Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Itulah sebait puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar. Tentu bukan maksud dari Chairil Anwar untuk hidup selama seribu tahun di dunia fana ini.
Maksud tersirat dari kalimat tersebut adalah bahwa Chairil Anwar ingin namanya selalu dikenang melalui karya-karya sastranya. Terbukti, hingga sekarang Chairil nama Anwar terus abadi dan terkenal sebagai tokoh besar dalam bidang sastra di Indonesia.
Bicara tentang nama abadi, di kampung saya ada nama seseorang yang hingga saat ini masih dikenang oleh banyak orang walau sudah meninggal puluhan tahun lalu. Namanya adalah Pak Sukir. Dia bukan orang yang punya pangkat atau status sosial tinggi di masyarakat.
Semasa hidupnya, ketika ada masyarakat yang punya hajad atau mengadakan pesta, Pak Sukir selalu mendapat tugas sebagai tukang cuci piring dan gelas. Lalu bagaimana seorang Pak Sukir yang merupakan golongan warga kelas rendah ini bisa menjadi begitu legendaris?.
Pak Sukir adalah orang yang sangat rajin dalam bekerja. Setiap ada perintah dengan senang hati selalu melaksanakannya. Selain itu dia suka bersenandung riang sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan atau tradisional dengan suara dan nada yang sangat khas.
Inilah sekilas cerita tentang Pak Sukir yang punya kenangan istimewa di kampung kami. Maka tidak mengherankan bila ada yang punya hajad dan meminta seseorang untuk menjadi tukang cuci gelas dan piring, pasti akan mendapat julukan sebagai Pak Sukir.
“Apakah Pak Sukir sudah mendapat makan dan minuman?.” Begitulah kami sering bercanda ketika hidangan dalam hajatan disajikan. Maksudnya adalah agar tidak lupa memberi bagian makanan untuk yang sedang bertugas membersihkan dan mencuci gelas dan piring.
Mbah Karmin
Selain Pak Sukir ada satu nama abadi lagi yang menghadirkan kenangan indah bagi semua warga, yaitu Mbah Karmin. Dari dialah kampung kami bisa punya fasilitas sanitasi pertama kali. Mbah Karmin dengan sukarela memberikan sebagian tanah miliknya untuk dijadikan sumur umum berikut kamar mandi dan fasilitas MCK lainnya.
Sebelumnya ada fasilitas tersebut, kami harus pergi ke kampung lain hanya untuk sekedar mandi atau buang hajad. Alangkah repotnya waktu itu. Apalagi ketika ada anggota keluarga yang sakit perut sehingga harus bolak-balik ke WC. Untunglah atas kemurahan hati dari Mbah Karmin, persoalan yang terlihat sepele namun sangat vital ini bisa teratasi.
Meski tidak punya nama yang resmi, namun orang sering menyebut fasilitas umum ini dengan sebutan WC Mbah Karmin. Sering ketika bertemu tetangga kemudian terjadi sapa jawab seperti ini.
“Mau ke mana Bu Minah?.”
“Mau ke tempatnya Mbah Karmin.”
Maka tanpa perlu bertanya lebih lanjut orang yang bertanya akan memahami bila Bu Minah akan mandi atau buang hajad. Inilah salah satu bentuk dari keabadian dari Mbah Karmin meski sudah tiada dalam jangka waktu yang sangat lama.
Saat ini di setiap rumah sudah punya fasilitas sumur dan MCK sendiri-sendiri. Sehingga WC Mbah Karmin sudah tidak pernah digunakan lagi. Selanjutnya atas kesepakatan warga WC Mbah Karmin dirobohkan.
Kemudian, apakah nama Mbah Karmin juga ikut roboh atau terlupakan? Jawabnya adalah tidak. Di atas tanah bekas WC umum tersebut didirikan sebuah bangunan atau ruang terbuka yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan posyandu.
Ketika diadakan rapat untuk menentukan nama balai pertemuan dan posyandu itu, tanpa ada perdebatan semua langsung setuju menggunakan nama Mbah Karmin lagi. Maka nama Mbah Karmin tetap terpatri kuat dalam hati setiap warga.
Begitulah sekilas cerita tentang nama-nama abadi di tempat tinggal saya. Di antara pembaca pasti juga punya nama-nama abadi meski hanya sebatas di hati masing-masing.
Entah itu pacar pertama, dosen atau guru yang super galak, pengajar yang baik hati, atau orang lain yang punya kenangan istimewa tersendiri dalam benak memori. Pastinya nama itu tidak akan hilang begitu saja dari ingatan.