Saya masih merasa beruntung, di tengah ketidakpastian ini masih bisa menjalankan ritual salat Jumat, karena tempat mengadu nasib masih membolehkan tempat ibadah buka. Itupun saya juga datangnya sengaja telat, agar mendapatkan tempat paling belakang sendiri.
Namun, beberapa Jumat yang lalu, saat melakukan ritual tersebut, saya dibuat kaget dan kecewa. Bukan karena imamnya kelamaan khutbah, atau bacaan salat yang terlalu panjang, hingga membuat saya terkatuk-kantuk. Tetapi karena sajadah saya ditolak secara mentah-mentah, saat ingin membagikannya kepada bapak yang berada di samping saya.
Kekecawaan tersebut saya keluh kesahkan pada seorang teman selesai salat Jumat.
“Mas, sajadahku tadi ditolak saat mau saya bagi ke bapak yang di samping saya,” bukannya menjawab, teman saya ini malah membalas pertanyaan saya dengan senyum geli, sambil memamah ciloknya.
Setelah menelannya, ia lantas menjawab, “benar itu, kita tidak tahu siapa di antara kita yang membawa virus".
Saya tidak mau kalah tentunya. Dengan pandangan dia, sebagai orang yang bekerja di instansi dengan nama Kemanusiaan, tentu saya terdorong untuk melakukan hal tersebut. Terlebih si bapak akan bersujud di lantai masjid tanpa alas apapun. Bayangkan langsung menyentuh lantai, siapa yang tega melihatnya seperti itu.
Tentu rasa ketidakenakan menggerakan kedua tangan saya untuk membentangkan sajadah sebagai alas untuknya dan diri sendiri.
“Tapi mas, bapaknya kasihan nggak bawa sajadah, ya sudah saya bentangkan saja".
Setelah menelan cilok yang dia makan dari bawah plastik, teman saya ini menjawab dengan singkat, namun mengena di hati.
“Basa-basi sekali itu, padahal kamu juga ragu membagikan sajadah tersebut. Lha kamu aja tadi pakai maskernya lapis dua".
Setelah mendengar kata-kata menohok tersebut, yang rasanya seperti disambar gledek di siang bolong. Saya mulai berpikir mendalam, seolah ada lampu yang mendadak menyala di atas kepala.
Sebuah pemahaman baru bagi saya, bahwa semua ini berangkat dari satu keberakaran sosial budaya yang selama ini saya lakukan. Membuat saya menjadi manusia yang terlampau spiritual, hingga melebih-lebihkan sebuah agenda menghadap Tuhan.
Asal Muasal Budaya
Keberakaran pola perilaku yang saya lakukan, bila diurut hingga ke bawah, merupakan hasil didikan budaya ewuh pakewuh. Merupakan tradisi yang berkembang dengan kalangan orang jawa, tujuan untuk saling menghormati terhadap sesama manusia.
Terbaginya strata sosial dan ekonomi di zaman kerajaan, mendorong manusia untuk menciptakan suatu pengakuan di lingkungan sosialnya. Namun dengan kemajuan zaman, menggeser tujuan awalnya, sehingga menjadi agar antara sesama manusia saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Namun budaya seperti ewuh pakewuh tanpa disadari merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri. Pasalnya, ia membentuk satu sikap untuk melindungi ego yang ada dalam diri. Manusia melakukannya untuk menyelaraskan dirinya dengan keadaan sosial.
Budaya Jawa pada dasarnya tidak menginginkan satu kericuhan. Lha, budaya ini mempunyai satu tagline adem ayem. Daripada menjadi sebuah konflik sosial dalam tataran individu, mending dibagikan saja sajadahnya.
Semisal saya tidak bagikan sajadah, akan ada rasa bersalah secara sosial dalam diri. Lambat laun pola perilaku sosial semacam ini menjadi sebuah kode hukum tidak tertulis paling tua yang dimiliki oleh umat manusia.
Siapa yang berani melanggar kode hukum tidak tertulis ini? Tentu saja adalah mereka yang siap menerima pengasingan sosial. Jelas hal semacam itu tidak mungkin saya langgar, karena pada praktiknya sebuah pengasingan sosial itu lebih sakit dibandingkan hukuman fisik.
Oleh sebab itu, saya melakukan tindakan membagikan sajadah terhadap bapak tadi. Namun, saya melupakan sesuatu yang lebih berharga dari kode hukum paling tua tersebut, yaitu keselamatan nyawa orang lain.
Bayangkan saja bila ternyata, orang di samping saya terkena virus yang bersumber dari sajadah milik saya. Terlebih saya tidak mengenal seluk beluk kondisi kesahatan dirinya.
Bisa jadi pada saat melaksanakan ritual ibadah, sedang memiliki daya tahan tubuh yang lemah, maka tanpa sengaja akan muncul klaster baru yang menambah besar ukuran badai ini. Atas dasar itu, saya mencoba untuk mengubah konsep berfikir saya yang dapat membahayakan orang lain.
Mengubah Pola Pikir
Semenjak kejadian itu, saya mulai mengubah cara berpikir tentang ketidakenakan yang sebenarnya hanya basa-basi. Awal mulanya saya takut akan menjadi sesosok manusia yang melakukan pelanggaran hukum sosial budaya. Karena konsepnya, jika saya melanggar hal tersebut, maka saya akan menjadi orang yang tidak akan diterima oleh keadaan sosial.
Freud, sudah mewanti-wanti kepada para pelanggar hukum tertua yang dimiliki oleh manusia ini, bahwa pelanggaran atas suatu tabu membuat si pelanggar itu sendiri menjadi tabu.
Wah ya nggak asyik, kalau saya sendiri menjadi sesuatu yang tabu dan dijauhi banyak orang. Namun, pola pikir setelah kejadian itu, dan pemahaman yang saya dapatkan dari perbincangan bersama teman, mengubah segalanya.
Kalaupun akhirnya tanpa sengaja melanggar akan ada rasa bersalah yang membekas, bahkan sulit dihilangkan, maka setelah kejadian tersebut, saya meniatkan diri untuk melakukan upacaya penebusan dosa. Hal pertama yang saya ubah adalah niat untuk saling melindungi nyawa sesama manusia, bahwa ada sesuatu yang harus dijunjung lebih tinggi ketimbang mengikuti rasa takut akibat pelanggaran kode hukum ewuh pakewuh.
“Kita tidak pernah tahu siapa yang sedang membawa virus”, kalimat itu benar-benar meruntuhkan segala bentuk pola pikir lama. Ia seperti martil besar penghancur tembok kokoh bangunan yang sudah berdiri bertahun-tahun. Akhirnya, saya tidak mau lagi melakukan basa-basi yang menimbulkan bencana baru.
Baik, saya memilih untuk membangun pola pikir bahwa keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Rasa peduli terhadap sesama merupakan konsep kemanusiaan yang paling agung. Pada dasarnya kemanusiaan merupakan bagaimana manusia saling menghargai dan melindungi, tanpa membedakan sesuatu yang melekat.
Basa-basi yang cenderung basi apabila terus kita lakukan tanpa mempertimbangkan hal lain yang tidak kalah vital, sepertinya perlu kita disudahi di tengah badai pandemi.
Memiliki rasa kemanusiaan bukan berarti harus membagikan semua yang kita punyai, sehingga membahayakan keselamatan orang lain. Akan tetapi bagaimana manusia saling menjaga dan peduli terhadap keselamatan nyawa orang lain.