Beberapa waktu lalu, saya mengikuti acara peluncuran program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara daring. Program ini ditujukan untuk melakukan pendidikan politik di desa dengan sasaran pada daerah yang tingkat partisipasi rendah atau rawan konflik. Program ini diharapkan mampu menumbuhkan kehidupan demokrasi di desa, baik prosedural maupun substansial.
Selama ini, desa tidak pernah sepi sebagai tempat perhelatan pesta demokrasi. Misalnya, tahun 2019 ada pemilu serentak nasional. Tahun 2020 ada 270 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan 1.464 desa yang menggelar pemilihan kepala desa (pilkades). Tahun 2021 terdapat 5.996 desa yang menyelenggarakan pilkades.
Dari gambaran di atas, desa menjadi arena demokrasi dan ajang politik praktis. Agenda politik nasional dan daerah bahkan desa, semuanya bermuara pada arena politik desa. Sejauhmana partisipasi politik dan apakah rawan konflik atau tidak, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat melek politik. Pendidikan politik di desa akan mewarnai kehidupan demokrasi desa, baik untuk agenda politik nasional, daerah maupun desa itu sendiri.
Kemunduran Demokrasi Desa dan Perlunya Pendidikan Politik
Ada kelompok diskusi yang bermarkas di pondok alang adik saya. Mereka adalah orang-orang muda dari berbagai latar belakang, seperti pengurus partai politik, LSM, mahasiswa, dan pengawas pemilu. Tema diskusi mereka seputar politik, demokrasi, HAM dan kebijakan publik. Saya pun sering bergabung dalam diskusi mereka, apalagi tahun 2020 lalu, ada pilkada di daerah kami.
Masuk tahun 2021, tema diskusi lebih terfokus pada pilkades. Menurut mereka, kehidupan demokrasi desa telah banyak mengalami kemunduran. Sekarang ini, politik praktis di desa telah diwarnai dengan politik identitas, politik uang, dan tim sukes berbayar, baik saat pemilu, pilkada, maupun pilkades.
Demokrasi desa sesungguhnya kental dengan semangat toleransi, tenggang rasa dan tanpa pamrih, namun saat ini mulai luntur. Bagi mereka, kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Ini harus dilawan dengan pendidikan politik. Tidak saja wacana, tetapi juga dalam politik praktis. Karena itu, empat orang diantara mereka akhirnya menjadi calon kepala desa di tahun 2021.
Salah satu komitmen mereka dalam kampanye pilkades adalah melakukan pendidikan politik. Pola ini mungkin kurang poluler. Bagi mereka menang-kalah itu nomor dua. Target utamanya adalah menghidupkan kembali kehidupan demokrasi desa yang bermartabat, toleran, dan saling menghargai.
Selain di tempat saya, tentunya ada banyak kelompok orang muda di berbagai daerah yang peduli dengan demokrasi, khususnya demokrasi desa. Bahwa membangun demokrasi di Indonesia, harus dimulai dengan menghidupkan kembali demokrasi desa melalui pendidikan politik.
Wajah Demokrasi Desa
Desa telah mengenal demokrasi sebelum negara kita terbentuk. Demokrasi desa memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai masyarakat komunal, warga desa kental dengan sikap toleran, tolong menolong, gotong royong dan saling menghargai. Kondisi ini pun membentuk kehidupan demokrasi desa yang juga toleran, saling menghormati, saling menolong, berpartisipasi secara sukarela, dan mengedepankan kemanusiaan.
Wajah demokrasi desa akan tergambar dalam segenap aspek kehidupan masyarakat desa, baik sosial-politik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya. Dalam tataran praktis, demokrasi desa terlihat dalam empat bentuk, yakni: memilih pemimpin (kepala desa), pemerintahan desa, musyawarah desa dan partisipasi warga.
Kepala desa adalah pemimpin di desa. Jarak politik antara kepala desa dengan warganya sangat dekat. Lebih dekat bila dibandingkan dengan bupati, gubernur, apalagi presiden. Pemerintah desa adalah pemberi layanan publik yang paling awal dan memiliki jarak psikologis paling dekat dengan warga. Karena itu, pemerintahan desa dapat dimaknai sebagai bentuk kehadiran negara yang paling dekat dengan rakyat.
Dalam musyawarah desa, warga dapat mengutarakan berbagai permasalahan kehidupannya secara langsung dan merumuskan penyelesaiannya secara bersama. Bahkan, untuk pembangunan desa yang bersumber dari dana desa (APBDes), kesepakatan dalam musyarawarah desa merupakan kesepakatan tingkat pertama dan terakhir. Apa yang disepakati, itu yang dilaksanakan.
Begitu pula dengan gotong royong, baik dalam kegiatan warga maupun pemerintahan desa, warga terlibat tanpa adanya paksaan dan tanpa bayaran. Ini merupakan bentuk kesukarelaan yang hidup di desa.
Soal partisipasi, pilkades memiliki tingkat partisipasi yang sangat tinggi karena melibatkan emosional warga. Mengapa? Karena output pilkades (kepala desa) akan berada dan bersentuhan langsung dengan keseharian mereka. Sejatinya, kontestasi pilkades memiliki riak konflik yang tinggi, namun para kandidat maupun pendukungnya tetap saling menghormati, dan tidak saling menyerang secara vulgar karena tetap menjaga tenggang rasa di antara mereka.
Dari Demokrasi Desa Menuju Demokrasi Indonesia
Agenda politik seperti pemilu, pilkada dan pilkades tidak saja membentuk kekuasaan, tetapi juga membentuk karakter kehidupan berdemokrasi, baik tingkat nasional, daerah dan desa. Warna demokrasi desa akan menjadi warna demokrasi Indonesia. Potret demokrasi desa akan menjadi gambaran perilaku politik masyarakat Indonesia dan selanjutnya mewarnai akan seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Karena itu, upaya memperkuat demokrasi desa merupakan bentuk perlawanan terhadap kemunduran demokrasi di negara kita, yang selama ini sudah tercemari dengan politisasi SARA dan politik uang. Penguatan demokrasi desa menjadi pintu masuk untuk membangun demokrasi kita yang bermartabat, toleran dan manusiawi.
Pendidikan Politik dan Upaya Penguatan Demokrasi Desa
Penguatan demokrasi desa dapat ditempuh dengan pendidikan politik. Hal ini membutuhkan partisipasi banyak pihak. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), LSM dan perguruan tinggi dapat (sudah) mengambil peran untuk melakukan pendidikan politik dalam jangka panjang di desa. Dengan pendidikan politik, diharapkan akan muncul “Arena Demokrasi Desa” dan “Relawan Demokrasi Desa”.
Arena Demokrasi Desa merupakan proses internalisasi nilai-nilai (wacana) demokrasi, dengan menggali kembali nilai-nilai demokrasi yang berakar pada kultur desa dan nilai-nilai hidup masyarakat.
Selanjutnya, desa harus diposisikan sebagai subyek pembangunan demokrasi. Aktor-aktor demokrasi diharapkan bermunculan dari desa. Mereka adalah Relawan Demokrasi Desa yang peduli dengan kehidupan demokrasi di desanya. Mereka bukan pengamat demokrasi tetapi aktor demokrasi yang terjun langsung di masyarakat dengan sukarela, dari rumah ke rumah, dan dari pertemuan ke pertemuan.
Sebagai relawan, bila perlu ikut juga kontestasi pilkades sembari melakukan pendidikan politik dengan mempraktiknya nilai-nilai demokrasi desa dalam berkompetisi. Bila terpilih, mereka juga wajib mempraktikan semangat demokrasi desa dalam setiap proses pembangunan desa.
Dengan demikian, melakukan pendidikan politik di desa berarti menempatkan desa sebagai tempat persemaian kehidupan demokrasi. Demokrasi desa akan menjadi pintu gerbang menuju kehidupan demokrasi yang bermartabat, toleran dan manusiawi di negara kita.
Apa yang akan dimulai oleh KPU, perguruan tinggi atau LSM dengan menjadikan desa sebagai tempat pendidikan politik adalah upaya membangun demokrasi Indonesia yang lebih baik, bermartabat dan manusiawi. Agenda ini perlu terus dikembangkan serta direplikasi dan diperluas wilayah cakupannya.*
* Oktavianus Landi, Ketua KPU Kabupaten Sumba Timur