Ruang Antara Spiritualitas dan Kesehatan Mental

Hernawan | Kartika Tjandradipura
Ruang Antara Spiritualitas dan Kesehatan Mental
Ilustrasi kesehatan mental (unsplash.com/@fairytailphotography)

Baru saja terjadi beberapa hari lalu, seorang remaja 17 tahun di Tangerang bunuh diri. Ditemukan oleh ibunya sendiri dalam keadaan bersimbah darah, terdapat luka di pelipisnya, dan ditemukan senjata api di dekatnya. Apa gerangan yang ada di pikirannya sampai memutuskan untuk melakukan hal tersebut.

Dari alat yang digunakan, domisilinya, muncul kemungkinan bukan disebabkan karena masalah finansial. Kenyataan bahwa ibunya sendiri yang menemukannya, lalu senpi yang digunakan adalah milik ayahnya, sekilas bisa dilihat bahwa dia memiliki keluarga yang utuh, di luar masalah keluarga yang terjadi di dalamnya tentunya. Tapi keluarga mana sih yang tidak punya masalah?

Dari sisi spiritualitas, sebagai orang yang beragama, kita memiliki kepercayaan bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kekuatan seseorang. Bila demikian, kenapa ada orang terganggu jiwanya disebabkan suatu masalah, kenapa banyak orang mengakhiri hidupnya sendiri? Kenapa pula ada yang memilih mengonsumsi obat-obatan untuk lari dari masalahnya, walaupun mereka tahu efeknya hanya sementara? 

Tidak sedikit orang mengambil keputusan yang salah yang berakhir pada kefatalan. Bukan semata-mata karena tidak beragama atau tidak beriman. Jiwa mereka sakit. Dan sakit jiwa itu sama sekali tidak dapat disamakan dengan kealpaan iman. Kita tidak bisa menghakimi perilaku atau pegambilan keputusan seseorang hanya berdasarkan kondisi spiritualnya.

Sakit jiwa atau gangguan mental (mental illness) didefinisikan sebagai kondisi kesehatan yang memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi di antaranya. Penyebabnya pun beragam, faktor genetik, biologis, psikologis, dan yang paling sering terjadi belakangan ini adalah karena faktor lingkungan. 

Gangguan mental bisa menyerang siapa saja, namun ada beberapa orang yang beresiko lebih tinggi. Ada orang yang memang memiliki kelainan otak sejak lahir, atau mengalami kecelakaaan sehingga terjadi cedera serius. Seperti yang disampaikan di atas juga seseorang dengan keluarga yang mempunyai riwayat gangguan mental akan cenderung terwarisi. Lalu yang paling umum terjadi adalah mereka yang memiliki pekerjaan yang memicu stres.

Seseorang yang memiliki gangguan mental pastinya akan merasakan ketidakbahagiaan. Dari rasa tidak bahagia tersebut akan diikuti dengan konflik-konflik selanjutnya, misalnya hubungan yang tidak baik dengan keluarga, rasa rendah diri, sehingga sulit berhubungan dengan orang lain, yang mungkin nantinya akan memicu hedonisme, semata-mata hanya untuk mendapat pengakuan dari orang lain. 

Apakah kondisi kesehatan mental yang demikian dapat diobati? Jawabannya adalah, bisa. Tapi yang jadi masalah adalah lingkungan keluarga dan sosial yang tidak peka, membuat tidak terdiagnosanya gangguan tersebut. Ketika seseorang sudah terlanjur melakukan suatu tindakan yang buruk, barulah kondisi kesehatan mentalnya diperhitungkan. Lebih sedihnya lagi, setelah terjadi sesuatu yang buruk pun masih lebih mempertanyaan di mana letak keimanan.

Dari penjabaran teori di atas, dapat dipastikan, perilaku dan pengambilan keputusan fatal oleh seseorang disebabkan oleh ketidakberesan mentalnya. Namun di sinilah fungsinya sisi spiritual. Manusia tidak mungkin jauh dari belitan masalah, baik itu yang sepele maupun yang rumit.

Tapi ketika seseorang menyadari ada yang lebih “besar” dan berkuasa dibandingkan dirinya, terlebih dengan masalah yang dihadapi, maka akan tercipta rasa aman dalam hatinya. 

Hal tersebut juga diperkuat oleh beberapa penelitian dan pendapat, misalnya dari Rowatt dan Kirkpatrick pada tahun 2002. Hasil penelitian mereka menunjukkan hubungan yang positif antara orientasi religius dengan kelekatan aman (secure attachment) pada Tuhan.

Sebaliknya, orang dengan orientasi religius yang rendah, dia akan memiliki kelekatan cemas (anxiety attachment) pada Tuhan, dan hal ini yang akan membawa pada kesehatan mental yang negatif.

Lalu bagaimana dengan statement bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan lebih dari yang sanggup kita hadapi? Pertama, kita harus membedakan mana masalah yang betul-betul cobaan dari Tuhan, dan mana masalah yang kita timbulkan sendiri.

Misalnya, bila kita ditinggalkan oleh anggota keluarga yang kita kasihi dan merupakan tulang punggung keluarga, maka itu murni sebuah pencobaan. Tapi ketika hidup kita tidak tenang karena dikejar debt collector karena hutang yang menumpuk akibat perilaku konsumtif, berarti itu adalah masalah yang kita cari sendiri. Kita tidak bisa menjadikan “cobaan dari Tuhan” sebagai kambing hitam.

Kedua, kekuatan yang kita miliki pun bukan hanya berasal dari kita sendiri, tapi mencakup semua support system yang sudah disediakan, termasuk di dalamnya keluarga, teman-teman, lingkungan, dan tidak lupa, budaya dan peraturan pemerintah di tempat kita tinggal juga punya andil sangat besar. 

Terjadinya hal-hal yang mengerikan pada seseorang dikarenakan kondisi mentalnya yang terganggu, dikarenakan juga kurangnya komunikasi, kepekaan, dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Bila hendak dikorelasikan dengan kondisi pandemi sekarang juga banyak sekali contohnya. Peraturan pemerintah dalam menerapkan kebijakan, seperti PPKM, menjadi pemicu terbesar kejatuhan mental warga pada umumnya.

Ketiga, manusia itu diberikan hak untuk memilih, kita bukan robot yang sedemikian diaturnya dan akhirnya beralasan semuanya terjadi karena takdir. Memasrahkan diri kepada kuasa yang lebih besar daripada manusia, bukan berarti kita bertindak bodoh, dan menganggap semuanya adalah berasal dari Tuhan.

Bisa diambil kesimpulan bahwa ada ruang di mana spiritualisme dan kesehatan mental dapat saling support, tentunya dengan dukungan dari komunitas juga. Karena pengaruh spiritualisme itu akan positif bila berada di lingkungan yang sehat. Komunitas yang positif merupakan kekuatan yang berdampak besar pada seseorang ketika dihadapkan pada masalah atau yang biasa kita sebut cobaan.

Sebagai bagian dari suatu lingkungan juga, kita harus memiliki kepekaan terhadap perilaku orang lain. Jangan pernah menghakimi orang lain apalagi sampai mem-bully. Kita tidak pernah tahu apa pergumulan setiap orang. Terlebih pada saat ini kita semua hampir memiliki masalah yang relatif sama, tidak terkecuali pemerintah dalam menentukan prioritas antara kesehatan, ekonomi, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak