Pandemi dan Monumen Diri

Hernawan | Muhammmad Radhi Radhi Mafazi
Pandemi dan Monumen Diri
Tempat pemakaman di daerah Kalibata [suara.com/Agung Sandy Lesmana]

Sore itu, setelah menaruh tas ke dalam kamar, saya membujuk bapak untuk menemani pergi ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang terletak tidak jauh dari rumah. Orang desa biasa menyebutnya, pesarean. Saya lebih senang dengan istilah tersebut, pesarean (peristirahatan). Pasalnya, pada akhirnya, kita semua perlu istirahat dari perjalanan yang fana ini.

"Pak, temani saya ke pesarean, yuk," bujuk saya kepada bapak, yang sedang duduk di ruang tamu.  Bapak, hanya memandangi saya sebentar, mungkin membatin, "kok anak ini mintanya aneh-aneh." 

Mungkin terlihat aneh, karena baru kali ini saya meminta bapak untuk menemani pergi ke pesarean. Pandemi yang sempat merenggut beberapa orang penting dalam hidup saya, membuat hati pilu. Penderitaan yang seperti ini mendorong saya untuk datang ke pesarean, mengenang mereka dalam doa. Setidaknya, mereka yang di dalam gundukan tanah tahu, bahwa saya masih mengingat mereka.

"Di sana, mau ngapain? ini sudah sore," balas bapak kepada saya.

Seolah pertanyaan itu sebagai bentuk ujian akan keinginan saya. Keinginan kuat itu muncul, untuk mengulang kembali pengalaman bersama mereka yang pernah berada di lingkaran kehidupan saya. Walaupun, saya menyadari hal itu tidak mungkin terjadi. Karena mereka sudah berbeda alam dengan. 

Para petugas penggali makam jenazah Covid-19 di TPU Bambu Apus, Jakarta Timur, Selasa (23/2/2021). [Suara.com/Yaumal]
Para petugas penggali makam jenazah Covid-19 di TPU Bambu Apus, Jakarta Timur, Selasa (23/2/2021). [Suara.com/Yaumal]

"Ya, saya pengen melihat makam, dan mendoakan," alasan pertama jelas terlihat aneh dan abstrak, tetapi alasan kedua pastilah mudah diterima karena berbau spiritual. Benar saja, bapak langsung mengambil kunci motor. Entah karena jawaban saya yang mana, sehingga bapak mau saya ajak. 

Sesampainya di sana, bapak menunjukkan satu persatu nisan yang dijadikan penanda makam. “Ini makam eyang sama pakde,” ia masih menghafal tempat terakhir orang-orang terdekat kami disemayamkan.

Sesekali tangannya yang cekatan, mencabuti rumput liar, yang tumbuh sembarangan di sekitar gundukan tanah, serta menyapu sisa-sisanya. Ritual terakhir, ia memimpin saya untuk mendoakan mereka.

Saya sempat melihat agak lama pemandangan makam pada sore itu. Bukan karena saya memiliki kelebihan atau malah hal yang berbau klenik. Tetapi, saya tertarik untuk mengamati satu persatu bentuk makam yang memiliki bentuk berbeda-beda.

Bentuk makam yang berbeda memiliki maksud tertentu. Seolah, si ahli waris ingin menceritakan, bahwa di bawah sini, ada jasad manusia yang pernah memiliki kisah tertentu selama di dunia. Begitu beradabnya manusia, hingga di peristirahatannya dibuatkan simbol kejayaannya.

Manusia menolak untuk menguburkan eksistensinya, bahkan ketika takdir yang tidak dapat terhindarkan hadir. Sebuah takdir yang dapat memisahkan manusia dengan segala yang ia punya. Kesempatan manusia, dalam menjajaki langkah kakinya selama di dunia tampaknya akan sirna. Bila tidak terdapat peninggalan kebaikan ataupun karya dari dirinya. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Begitu, mahsyurnya pribahasa ini di telinga setiap insan nusantara.

Penderitaan dan Kematian

Pandemi belum berakhir. Fase-fase sulit masih menghantui umat manusia. Berbagai prediksi dari ilmuwan A hingga Z, masih sering kita dengar. Terbaru, mengenai hiperpandemi. Sebuah fase yang diprediksi akan banyak memakan korban jiwa.

Pasalnya, virus mulai menyebar di semua kalangan. Padahal sejak awal hingga puncak pandemi, beberapa orang terdekat kita direnggut satu persatu. Sempat, komorbid menjadi sumber memperparah kondisi.

Ilustrasi pandemi (freepik.com/prostooleh)
Ilustrasi pandemi (freepik.com/prostooleh)

Hingga, kampanye mengenai pola hidup sehat selalu digaungkan. Namun, kita sempat terkena semacam antiklimaks, saat seorang pesohor negeri yang dinilai aktif dalam olah raga terkena virus menyebalkan ini. Bahkan, nyawanya sempat berada di ujung tanduk. 

Pandemi, sangat dekat dengan takdir kematian. Terlebih ketika kita mendengar ragam cerita tentang manusia yang merawat orang sakit, setelah dilakukan tes ternyata orang sakit tersebut terkonfirmasi positif. Anehnya, yang merawat tidak terkena. Seolah para penganut teori konsiparasi menari, mendengar kisah-kisah ini, sambil menyebarkan kepercayaanya pada orang lain, hingga memperburuk keadaan.

Akibatnya, kesadaraan akan penanganan penyebaran virus semakin sulit. Penderitaan manusia semakin menjadi-jadi. Di tengah situasi sulit seperti ini, harapan hidup rasanya sering tersenggal-senggal. Kesadaran yang hari ini dibangun hanyalah, bagaimana kita dapat hidup dengan pola yang sehat. Tapi, pada akhirnya kita juga akan meninggalkan kefanaan ini.

Kematian merupakan momok yang menakutkan. Ia, selalu berdampingan dengan perasaan takut dan sepi. Sebuah penderitaan yang sudah barang tentu menyakitkan. Namun, apa daya manusia dihadapan takdir kematian? Ia hanya sebatas hamba. Hidupnya sudah ditentukan oleh takdir yang tidak mungkin dihindari lagi. Terkadang lucu, kita mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelahiran tetapi lupa mempersiapkan kematian.

“Aku hanya bisa meyakini, Tuhan yang tahu akan cara menarinya,” ucap Nietzsche. Perihal takdir akan kematian, manusia hanya bisa mengusahakan sesuatu untuk dirinya. Bahkan, ketika membahas tentang kematian. Mau tidak mau kita akan mendapati rasa pedih. Seolah, kita akan meninggalkan semua ini begitu saja.

Membangun Monumen Diri

Warga Bintan mengebumikan pasien COVID-19 tanpa alat pelindung diri yang lengkap. (ANTARA/Nikolas Panama)
Warga Bintan mengebumikan pasien COVID-19 tanpa alat pelindung diri yang lengkap. (ANTARA/Nikolas Panama)

Setiap sakit pasti ada obatnya. Begitu juga, kematian memiliki obat yang sudah disediakan oleh batin manusia. Montaigne, menjelaskan bahwa obat kematian adalah penerimaan. Manusia, sering menolak bahwa dirinya akan mati, bahkan untuk menjadi tua saja ia menolaknya dengan berbagai cara.

Segala upaya yang hari ini manusia perbuat, seolah hanya untuk menghindari sesuatu yang pasti akan datang kepadanya. Keyakinan kepada kematian hanya setengah hati.  Mau lari dan menganggap kematian adalah musuh, merupakan pekerjaan yang sia-sia. Dengan atau tanpa pandemi, kita semua akan mati. Tua maupun muda, kematian tidak lagi melihat hal tersebut.

Apabila hari ini masih meyakini bahwa kematian adalah musuh, maka ingatlah pesan dari Montaigne, yang temaktub dalam karya dari Weiner.

“Kematian merupakan syarat terciptanya dirimu. Ia bagian dari dirimu. Kalian sedang lari dari diri kalian sendiri.”

Takdir ini adalah kepastian, menolak adanya ini adalah hal yang lucu. Persiapan kita hanya pada satu, yaitu kenangan.

Setidaknya, ketika anak cucu kita yang lebih digital. Ketika mencari nama kita di internet, yang keluar adalah karya dan kebaikan. Kelak, pada zaman itu akan hadir generasi yang mungkin tidak peduli lagi dengan kabar yang berasal dari “katanya”. Kesadaran akan pencarian kebenaran sebuah informasi, dicari sedemikian rupa hingga benar-benar teruji.

Jadi, pada hari-hari esok saat pandemi, sudah tidak lagi bisa terkendali. Atau mungkin, akan muncul berbagai persoalan kehidupan yang semakin menipiskan harapan hidup. Alih-alih hanya fokus untuk penyelesaian persoalan, sehingga membuat jiwa manusia pada titik keangkuhan diri. Membuat sebuah bangunan monumen diri yang abadi, hingga dunia benar-benar berakhir. Setidaknya, jiwa manusia normal, menginginkan dirinya dikenang dalam kebaikan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak