Cancel Culture, Tren Toxic di Media Sosial, Apa Dampaknya?

Hernawan | Nuris
Cancel Culture, Tren Toxic di Media Sosial, Apa Dampaknya?
Ilustrasi media sosial (unsplash).

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan dalam masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran baik budaya, etika, dan norma yang ada.

Tentunya di zaman canggih seperti sekarang, siapa yang tidak memiliki media sosial? Hampir semua masyarakat Indonesia di setiap kalangan dan usia memiliki serta menggunakan media sosial, sebagai salah satu sarana untuk memperoleh maupun menyampaikan informasi ke publik.

Dengan perkembangan yang sangat pesat, membuat dinamika kehidupan masyarakat banyak mengalami adanya perubahan. Kebebasan individu dalam menyampaikan suatu pikiran, kritik, saran, bahkan hujatan, sering ditemui setiap jam dan hari melalui berbagai macam platform media sosial.

Merujuk pada mediaindonesia.com, Kehadiran media sosial di satu sisi memang menawarkan berbagai kemudahan. Namun disisi lain, ketika penggunanya semakin liar dan keluar dari batas norma sosial, risiko yang sering muncul ialah keresahan serta bisa menimbulkan adanya cancel culture.

Cancel culture sendiri ialah sikap kolektif masyarakat untuk memboikot seseorang atas perbuatan atau perkataannya. Simpelnya, ialah budaya membuang image baik seseorang di mata publik.

Istilah ini erat kaitannya dengan beberapa tokoh publik yang terkena skandal tertentu. Hal ini tentu memiliki dampak bagi publik figur itu sendiri. Dampaknya pun bisa sangat fatal. Sekalinya orang terkena Cancel Culture, dampaknya bisa kehilangan pekerjaan bahkan pembatalan kontrak kerja sama.

Hal ini terjadi pada salah satu Youtuber sekaligus Gamers berinisial EL, yang mempunyai kekasih dengan inisial JJ. EL ini melakukan perselingkuhan dengan salah seorang gamers yaitu LC.

Hal ini membuat LC menjadi sasaran masyarakat karena dituduh sebagai pelakor. Ia bahkan menjadi bahan hujatan netizen Twitter dan Instagram. Selain itu, LC pun dikeluarkan dari Club Esports EVOS. Karena perbuatannya itulah, LC kehilangan pekerjaan dan dihujat oleh masyarakat.

Selain kasus sekandal yang dilakukan oleh EL, ada pula kasus lainnya, yaitu seorang public figure Ayu Ting Ting (AT). Kasus yang dialami AT ini ialah, para netizen Instagram membuat petisi untuk memboikotnya dari dunia pertelevisian.

Merujuk pada suara.com, terpantau petisi boikot Ayu Ting Ting telah mencapai 77.927 tanda tangan. Dari banyak komentar yang membanjiri Instagram AT, alasan netizen menandatangani petisi tersebut ialah karena sosok AT memiliki citra yang negatif serta tidak memiliki etika yang baik.

Merujuk pada okecelebrity.com, Meskipun tidak diterima di masyarakat, AT malah dikabarkan akan berkolaborasi dengan SBS, salah satu stasiun televisi Korea Selatan.

Jika dilihat dari dua kasus tersebut, dampak yang didapatkan oleh keduanya pun sangat berbeda. Jika melihat kasus EL dan LC, dampak yang didapatkan ialah keduanya mendapatkan sanksi sosial, serta hilangnya pekerjaan maupun peluang kerja sama.

Namun berbeda dengan AT. Ketika netizen sibuk menandatangani petisi tersebut, AT malah akan dikabarkan akan berkolaborasi dengan SBS. Dampak dengan adanya cancel culture memang lah berbeda-beda, ada yang meningkat popularitasnya, segelintir lain menjadi kontrol sosial dalam berperilaku.

Namun, jika melihat fenomena cancel culture sekarang ini, seseorang yang menjadi korban justru malah meningkat popularitasnya. Dengan menimbulkan suatu masalah, biasanya televisi akan mengundang publik figur tersebut untuk mengklarifikasi. Akan tetapi, kepopulerannya hanya sementara saja.

Sementara, ada juga dampak yang menjadi kontrol sosial dalam berperilaku. Dalam jurnal (Putra. 2018, hlm.30), dinyatakan bahwa efektivitas dari peranan kontrol sosial akan sangat tergantung pada efektivitas kekuatan sanksi yang dijatuhkan pada para pelanggar. Sanksi yang diberikan biasanya dimaksudkan agar publik figur tersebut tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma sosial dan bisa berperilaku komfrom.

Budaya cancelling dinilai sebagai sebuah budaya yang memiliki sifat negatif. Sebab dinilai sebagai online shaming yang sangat destruktif. Tujuan awal cancel culture ialah supaya orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat, bisa bertanggung jawab dengan perbuatannya dengan menanggung sanksi sosial.

Akan tetapi, semakin lama, cancel culture digunakan sebagai ajang memojokan seseorang yang tidak disukai. Ada berbagai cara untuk menghadapi atau menghindari cancel culture, di antaranya bijak dalam membaca berita dan harus memastikan pula kebenaranya.

SUMBER:

Suyanto, B. (2016). Media Sosial di Era Masyarakat Digital. (online). Diakses dari https://mediaindonesia.com/opini/80202/media-sosial-di-era-masyarakat-digital

Noviandi, F. & Pangesti, R. (2021). Kasus Ayu Ting Ting: Jumlah Petisi Boikot vs Pendukung, mana lebih banyak?. (online). Diakses dari: https://www.suara.com/entertainment/2021/08/09/144827/kasus-ayu-ting-ting-jumlah-petisi-boikot-vs-pendukung-mana-lebih-banyak?page=all

Tribuana, L. (2021). Ayu Ting Ting Dapat Job Dari Stasiun Televisi Korea Selatan. (online). Diakses dari: https://celebrity.okezone.com/read/2021/08/13/33/2455324/ayu-ting-ting-dapat-job-dari-stasiun-televisi-korea-selatan

Putra, I. (2018). Social Control: Sifat Dan Sanksi Sebagai Sarana Control Sosial. Vyavahara Duta, 13(1). 27-32. Doi: https://dx.doi.org/10.25078/vd.v13i1.529

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak