saya dan mungkin sebagian manusia lunglai. Manusia hanya butuh kepastian dalam pujian di tengah ujian hidup, sama halnya pesan motivasi dalam bentuk gambar yang menggabungkan berbagai bahasa.
Keunikan serta kejeniusan manusia, memang sebuah hal yang istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Termasuk salah satu produknya, yaitu bahasa. Bahasa merupakan cara manusia menandai satu peradaban zaman. Selain itu, bahasa dijadikan pemersatu kelompok, hingga menjadi identitas individu. Keistimewaan manusia dalam menghasilkan bahasa memang terlihat istimewa. Bahkan, data terakhir yang dimuat di laman kemdikbud, setidaknya ada 719 bahasa daerah yang ada di Nusantara. Dari tiga puluh empat provinsi, bisa menghasilkan 719 bahasa daerah, sungguh istimewa kekuatan intelektual manusia Nusantara.
Namun, di tengah keistimewaan manusia sebagai makhluk penghasil bahasa, yang mempunyai tugas melanjutkan peradaban ke arah yang lebih baik, acap kali lalai merasa angkuh dengan keistimewaanya tersebut, sehingga membuat kerusakan. Saya senang dengan susunan kalimat dalam dua atau tiga bahasa, dalam bentuk gambar. Kita semua tahu bahwa manusia memang sosok makhluk yang istimewa, lagian tiga bahasa itu mudah. Melakukan komunikasi menggunakan bahasa tubuh aja manusia bisa. Namun, keistimewaan manusia terkadang membuat lupa hingga membawa kita dalam kejahatan.
Ilusi Keistimewaan
Banyak kasus kejahatan di akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, karena keampuhan manusia disalahgunakan. Khususnya kekuasaan. Ketimpangan relasi kuasa dalam balutan religi ataupun organisasi. Kekejian manusia memang luarbiasa dibandingkan makhluk lainnya. Bahkan Buya Hamka dalam bukunya Lembaga Budi menyebutkan bahwa manusia dapat lebih rendah daripada hewan. Sifat liar manusia itu sangat berbahaya, terlebih dalam yang dibalut dengan pernak-pernik tadi, saya jadi ingat pesan Cak Rusdi perihal potensi kejahatan manusia, “kekejaman manusia itu terkadang melebihi batas”.
Sebagai makhluk, kealpaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku manusia. Namun, terkadang kealpaan manusia, dilakukan secara terus menerus atau melebihi batas norma yang berlaku di masyarakat. Latarbelakang terjadinya perilaku penyimpangan norma dipengaruhi banyak faktor. Akan tetapi yang tersulit dalam penghapusan kesalahan manusia adalah mengakui dan memperbaiki perbuatannya. Secara alamiah karena merasa dirinya istimewa, saat melakukan kesalahan, manusia cenderung bersikap defensif. Menggunakan alasan berbelit atau tindakan atraktif yang akhirnya menggali kesalahan lagi dan terjebak di dalamnya.
Bukan perkara mudah menarik manusia, yang sudah masuk dalam dekapan sikap defensif. Perlu strategi yang jeli dalam mengumpulkan bukti. Bahkan, setelah mereka terkena hukuman, terkadang masih juga menyangkal dengan alasan yang ghateli. Takdir membawa saya masuk dalam ruang lingkup pekerjaan yang bersinggungan dengan proses pembimbingan para pelanggar hukum. Mereka harus menerima konsekuensi karena perilakunya di masa lalu, karena melakukan pelanggaran hukum. Atau mungkin kurang beruntung akibat ketidaktahuannya, kita yang sering melakukan perbuatan alpa, tetapi masih bisa menghirup udara bebas, hanya karena dewi fortuna masih meliputi diri.
Hal yang paling menguras energi jiwa, saat melakukan perbincangan dengan narapidana, ketika mereka bersikap defensif. Padahal sudah jelas terkena hukuman namun seringkali berbohong. Pribadi suket teki, merujuk pada satu bait lirik lagunya Didi kempot, “Wong salah ora gelem ngaku salah”. Narapidana yang seperti itu kadang membuat jengkel, apabila diteruskan dalam memelihara suket tekinya, maka akan menjadi catatan tersendiri dalam rekomendasi pemberian hak berintegrasi. Hak yang paling diminati para narapidana, karena mereka dapat menjalani masa percobaan di luar tembok perenungan. Hanya narapidana yang kurang waras kejiwaannya saja yang tidak menginginkan menghirup udara bebas.
Keistimewaan manusia seperti pisau bermata dua. Saat sedang merasa tidak berguna, ia akan menjadi pemompa semangat paling jitu. Namun demikian, keistimewaan manusia, akan menciptakan ilusi yang mendorong sikap angkuh, sehingga meninabobokan dalam penyimpangan perilaku, yang merugikan orang lain.
Benar, bila Erich Fromm dala karyanya The Heart Of Man, mendefinisikan kejahatan adalah lenyapnya manusia terhadap dirinya sendiri, dalam upaya tragis untuk lari dari beban kemanusiaan. Pasalnya, kejahatan yang dilakukan oleh manusia, merupakan proses yang diarahkan untuk menghilangkan sisi kemanusiaanya. Termasuk, merasa istimewa. Keluar dari bayang-bayang keistimewaan, bukanlah upaya mudah, perlu kesadaran penuh bahwa manusia hanyalah sebuah makhluk.
Saya sepakat, terhadap pesan motivasi yang dilakukan dengan cara menguji kemampuan manusia, seperti yang saya temukan di WhatsApp tadi. Namun terkadang kita juga perlu menyadari, bahwa manusia itu tidak istimewa. Sebagai bentuk mawas diri, bukankah dalam hidup ini kita hanya berbeda dalam meminimalisir mendapatkan dosa.