Pandemi COVID-19 telah melahirkan era hidup dalam kenormalan baru, sebuah kehidupan bermasyarakat dengan berbagai adaptasi teknologi dan dinamika pembatasan geraknya. Berbagai fluktuasi kasus dan kebijakan Pemerintah terkait PPKM seakan menjadi berita harian, sehingga wajar kiranya jika kita merasa telah hidup berdampingan dengan COVID-19.
Salah satu konsekuensi dari kesiapan kita hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19 ini adalah penggunaan teknologi digital. Suatu keniscayaan penggunaan perangkat digital sebagai alat pantau pergerakan dan pembatasan yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hampir diterapkan oleh berbagai negara di dunia ini dengan beragam jenis aplikasinya.
Sebagaimana kita dapat menyaksikan dari periode awal pandemi COVID-19 hingga sekarang. Percepatan penggunaan teknologi di berbagai negara digesa dan digunakan untuk memantau penyebaran COVID-19. Dari mulai lahirnya penggunaan peta dasbor, hingga aplikasi pada gawai yang berbasis geolokasi untuk memantau lokasi pergerakan masyarakat.
Merenungi berbagai fenomena geografi manusia di era teknologi digital dan pandemi COVID-19 ini, saya melihat bahwa teknologi telah dimanfaatkan untuk mengukur, memetakan, memantau, hingga memodelkan kondisi perkembangan sampai dengan mengestimasi potensi lonjakan pandemi COVID-19.
Kemudian, dari aspek ilmu pengetahuan, kita melihat integrasi lintas disiplin ilmu, mulai dari kesehatan (epidemiologi), geografi, teknologi informasi, bahasa, hingga ilmu komunikasi digunakan untuk penanganan permasalahan global pandemi COVID-19.
Semua bergerak untuk tujuan yang sama yaitu menghadapi pandemi secara integratif melalui edukasi kenormalan baru di era pandemi. Berbagai upaya mengkomunikasikan 5W1H tentang pandemi COVID-19 dan upaya pencegahannya pun dilakukan sebagai bagian dari literasi kesehatan dan cara normal baru untuk hidup bersama COVID-19.
WHO dan berbagai organisasi kesehatan di tiap negara mengoptimalkan berbagai media komunikasi dan pendekatan strategis sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya. Selaras dengan cepatnya mutasi virus COVID-19 dan penyebarannya yang tak terbendung, hingga perlunya kebijakan pembatasan gerak yang dinamis.
Menyadari hal tersebut, maka wajar kiranya jika tiap negara berjuang dalam mengedukasi warga masyarakatnya melalui berbagai pendekatan dan wadah komunikasi.
Nah, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya dan budaya serta ragam bahasa daerah lebih dari 700 adalah tantangan sendiri yang mesti disadari oleh kita bersama. Pendekatan yang dilakukan untuk menangani pandemi COVID-19 pada berbagai wilayahnya tentu akan berbeda-beda dan disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan penduduknya.
Saya ingat cerita dari salah satu Pakar Linguistik yang menyampaikan keterlibatannya dalam mengemas informasi tentang pandemi dalam berbagai bahasa daerah bersama BNPB sebagai bagian dari langkah nyata literasi kesehatan dalam bahasa daerah.
Kemudian, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah perlu senantiasa menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai garda depan dalam edukasi pentingnya hidup sehat di tengah pandemi, salah satunya menaati protokol kesehatan dan kebijakan PPKM yang diterapkan oleh Pemerintah pada wilayahnya.
Peran mereka yang utama adalah membantu Pemerintah dalam memerangi hoaks, disinformasi, dan simpang siur informasi serta menggesa urgensi vaksinasi sebagai langkah bersama dalam kesiapan untuk hidup bersama pandemi COVID-19.
Lalu, apakah dengan penerapan level PPKM di berbagai daerah yang telah diturunkan adalah pertanda kita akan segera hidup berdampingan dengan pandemi COVID-19? Saya merasa bahwa berita penurunan kasus COVID-19, angka kematian, dan vaksinasi massal yang kian gencar adalah kabar baik, namun kewaspadaan kita terhadap potensi lonjakan kasus tetap perlu menjadi perhatian bersama.
Kemudian, teknologi yang selama ini telah digunakan untuk pengukuran, pemetaan, pemantauan, hingga pemodelan pandemi COVID-19 ini tetap perlu terus digunakan dan dioptimalkan serta tentunya hasil analisisnya disampaikan ke masyarakat luas.
Salah satunya pesan tentang kewaspadaan terhadap pandemi COVID_19 melalui tertib menjaga protokol kesehatan. Selain itu, terdapat pesan penting yang disampaikan oleh pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman bahwa saat ini dunia masih di gelombang tiga pandemi COVID-19 dan situasinya pun belum melandai.
Artinya, euforia seluruh elemen bangsa Indonesia yang mulai menggeliat melakukan perjalanan, berkumpul, dan beraktivitas dalam kenormalan baru tetap perlu dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pergerakan masyarakat perkotaan yang cenderung melakukan perjalanan ke luar negeri maupun dalam negeri, terlebih ke daerah-daerah wisata di desa-desa juga mestinya menjadi perhatian bagi kita semua. Saya masih melihat adanya kelengahan kita dalam melakukan pemantauan mobilitas penduduk, dari wilayah perkotaan ke pedesaan.
Contoh konkritnya adalah aplikasi pedulilindungi belum digunakan sebagai persyaratan untuk memasuki kawasan wisata yang berlokasi pada daerah pedesaan. Kemudian, kendala infrastruktur jaringan telekomunikasi dan internet yang belum menjangkau wilayah tertentu juga menimbulkan permasalahan tersendiri yang tetap perlu kita upayakan pengawasannya.
Oleh karena itu, salah satu solusi paling sederhana yang dapat dioptimalkan adalah pendataan warga yang datang dan pergi ke lokasi wisata, hingga pendataan warga yang pulang kampung atau mudik sesaat oleh rukun warga (RW)/rukun tetangga (RT) setempat.
Saya melihat sejumlah desa yang telah memiliki tim Satgas COVID-19 masih mempunyai tenaga untuk mengoptimalkan pengawasan protokol kesehatan dan warga yang keluar masuk. Namun, kita juga tidak menutup kenyataan bahwa sumber daya manusia yang ada di tingkat desa pun berbeda-beda.
Kemudian mereka saat ini kemungkinan mengalami fase kejenuhan, sehingga wajar jika kita kembali dalam posisi lengah karena merasa level PPKM telah turun dan tidak ada angka kasus di wilayahnya.
Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi dengan rekan alumnus yang aktif sebagai Satgas COVID-19 di desanya, dia menceritakan bagaimana warga bantu warga melalui sedekah jumat tepat berjalan di lingkungannya. Bahkan, pendataan terhadap warga yang keluar masuk untuk tinggal lebih dari 1x24 jam masih tetapi dilakukan oleh RW/RT setempat. Meskipun, kondisi kampungnya masuk ke dalam kategori hijau.
Setelah kami berdiskusi ringan, akhirnya kami berkesimpulan bahwa kesadaran terhadap urgensi penggunaan teknologi, pengetahuan lokal, dan literasi yang kontinyu dari pejabat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama menjadi kunci dalam menjaga kewaspadaan hadapi pandemi COVID-19.
Penggunaan papan pengumuman di kantor desa dan tempat beribadah untuk mengkomunikasikan situasi perkembangan pandemi COVID-19 dan informasi vaksinasi, kemudian juga optimalisasi grup-grup WA sebagai ajang berbagi informasi dan menangkal hoaks adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Satgas COVID-19 di desa tersebut.
Menariknya lagi, edukasi bagaimana penggunaan aplikasi pedulilindungi bagi warga yang relatif baru dalam menggunakan perangkat gawai dan aplikasi tersebut pun dilakukan oleh Satgas COVID-19 di tingkat desa.
Belajar dari contoh di atas, kiranya dukungan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan serangkaian informasi yang terkini hingga tingkat desa amatlah dibutuhkan. Sosialisasi pandemi COVID_19 ini perlu terus diupayakan agar benar-benar sampai hingga tingkat desa.
Literasi pandemi COVID-19 perlu kontinyu dan konsiten dilakukan melalui situs web, media sosial, aplikasi pada gawai, hingga media lain yang mampu dijangkau masyarakat umum. Kesiapsiagaan kita ke depan menghadapi kemungkinan adanya pandemi lainnya dapat ditingkatkan.
Aji Putra Perdana, Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente