Ari bukanlah siswa berprestasi secara akademik di sebuah Sekolah Menengah Atas di salah satu kota di Jawa Timur. Ia hanya mampu menempati peringkat 15 dari 35 siswa di kelasnya. Bahkan nilai matematikanya tidak sampai standar, ia sering remidi (mengulang) ujian.
Namun namanya dikenal seantero sekolah karena ia menjabat sebagai Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Selain itu, ia dikenal sebagai sosok yang humble dan bijaksana. Ia mampu mengarahkan teman-teman sebayanya dalam sebuah rapat ataupun acara kepanitiaan.
Apabila melihat Ari, banyak yang setuju bahwa ia merupakan pemuda yang memiliki karakter pemimpin dan bertanggung jawab. Namun jika dilihat dari track record prestasi akademiknya, mungkin banyak yang kurang mengapresiasi prestasinya diluar akademik.
Banyak orang termasuk para guru dan wali murid yang lebih menyukai siswa atau anaknya berprestasi secara akademik. Mendapatkan rangking satu ataupun menjuarai perlombaan cerdas cermat dan olimpiade. Lalu, apakah Ari menjadi korban dari standar ‘pintar’ yang ada di masyarakat?
Definisi pintar di sekolah lebih banyak mengarah kepada kecerdasan akademik siswa. Bagaimana siswa bersaing dalam memperebutkan posisi puncak di kelas, dan juga kecenderungan mengerjakan soal-soal terkait perhitungan.
Dari kisah Ari, dapat diketahui bahwa sebuah ironi dalam dunia pendidikan negara kita tercinta yang lebih mengedepankan kemampuan otak kiri atau intelektual (berpikir dan berbahasa) masih berlanjut.
Wajah Pendidikan Indonesia
Pendidikan menjadi hak dan kewajiban bagi setiap warga negara. Pendidikan berperan dalam pembangunan serta kemajuan bangsa. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, siswa dituntut untuk memiliki kemampuan menyerap materi pelajaran. Pada tingkat pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, siswa digembleng agar mampu memahami segala macam mata pelajaran. Mulai dari pendidikan bahasa, agama, sosial hingga ilmu eksakta.
Siswa ibarat kelinci percobaan yang sudah menikmati berbagai rupa kebijakan penerapan kurikulum oleh pemerintah. Sejak tahun 1947 hingga sekarang, sudah ada 11 kurikulum yang pernah diterapkan. Sayangnya, dari semua kurikulum yang pernah berlaku, seluruhnya lebih mengedepankan kemampuan teoritis.
Siswa dipaksa untuk bersaing agar memperoleh nilai bagus dan menjajaki peringkat atas. Selain itu, siswa juga diharuskan untuk menguasai semua mata pelajaran. Alhasil banyak siswa yang kurang memiliki kemampuan di luar materi pelajaran seperti keahlian memanajemen diri.
Pertama kali rancangan kurikulum diterapkan, yaitu Rencana Pelajaran 1947 yang lebih menekankan pada pendidikan watak, kesenian dan jasmani. Tahun 1952, menggunakan Kurikulum Rentjana Pelajaran Terurai, ciri menonjolnya ialah setiap pelajaran yang dihubungkan dengan aktivitas sehari-hari. Serta tiga kurikulum terakhir, yaitu Kurikulum 2006, 2013 dan 2015. Dari semua kurikulum tersebut lebih mengedepankan aspek pengetahuan dan keterampilan.
Di sekolah, kegiatan belajar mengajar lebih banyak dilakukan satu arah. Artinya siswa akan memperoleh penjelasan materi dari guru. Tugas siswa ialah mendengarkan dan mengerjakan setiap tugas yang diberikan. Oleh karena itu, keaktifan siswa cenderung lebih rendah dibandingkan mahasiswa di perguruan tinggi. Kegiatan belajar pun cenderung kaku, karena setiap hari senin hingga sabtu dari pagi hari hingga siang bahkan sore hari.
Siswa dituntut untuk menyerap semua materi yang disampaikan guru. Jika dibandingkan dengan mahasiswa, mereka memiliki waktu belajar lebih fleksibel. Mahasiswa bisa memilih jadwal kelas dan dibarengi aktivitas diluar perkuliahan seperti berorganisasi dan bekerja.
Hard Skills Mendominasi, Soft Skills Tersembunyi
Dengan meningkatkan pengalaman belajar, akan meningkatkan hard skills atau kemampuan teknikal para siswa. Misalnya kemampuan menyelesaikan soal-soal matematika, keahlian di berbagai cabang olahraga hingga penelitian di bidang eksakta (keahlian menggunakan peralatan laboratorium). Sayangnya, kemampuan secara mental dan emosional seperti komunikasi dan menyelesaikan masalah belum banyak dipelajari.
Hard skills banyak dimaknai sebagai kemampuan teknis seperti mengoperasikan suatu alat dan mengolah data-data. Kemampuan ini timbul dari pengetahuan, pengalaman praktis, kecerdasan intelektual dan kompetensi tertentu. Sedangkan soft skills mengacu kepada karakteristik individu dalam merespons segala situasi dan kondisi di lingkungannya. Dapat dikatakan pula jika soft skills adalah kemampuan intrapersonal untuk memanajemen diri-sendiri dan kemampuan interpersonal untuk berinteraksi dengan orang lain.
Istilah hard skills dan soft skills lebih banyak diperkenalkan di tingkat perguruan tinggi. Padahal menurut Goleman yang menyatakan bahwa 80% keberhasilan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosional (EI) dalam bentuk soft skills. Sedangkan 20% lainnya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ) dalam wujud hard skills. Oleh karena itu, proses pembelajaran seharusnya menerapkan keseimbangan hard skills dan soft skills.
Keahlian soft skills lebih banyak diperoleh siswa dari kegiatan di luar akademik, seperti halnya menjadi pengurus OSIS dan mengikuti ekstrakurikuler. Sayangnya, kegiatan-kegiatan tersebut kurang mendapatkan perhatian, baik dari siswa maupun guru. Ekstrakurikuler lebih diartikan sebagai kegiatan untuk melepaskan penat dan dianggap tidak terlalu penting. Frekuensi siswa mengasah diri di luar akademik seakan dibatasi.
Padahal kemampuan soft skills sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia kerja kelak. Selain itu, dunia semakin berkembang termasuk di bidang pendidikan. Siswa harus mampu beradaptasi dengan perubahan kurikulum ataupun standar penilaian. Banyak siswa yang belum siap dengan adanya perubahan, sehingga begitu mudahnya ditemui berita terkait siswa yang mengeluh karena waktu belajar bertambah atau pelajaran semakin sulit.
Disadari ataupun tidak, setiap individu akan menilai orang lain dari sikap dan perilakunya. Bukan hanya penampilan fisiknya yang mampu menarik pandangan mata. Namun, kekuatan karakterlah yang mampu membuat seseorang kagum.
Jadi, sangat penting untuk selalu menjaga sikap dan perilaku yang baik. Apabila sejak awal siswa di sekolah dibekali pengetahuan soft skills yang memadai. Serta kemampuan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil peluang siswa menjadi orang sukses di dalam masyarakat akan semakin besar. Setidaknya diawali dengan menerapkan ilmu sopan, santun dan ramah kepada guru.
Pengembangan soft skills bagi siswa maupun mahasiswa sangatlah penting. Hal ini sebagai modal untuk menuju kesuksesan. Namun bukan berarti bahwa hard skills dinomorduakan. Keduanya memiliki peranan besar terhadap pembentukan karakter dan kemapanan. Apalagi jika dilihat bahwa saat ini paradigma pasar kerja telah bergeser yang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kepribadian dan etika (soft skills).
Oleh karena itu, apabila ingin bersaing, siswa harus mau melatih soft skills-nya yang bisa diperoleh dari keikutsertaan dalam organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler.
Referensi:
- Delita, F., Elfayetti dan T. Sidauruk. (2016). Peningkatan soft skills dan hard skills mahasiswa melalui project-based learning pada mata kuliah perencanaan pembelajaran Geografi. Jurnal Geografi. 8 (2), 124-135.
- Manara, M. U. (2014). Hard skills dan soft skills pada bagian sumber daya manusia di organisasi industri. Jurnal Psikologi Tabularasa, 9 (1), 37-47.