Klitih, Remaja, dan Identitas

Hernawan | Muhammmad Radhi Mafazi
Klitih, Remaja, dan Identitas
Ilustrasi begal (Suara/Iqbal)

Melihat dari kejauhan target, memepet kendaraan target, sambil berucap "cah endi bos?!" (anak mana kamu?!),  begitu kiranya gelagat para pelaku kejahatan jalanan yang kerap terjadi di kota pelajar.  Pelakunya kebanyakan adalah pelajar kala itu. Alasan kenapa saya mengetahui sapaan itu dan gelagat mereka, karena saya sendiri pernah menjadi korban dari kejahatan jalanan tersebut.

Rasanya memang luar biasa, seperti naik roller coaster, jantung berdebar-debar, keringat dingin berkucuran dan tangan serta kaki gemetar. Dalam kondisi seperti itu, mekanisme tubuh manusia hanya dua melawan atau lari. Jiwa cupu saya, menekan tombol untuk lari, akan tetapi secara rasional kalau diadu jelas kalah jumlah dan kalah bawaan (senjata).

Kejadian pertama di Jalan Tamansiswa, nama jalan yang diabadikan sebagai sejarah penancapan tiang pendidikan di Nusantara, saat itu saya bersama seorang teman berencana mencetak poster, untuk kegiatan kelas, kami berbeda motor, teman saya yang lebih peka memacu motornya, karena melihat dua orang pelajar dengan seragam membututi kami.

Melihat teman saya memacu motornya, hal yang sama saya lakukan. Ternyata ada satu motor yang ditunggangi dua orang membuntuti kami. Sesampainya di Jalan Tamansiswa, saya dipepet, seorang dibelakang motor milik pelajar yang sedari tadi membuntuti kami, menarik lengan seragam yang saya kenakan, sambil berkata, "cah endi bos?!". Saya tidak menoleh, karena saat itu sudah mau sampai percetakan. Syukur siang itu takdir baik berpihak pada saya. Mereka gagal mendapatkan seragam yang saya kenakan. 

Namun, jatah terkena klitih masih saya punyai. Kejadian ke dua, jauh lebih ekstrem bertempat di depan Taman Makam Pahlawan Jogja, saya yang berniat pulang, ketika akan belok ke arah kali mambu, melihat  ada segerombolan pelajar berbaju cokelat tua. Ternyata, mereka kelompok dari gangster sekolah lain.

Karena kalah jumlah, motor saya putar arah. Perasaan takut yang menggerayangi tubuh, hingga mengambil alih nalar saya dalam berkendara. Apes ketakutan itu membuat saya berputar arah ke jalan yang sama. Benar saja, saat melawati jalan tersebut, beberapa bogem mentah melayang di udara dan beberapa benda tumpul. Namun, tidak ada yang mengenai.

Tidak sampai di situ, beberapa dari mereka mencoba mengejar pelajar cupu. Akan tetapi, Tuhan tidak tinggal diam, bagi hambanya yang berusaha dalam kesusahan, Ia kirimkan sosok malaikat penolong. Seorang tukang tambal ban, muncul dari tenda terpalnya, ia berteriak untuk mengusir mereka. 

Dua kejadian tadi adalah peristiwa menegangkan selama mengenyam pendidikan SMA di kota Pelajar. Kira-kira sekitar sebelas tahun silam. Bukan perkara mudah, menjadi pelajar di kota tersebut. Selain menjadi pusat studi tiru sekolah-sekolah di sekelilingnya karena ekosistem pembelajaran dampak dari warisan sejarahnya, sehingga membuat label mereka yang belajar di kota tersebut adalah "manusia pilihan" padahal ya sama saja. Ada juga halang rintang di jalanan yang harus di tempuh. Pada saat itu, sampai ada istilah "Jalur Gaza" pada titik tertentu karena disinyalir sebagai tempat terjadinya aksi klitih. 

Sudah sebelas tahun masa itu berlalu, virus sialan yang memakan banyak korban jiwa datang menyerang Nusantara. Saya kira semesta dipaksa diam dan tenang oleh virus ini, kenyataanya tidak juga. Aksi kejahatan jalanan masih tetap berjalan, sekolah  secara virtual tidak mengurungkan niat mereka untuk  melancarkan aksi primitif, yang lebih brutal. 

Awalnya saya sempat menduga-duga, ketika melihat trending topik dengan hastag Jogjatidakaman di media sosial Twitter saat itu, apakah kejadian ini masih sama seperti peristiwa sebelas tahun silam, yang pernah saya alami, atau cara lain dengan nama lama.

Ternyata masih sama, tetapi korbanya acak. Sama dari sisi pelaku, kebanyakan mereka adalah manusia yang sedang memasuki fase remaja. Para ahli di bidang ilmu kejiwaan sering menyebutnya masa negatif. Alasannya mereka selalu melakukan hal ekstrem nan liar di luar nalar. Namun, hal tersebut tentu beralasan. Demi mendapatkan pengakuan dari kelompoknya, para manusia tanggung tadi melakukan kekerasan di jalanan, karena ingin mendapatkan pengakuan atas identitas kelompok. 

Tugas Besar Remaja

Peleburan identitas diri menjadi identitas kelompok atau komunitas, merupakan kegemaran manusia. Tujuannya, satu agar mereka menjadi lebih eksis. Begitupun yang dilakukan oleh para pelaku klitih, buktinya saat melancarkan aksinya mereka memakai embel-embel identitas kelompoknya. Konon, kepuasan mereka pada saat itu ketika mendapatkan atribut dari lawannya. Identitas kelompok merupakan bagian penting, terlebih bagi remaja. Bahkan pada fase remaja, manusia cenderung lebih menurut kepada nasihat teman sebayanya dibandingkan ke dua orangtuanya.

Menariknya, demi melambungkan identitas kelompoknya, manusia rela melakukan hal apapun termasuk kekerasan. Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas menjabarkan, bahwa dari sejarah panjang peradaban manusia, acap kali menghadirkan peperangan dengan dalih untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok lain. Seperti halnya politik apartheid, yang membedakan manusia dari warna kulit. Atau identitas kasta layaknya Hitler dengan Nazi. 

Berbagai identitas yang melekat pada diri manusia, adalah kewajaran, bila dilihat sebagai modal sosial. Faktanya memang manusia tidak bisa hidup tanpa melakukan interaksi sosial dengan sesamanya. Begitu pula dengan remaja, fase paling membingungkan dalam tahap perkembangan manusia normal. Tugas besar seorang remaja adalah mencari jati diri siapa sebenarnya dirinya. 

Saya harus mengakui dan angkat topi, bagi orangtua yang dapat kongkow di teras rumah atau ruang tengah layaknya seorang sahabat dengan anak remajanya. Ini bukan perkara mudah, perlu menanam benih-benih kepercayaan sedini mungkin. Tidak lantas, secara radikal melakukan pendekatan yang gerusah-gerusuh dan menggurui terhadap anaknya yang telah memasuki masa remaja. 

Kekerasan di jalanan tidak akan sirna, dan hastag-hastag terkait perkelitihan lainnya mungkin akan selalu menghiasi trending topik dunia pertwitteran Nusantara, selama remajanya cenderung melakukan peleburan identitas diri menjadi identitas kelompok yang kurang tepat. Ditambah orangtuanya memiliki sikap cuek bebek. Padahal bagi saya Jogja mempunyai tempat istimewa di hati. Saya belajar arti cinta tanpa syarat. Khas, manusia yang tinggal di Jogja dengan topo selironya. Idaman sebagai tempat kembali sekaligus menetap yang perlu disegerakan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak