Dewasa ini kesehatan mental sedang marak diperbincangkan. Dan salah satu topik yang kerap menjadi perhatian publik adalah kasus bunuh diri. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah angka kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 per tahun atau hampir 1 kematian setiap 40 detik.
Kasus tersebut merupakan hal serius sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama International Association of Suicide Prevention (IASP) sepakat untuk menjadikan tanggal 10 September sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Hal itu dilakukan karena bunuh diri telah menjadi masalah yang serius di masyarakat baik di negara maju ataupun negara berkembang.
Lalu sebenarnya apa saja penyebab seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidup? Menurut Guru Besar Psikologi UGM, Prof. Sofia Retnowati pemicu yang sering ditemukan yaitu dikarenakan faktor psikologis, sosial, biologis, serta kultural. Misalnya, keadaan sosial ekonomi yang tidak baik, usia lanjut, memiliki penyakit kronis, depresi, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan,dan lainnya.
Selain itu faktor lain seperti pengalaman tidak menyenangkan berupa putus cinta,KDRT, bullying, serta pelecehan seksual juga kerap menjadi pemicu seseorang melakukan bunuh diri. Prof.Sofia Retnowati juga menuturkan beberapa tanda awal yang harus diperhatikan saat seseorang memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri. Tanda tersebut tentunya dapat di lihat baik secara verbal maupun non verbal.
Hal-hal tersebut antara lain yaitu kecenderungan untuk mengungkapkan pada orang terdekat terkait keinginannya untuk bunuh diri, melukai diri sendiri, mengancam akan bunuh diri, selalu bicara putus asa akan hidupnya, menganggap dirinya sebagai beban orang lain, menarik diri dari lingkungan, selalu berbicara atau menulis tentang kematian, merasa kesepian dan terkucilkan, menunjukkan kecemasan yang tinggi, merasakan kekesalan terhadap diri sendiri yang kuat dan lainnya.
Sayangnya masih banyak masyarakat yang masih meremehkan kasus bunuh diri. Beberapa orang masih saja menganggap bahwa orang tersebut hanya mencari perhatian. Terkadang masyarakat juga cenderung menyalahkan korban bunuh diri dengan menyebutnya sebagai sosok yang bermental lemah ataupun kurang beriman. Apalagi ketika seseorang mengidap mental illness.
Padahal kita tidak pernah tahu rasa sakit yang dia rasakan hingga seseorang begitu putus asa. Selain itu tidak ada kaitan antara mental illness dengan tingkat keimanan seseorang. Mental illness bisa terjadi kepada siapapun dan tidak memandang apapun.
Meski mental illness tidak terlihat namun nyatanya sama bahaya nya dengan penyakit fisik yang terlihat oleh mata. Daripada menilai buruk, lebih baik kita bergerak untuk memberikan pertolongan agar mereka yang sedang berjuang melawan mental illness tidak merasa sendiri.
Karena sebenarnya kita tidak perlu mengalami hal yang sama untuk bisa berempati kepada sesama.Bertepatan dengan tanggal 10 September ini, mari kita bersama saling merangkul dan memberikan kekuatan kepada orang-orang disekitar terutama bagi kerabat yang memiliki mental illness. Mereka butuh dukungan, bukan penghakiman.
Catatan Redaksi: Hidup seringkali sangat sulit dan membuat stres, tetapi kematian tidak pernah menjadi jawabannya. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit dan berkecenderungan bunuh diri, sila hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah sakit terdekat.
Bisa juga Anda menghubungi LSM Jangan Bunuh Diri melalui email [email protected] dan telepon di 021 9696 9293. Ada pula nomor hotline Halo Kemkes di 1500-567 yang bisa dihubungi untuk mendapatkan informasi di bidang kesehatan, 24 jam.