Ada satu hal yang belakangan bikin gelisah, dan ini bukan soal harga cabai atau antrean BBM, tapi soal judul film. Iya, judul. Bukan sinopsis, bukan ending, tapi rangkaian kata di poster. Kadang orang menganggapnya sepele, tapi justru di situlah kesan pertama lahir.
Ada film animasi Indonesia yang katanya nasionalis dan mengusung semangat kebangsaan, penuh nilai persatuan, yakni Film Merah Putih: One For All.
Dari awal lihat poster, langsung mikir, “Loh, ini film nasional atau kolaborasi sama sekolah internasional?”
Aku paham, kok. Di zaman sekarang, bahasa Inggris sudah kayak bumbu instan, ditabur dikit di mana-mana biar terkesan keren, modern, dan “go international”.
Kita semua juga sering terjebak. Mau nongkrong bilangnya hangout, mau liburan jadi healing, mau kerja kelompok disebut group project. Cuma ya gitu, jelas ini beda kalau konteksnya adalah film yang mau bicara soal semangat kebangsaan.
Bahasa itu bagian dari identitas. Kalau kita mau bicara soal nasionalisme, bukankah logis kalau bahasa yang dipilih untuk judulnya pun memuliakan bahasa Indonesia? Apalagi ini bukan film dokumenter tentang turis asing jatuh cinta pada merah putih, ini cerita yang (katanya) tentang kita, untuk kita.
Bayangkan kalau lagu “Indonesia Raya” diganti judulnya jadi Great Indonesia. Masih terasa merinding saat upacara bendera? Atau kalau teks Sumpah Pemuda dibuka dengan, “We the youth of Indonesia .…” Rasanya sih bukan lagi upacara, tapi sesi speaking test IELTS (International English Language Testing System).
Masalahnya, ‘One For All: itu kan cuma padanan dari ‘Satu untuk Semua’. Padahal, kalau pakai bahasa Indonesia, pesan kebersamaannya justru lebih mengena dan menyatu dengan frasa ‘Merah Putih’.
‘Merah Putih: Satu untuk Semua’ terdengar kokoh, tegas, dan penuh kebanggaan. Sedangkan versi Inggrisnya malah terasa seperti slogan minuman energi atau tagline kampanye charity global.
Aku juga nggak mau menutup mata soal kemungkinan niat baik di balik judul ini. Mungkin saja produsernya ingin pasar luar negeri juga melirik. Mungkin mereka mau supaya audiens global bisa langsung paham tanpa perlu menerjemahkan. Namun masalahnya, siapa target penonton utamanya? Kalau memang fokus ke penonton Indonesia yang sedang merayakan 17 Agustus, kenapa nggak maksimalkan bahasa sendiri?
Lagi pula, ‘kalau memang’ ingin dibawa ke luar negeri, terjemahan bisa dilakukan di materi promosi internasional tanpa harus mengubah judul utama. Banyak kok film kita yang tetap pakai judul bahasa Indonesia dan tetap bisa melanglang buana di festival luar negeri, dan mereka nggak kehilangan identitasnya.
Justru, mencampur bahasa seperti ini sering bikin kesannya tanggung. Bukan sepenuhnya lokal, bukan sepenuhnya internasional. Akhirnya, judulnya terasa seperti kompromi yang setengah hati. Kita mau nasionalis, tapi takut nggak keren kalau nggak ada bahasa Inggrisnya. Ya, kan?
Masalahnya, kompromi ini berisiko membuat pesan nasionalismenya sendiri jadi kabur. Kalau di pintu depan saja kita ragu-ragu pakai bahasa sendiri, bagaimana penonton bisa yakin isi ceritanya benar-benar setia pada semangat merah putih? Ini ibarat rumah adat yang pintu gerbangnya diganti pintu kaca ala kafe Brooklyn. Mungkin estetik, tapi orang akan bertanya-tanya, “Ini rumah tradisional atau tempat ngopi?”
Dan lebih jauh lagi, ini menyentil soal konsistensi. Nasionalisme itu bukan cuma soal adegan hormat bendera atau teriak “Merdeka!” di tengah hutan. Nasionalisme juga hidup dalam pilihan kata, bahasa, dan simbol yang kita pakai. Mengibarkan bendera memang penting, tapi menjaga bahasa agar tetap jadi tuan rumah di negeri sendiri itu juga bagian dari perjuangan.
Kalau mau benar-benar memuliakan merah putih, mulai dari judul pun harusnya sudah terasa aura itu. Karena judul adalah pernyataan sikap pertama. Begitu kita campur bahasanya tanpa alasan yang jelas, pesan yang ingin dibawa jadi setengah matang. Apalagi kalau klaimnya “film kebangsaan”, ya kebangsaannya jangan cuma di visual, tapi juga di identitas bahasa.
Akhir kata, aku nggak bilang film ini otomatis gagal hanya karena judulnya campur bahasa. Hanya saja, kalau mau konsisten membawa pesan nasionalisme, ya sebaiknya dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari judul sampai ending, semua selaras. Karena kalau pintu depannya saja sudah ragu-ragu memegang identitas, bagaimana kita bisa yakin seluruh isinya benar-benar rumah kita? Yuk, berbenah dan introspeksi!