Semasa masih di bangku perkuliahan, saya salah seorang pelajar yang sangat tertarik dengan karya-karya Noam Chomsky. Ketertarikan tersebut mungkin tumbuh karena lingkungan organisasi. Mulai dari buku "Who Rules the World", "Pirates and Emperors", "How The World Works" dan "Politik Kuasa Media" (edisi terjemahan).
Mungkin bagi sebagian dari kita, nama Chomsky sangat asing di telinga. Namun, kuat keyakinan saya bahwa nama beliau tidak asing di telinga para peminat kajian kontemporer. Chomsky tentu bukan sebuah nama yang tabu.
Chomsky dikenal sebagai pemikir terkemuka yang independen dan memiliki kemampuan analitis yang sangat tajam. Karya-karyanya banyak dijadikan referensi dan diperbincangkan dalam berbagai kajian kontemporer, serta mendapatkan apresiasi yang luar biasa, tidak hanya di negeri Paman Sam semata.
Dalam tulisan ini saya ingin mengajak kita mengenal sedikit buah pikirannya Noam Chomsky, terkait media, propaganda dan persetujuan buatan, yang terangkum dalam bukunya "Politik Kuasa Media".
Untuk mengulas tema tersebut, Noam Chomsky adalah salah seorang pemikir yang tidak segan-segan menyumbangkan keraguan yang logis dengan pertimbangan yang sangat analitis. Saya pikir ini sangat baik untuk kita pelajari.
Dari sekian banyak tulisan Noam Chomsky, menurut saya, pada catatan tersebut adalah hal yang perlu kita telisik secara berulang-ulang. Mengingat kita semua sebagai penikmat iklmi demokrasi, dan hari-hari kita berurusan dengan media. Tidak jarang di antara kita juga terlibat secara berlebihan dalam perang opini.
***
Rekontruksi Media
Peran media dalam iklim demokrasi sangat berkembang pesat. Dan memang demokrasi semakin subur dengan adanya peran-peran media, karena kebebasan individu dalam berpendapat atau bersuara perlu adanya wadah ataupun alat.
Namun, perlu kita sadari bersama bahwa, peran media juga tidak terlepas dari tangan-tangan kekuasaan dan sarat dengan berbagai kepentingan.
Jadi, apa yang tertulis di media, jangan dianggap kebenaran final tanpa perlu sudut pandang yang lain, sehingga seolah-olah nilai-nilai yang telah didapatkan di media tidak bisa diganggu-gugat.
Padahal, jika kita ingin meneliti lebih jauh, media-media yang sering memaparkan informasi adalah salah satu pertunjukan sudut pandang, dan tentunya ada sudut pandang lain yang demikian terlewatkan. Tak pelak, fakta yang muncul di media massa tidak sepenuhnya sama dengan fenomena yang sebenarnya.
Di sini mejadi catatan kita bersama, bahwa fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para awak media di meja-meja redaksi. Walau sekalipun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik.
Namun, tetap saja, kita tidak bisa mengatakan apa yang mereka tulis adalah fakta yang sebenarnya. Saya selalu percaya, bahwa demokrasi menyuburkan kebebasan manusia dalam mengemukakan sudut pandang. Hal ini ditegaskan oleh Chomsky dengan dua konsepsinya.
Pertama, menerangkan bahwa masyarakat yang demokratis mempunyai alat yang cukup berpengaruh untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri. Di samping itu alat-alat informasi mereka bersifat terbuka dan bebas.
Tapi, jangan lupa dengan konsepsi kedua, bahwa publik harus dihalangi dalam usahanya untuk mengatur urusan mereka, dan alat-alat informasi harus senantiasa direkayasa dan dikontrol secara ketat. Memang dalam konsepsi kedua ini terdengar agak aneh secara teori. Namun, sangat sejalan sekarang dengan apa yang telah terjadi sekarang ini, terkait kontrol kekuasaan terhadap media sosial.
Akan tetapi, pasti ada saja kekurangan dalam setiap sudut pandang, rekonstruksi peristiwa dan fakta ke dalam fakta media. Jadi, ketika kita tidak mudah untuk menaruh kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap fakta di dalam media, tentu ini sebagai langkah baik agar kita tidak terlalu memfinalkan kebenara, dan tentunya tidak mudah dikontrol oleh siapa pun, termasuk oleh kekuasaanyang kiranya punya kepentingan politik berlebih.
Terkait kontrol kekuasaan terhadap media dalam konsepsi kedua ini, menurut Chomsky sendiri sudah sejak lama berlaku. Pandangan ini dapat kita lacak dari periode awal revolusi demokrasi modern yang diusung pada abad ke-17 di Inggris.
Propaganda
Terkadang menjadi hal aneh bagi kita, tapi secara sadar ataupun tidak, hari-hari kita terlibat dalam propaganda media. Kenapa itu bisa terjadi? Untuk menjawab kegelisahan tersebut, Noam Chomsky memulai catatannya dengan memperkenalkan sebuah rangkaian sejarah operasi propaganda pertama yang dilakukan oleh pemerintah modern, yaitu pemerintah Wodrow Wilson. Yang telah memenangkan pemilihan presiden tahun 1916 dengan mengusungkan narasi "Perdamaian Tanpa Penaklukan".
Hal itu terjadi di tengah situasi Perang Dunia I, di mana waktu itu rakyat Amerika sangat anti-perang dan mereka merasa tidak ada kepentingan untuk terlibat dalam 'Perang Eropa' yang sedang hiruk-pikuk.
Tanpa sepengetahuan rakyat Amerika, ternyata waktu itu Wilson terlibat dan punya peran dalam perang tersebut. Dengan cerdiknya, Wilson dan kerabatnya membentuk tim propaganda resmi pemerintah; Creel Committee.
Komisi ini berjalan dengan pesat dengan pencapaian yang sangat luar bisa. Kenapa tidak? Dalam kurun waktu 6 bulan mereka berhasil mengubah paradigma rakyat Amerika yang anti-perang menjadi histeris dan haus akan perang.
Rakyat Amerika yang semula redup dengan perperangan, kemudian hidup dengan nafsu untuk memusnahkan semua hal yang berkaitan dengan Jerman. Seolah-olah mereka ingin terjun langsung dihiruk-pikuknya situasi lalu ingin menyelamatkan dunia sebagai solusi.
Itu semua terjadi dengan propaganda media yang dilakukan oleh Creel Comittee. Mereka menepuk dada rakyat Amerika dengan berbagai tulisan-tulisan dan sumulacra. Dengan cara mengimpus rasa ketakutan yang berlebihan dan membangkitkan sikap fanatisme kebangsaan.
Metode yang mereka gunakan sangat beragam, misal dengan menghembuskan desas-desus kekejaman bangsa Jerman dan anak-anak Belgia tanpa lengan. Cerita-cerita lainya yang membuat rakyat Amerika terdoktrin, terseret dalam arus dan haus akan peperangan.
Usaha ini sangat berhasil. Membuat Wilson bagaikan seorang pahlawan dalam situasi waktu itu. Dari sinilah kita bisa menarik kesimpulan; Propaganda media, jika dikelola oleh pemerintah dan didukung oleh kelas intelektual, pengaruhnya akan sangat besar. Cara-cara tersebut dianalisa masih berjalan hingga kini.
Persetujuan Buatan
Walter Lippman, ia adalah pemuka wartawan Amerika, seorang yang kritis terhadap kebijakan dalam dan luar negeri. Dia mengungkapkan bahwa yang disebut revolusi reni berdemokrasi dapat digunakan untuk membuat 'Persetujuan Buatan'.
Persetujuan buatan di sini maksudnya adalah mengadakan persetujuan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pihak publik, lalu menjadi 'ingin' dengan bantuan teknik propaganda dengan dalih 'kepentingan bersama'. Yang itu semua dapat mengecoh pikiran publik.
Lippman mengatakan bahwa hal itu hanya dapat dipahami dan dikelola oleh sebuah 'kelas para ahli' sebagai penggerak, berasal dari 'para penguasa' yang cukup cerdas untuk menalar dan menakar. Di balik persetujuan buatan semacam ada logika, bahwa publik terlalu bodoh untuk memahami sesuatu.
Logikanya serupa dengan anak umur tiga tahun yang tidak boleh dibiarkan menyebrang jalan sendirian. Kebebasan menyebarang jalan tidak boleh diberikan kepada anak umur tiga tahun, karena anak seusia itu tidak tahu bagaimana cara menggunakannya.
Dengan logika serupa, maka Anda tidak boleh membiarkan kawanan (rakyat biasa) menjadi aktor. Mereka hanya akan mendatangkan masalah. Oleh karena itu butuh sesuatu untuk menjinakkannya dan sesuatu itu adalah "Rekayasa Persetujuan".
Maka, kelas para ahli yang disebutkan akan menawarkan, "Saya dapat melayani kepentingan Anda". Statement semacam itu yang membuat kelas ini menjadi bagian dari eksekutif, karena berhasil merekayasa persetujuan buatan.
Padahal rakyat biasa ini atau istilah Noam Chomsky 'kawanan pandir' ini tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Persetujuan buatan itu hanya untuk mengalihkan perhatian mereka saja. Kawanan pandir ini hanya penonton. Pelampiasan dari keputusan atau kebijakan. Hal ini dijelaskan dalam ilmu politik kontemporer tahun 1920-an hingga akhir tahun 1930-an.
***
Penamparan Noam Chomsky menunjukkan pada kita semua, bahwa media massa juga dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh dan manjur dalam perebutan makna. Siapa yang berhasil membangun citra, akan mendapatkan legitimasi publik, seperti yang 'mereka' inginkan.
Kita sedang menyaksikan pertempuran berbagai kepentingan di media massa. Objektivitas yang didengungkan pegiat media massa pada kenyataannya tidak terlepas dari kepentingan, yang terkadang bertujuan untuk membuat 'persetujuan buatan'.
Oleh karena itu, Noam Chomsky mengingatkan pada kita semua, bahwa informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas realitas yang ada di masyarakat. Namanya rekonstruksi tentunya sangat tergantung pada orang di balik media dalam melakukan kerja-kerjanya.