Bianglala Investasi Saham di Tengah Budaya Foya-Foya

Hernawan | Muhammmad Radhi Radhi Mafazi
Bianglala Investasi Saham di Tengah Budaya Foya-Foya
Ilustrasi saham (unsplash)

Pandemi agaknya mulai bosan. Pasalnya, akhir-akhir ini kasus mulai berkurang, diikuti dengan perubahan status level penyebaran virus di setiap daerah yang menurun. Apabila  nantinya pandemi berakhir, ada satu rasa syukur akibat ulahnya, yaitu perkenalan saya dengan investasi saham.

Tentu, ada banyak resiko dari investasi di tempat ini, seperti naik turunnya harga saham yang sering membuat jantung berdetak kencang. Terlebih saat pasar sedang naik turun tidak menentu, seperti awal pandemi.

Saat itu, grafik pergerakan pasar saham di Nusantara merah membara, walaupun sesekali hijau. Jelas akan sangat berbeda ketika dibandingkan dengan investasi tanah yang cenderung naik, tanpa ampun saben tahun. Harganya yang sudah melebih ambang normal untuk kelas pekerja semakin hari tidak tersentuh oleh kantong. Terlebih kelas pekerja generasi milenial. 

Bagaimana mau tersentuh bahkan terbeli, lha bayangkan saja harga sebidang tanah di kota kelahiran saya, per meternya saja menyetuh harga jutaan, melebihi upah minimum regional kota tersebut. Mau merogoh kantong sampai bolong juga akan susah rasanya, ibarat pepatah bagai pungguk merindukan bulan. Terlebih mana mungkin di zaman serba digital seperti sekarang ini menukar sebidang tanah dengan sekodi kain mori, ataupun sekarung beras layaknya zaman pendahulu kita. 

Kegusaran bercampur putus asa sempat menggerayangi pikiran saya. Bahkan saya cenderung menganggap bahwa uang tidak lagi memiliki makna. Lagipula pola pikir saya pada saat itu tentang kekayaan adalah apa yang saya lihat, dikuatkan oleh budaya foya-foya, jadilah sebuah ramuan mujarab untuk pelampiasan emosi negatif.

Berharap pada warisan juga terlalu lancang. Lagian saya masih ingin lebih lama melihat kedua orang tua sehat sentosa. Sampai pada akhirnya, covid-19 datang dengan gagah menjajah bumi Nusantara, pandemi sudah tidak bisa lagi terelakkan. 

Berbagai sektor industri luluh lantah akibat virus jahanam ini, tetapi tetap saja harga sebidang tanah tidak turun drastis kecuali memang si tuan tanah sedang BU (Butuh Uang). Dalam kebingungan tersebut, saya sering melihat rekan kerja yang curi-curi kesempatan untuk menengok grafik dan berita perekonomian dari layar monitor komputer. Beberapa kali saya sempat memergoki dia yang tengah asyik melihat berita perkembangan ekonomi di dunia dan Nusantara, disertai dengan grafik. 

Siang di tengah jam istirahat kantor, rekan kerja saya mencoba memperkenalkan dengan ilmu yang ia pelajari di waktu senggang tadi. Mungkin ia sedikit jengkel melihat saya yang terlalu kepo dengan aktivitasnya. Hingga pada suatu hari saat jam istirahat kantor, dia duduk di sebelah saya sambil menggegam hape, layarnya sudah dipenuhi grafik berwarna merah dan hijau, disertai beberapa kode semacam merk dagang.

Saya ingat saat itu, ia meminta saya untuk membaca satu link berita yang dikirimkan melalui pesan di WhatsApp. "Coba kamu baca ini kalau memang belum yakin," rayunya setelah menjelaskan istilah yang membuat saya tambah bingung. Saya percaya, dirinya tidak sedang memprospek untuk menggunakan salah satu perusahaan sekuritas tertentu.  

Singkat cerita, setelah  perbincangan di siang itu, akhirnya saya mencoba membacanya. Keengganan saya untuk melakukan investasi tersebut, didasari oleh  banyaknya berita penipuan berkedok investasi yang ramai dibicarakan para netizen Nusantara.

Ternyata link berita yang diberikan tadi, mengkisahkan seorang anak karyawan yang bekerja di perusahaan milik negara. Anak tersebut menukarkan beberapa lembar saham peninggalan mendiang ayahnya. Dia kaget dengan lembaran kepemilikan saham milik mendiang ayahnya ternyata mampu memberikan uang dengan jumlah yang fantastis. 

Penasaran dengan hal tersebut, saya coba mengulik beberapa akun media sosial tentang saham yang terpercaya. Lambat laun saya masuk dalam dunia tersebut. Harganya yang masih masuk akal, didukung dengan  kemudahan dalam melihat transparansi keuangan perusahaan, serta kondisi pasar yang tersaji dalam layar handphone menjadi alasan kuat saya. “Akhirnya dapat juga” batin saya pada saat mengenal investasi di bidang perdagangan saham. 

Terlebih saya mulai bisa mendapatkan arti uang dalam kehidupan personal, tindakan foya-foya yang selama ini saya lakukan hanya demi melampiaskan emosi negatif justru saya sesali.

Iming-iming mendapatkan pengakuan dari oranglain berdasarkan kepemilikan barang yang diunggah pada akun media sosialnya, mulai saya tinggalkan. Dari sisi kognitif, mulai muncul pemahaman untuk pertimbangan berlapis-lapis saat keinginan membeli barang muncul. 

Godaan silih berganti menyambangi kaum milenial yang lahir di era teknologi informasi, berbagai barang dengan nama kawakan sering mampir di beranda akun media sosial kita tanpa permisi. Terlebih budaya pamer sandang, pangan dan papan, para punggawa selebgram sering membuyarkan konsistensi untuk menambah aset.

Menjaga Konsistensi

Setelah pergulatan batin, akhirnya saya bergabung dalam barisan 31.507 investor baru yang sering diberi nama angkatan corona. Nama itu disematkan karena puluhan ribu investor baru mulai menjamah pasar modal saat awal pandemi.

Namun tak masalah, justru saya bersyukur karena bisa menjadi penanda sejarah kehidupan kembalinya arti uang. Akan tetapi, semangat  menabung di pasar modal sempat meredup, psikologis saya tergoyahkan dengan berbagai macam godaan budaya foya-foya yang lalu lalang ditambah dengan turunnya harga saham di akhir tahun lalu.

Budaya beracun itu benar-benar menyebalkan. Jiwa foya-foya, yang sudah jinak seolah meraung kelaparan, ingin rasanya memberi dia makan hingga kenyang. Kekayaan yang diperlihatkan memang menggiurkan, wajar rasanya apabila para pengguna media sosial juga ingin melakukan hal yang sama seperti tingkah polah seleb media sosial, tetapi konsep itu ternyata bertentangan dengan arti kekayaan sejati. 

Kekayaan itu tersembunyi, tegas Housel dalam bukunya The Psychology of Money. Masyarakat dunia cenderung menilai kekayaan seseorang berdasarkan apa yang nampak nyata oleh mata. Housel  menentang pandangan umum masyarakat dunia perihal kekayaan. 

Dia juga menjelaskan alasan menolak pandangan terkait kekayaan. Bahwa kekayaan adalah pendapatan yang belum diambil untuk membeli sesuatu kelak. Nilai dari kekayaan berada di pemberian pilihan, keluwesan dan pertumbuhan agar kelak bisa membeli lebih banyak daripada yang dapat dibeli sekarang. 

Barang dengan merek dagang kawakan yang disebarluaskan melalui unggahan akun personal di media sosial pada hakikatnya bukanlah kekayaan, melainkan pengeluaran. Era digital membuat kalangan milineal yang berkaitan erat dengan teknologi informasi, terlena dengan budaya foya-foya.

Housel dalam karyanya membuat satu perbandingan perihal konsep kekayaan, ketika seseorang membeli barang, maka kekayaannya akan berkurang sesuai harga barang tersebut. 

Saham berada di lajur jalan yang sama dengan penjelasan Housel, kekayaan para investor seolah akan berkurang pada saat membeli, tetapi sebenarnya tidak, ia sedang memindahkan kekayaan yang dimilikinya. Coba tunggu nilai kekayaan pada saat sepuluh hingga dua puluh tahun kemudian.

Apabila diiringi cara berinvenstasi saham  dengan pemilihan emiten yang tepat berdasarkan berbagai analisis secara matang serta sikap konsisten untuk investasi di pasar modal, ditambah menjaga keseimbangan kondisi kejiwaan saat menentukan transaksi yang akan dilakukan, adalah cara membetengi budaya foya-foya di era digital seperti saat ini. Bukan tidak mungkin apabila di masa depan akan muncul Buffet baru dari kalangan milienial di Nusantara. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak