Gerakan Kolaborasi pada Masa Pandemi, Bukan Hanya Sebatas Narasi

Hernawan | Mahadir
Gerakan Kolaborasi pada Masa Pandemi, Bukan Hanya Sebatas Narasi
Ilustrasi pandemi (freepik.com/prostooleh)

Pada masa-masa sulit seperti ini, bukan saatnya lagi kita saling menegasi antara gerakan yang satu dengan yang lain, dengan ungkapan-ungkapan bahwa, "Jemaah kami atau kelompok kami lebih baik dari situ, atau dari yang itu". Jangan lagi kita terjebak dengan narasi sebatas diskursus yang pada akhirnya hanya sebatas basa-basi.

Berdialektika itu penting dan bahkan sebagai tukar tambah pikiran serta penguat pandangan. Akan tetapi, tugas kita sebagai manusia, menghadapi suatu situasi yang sama, tidak hanya selesai sampai di situ saja.

Semua orang pada saat-saat pandemi sedang berjuang. Jangan memandang bahwa yang berjuang dengan teriakan di jalanan itu lebih mulia, sedangkan mereka yang hanya duduk diam di rumah itu hina. Kita memiliki medan tempur masing-masing.

Tidak semua orang harus turun ke jalan. Tidak semua orang pula harus berada di rumah saja. Tidak semua orang pula harus ada ruang negosiasi atau regulasi. 

Oleh sebab itu, makna perjuangan jangan hanya dibatasi dengan makna yang sempit. Semua kita ingin keluar dari situasi pandemi ini. Akan tetapi, ada yang bergerak secara diam-diam atau sendiri-sendiri, sehingga ada perjuangan yang terpublikasi, ada yang tidak sama sekali.

Jadi sikap saling menegasikan hanya menghabiskan energi kita semua. Sementara kita masih berada di pusaran kesulitan dan tidak ke mana-mana.

Memulai kebangkitan bersama tidak akan bisa tercapai jika kita tidak memulai dari kerja-kerja bersama atau kolaborasi. Sekarang zaman di mana kita harus saling merangkul dan saling memikul.

Merangkul yang sedang membutuhkan bantuan, memikul beban untuk sama-sama kita selesaikan. Itulah makna kolaborasi dalam skala mikro yang harus kita realisasikan. Tagar 'Teman Bantu Teman' atau 'Rakyat Bantu Rakyat' itu menunjukkan satu sikap kolaborasi yang solid, yang harus kita pertahankan.

Jika kita flashback pada bulan Maret 2020 yang lalu, ada tukang ojek online pernah curhat dalam sebuah saluran TV swasta. "Sekarang itu kata-kata mutiara atau kata-kata bijak bukan itu yang kami butuhkan, bukan! Sekarang itu yang kami butuhkan rangkulan tangan wujud empati kalian semua," itu tuturnya kepada para politikus dan audience yang ada.

Sehingga apapun ideologi dan entitas kita, apapun gagasan yang menarik dan narasi yang cerdik, apabila tidak sampai pada tahap rangkulan tangan sebagai wujud empati, maka itu tidak akan berarti.

Hari ini, orang-orang tidak akan lagi mempertanyakan apa partaimu, apa ideologimu, apa kelompokmu. Siapapun yang berani merangkul dan memikul beban berat ini secara bersamaan, maka itulah yang akan disebut sebagai satu sikap kepahlawanan. Menghadirkan sikap kepahlawanan dan perjuangan kita menghadapi pandemi saat ini itu penting.

Tidak harus menunggu jadi ketua-ketua tertentu atau jabatan tertentu yang membuat sikap kepahlawanan itu tumbuh. Justru apapun status sosial yang kita miliki, jika kita mampu terjun untuk saling berkolaborasi, maka itu sudah sangat dihargai dan sekarang sangat dibutuhkan.

***

Sebagai suatu contoh yang menarik, dalam sebuah film Korea Selatan yang berjudul Midnight Runners, yang sudah pernah tayang pada bulan Agustus 2017 silam.

Kisah dua orang pemuda, Ki-Joon dan Hee-Yo diperhadapkan dengan situasi untuk melawan gembong penjahat dengan status yang belum resmi sebagai polisi. Lewat sejumput modal keberanian dan kerjasama, keduanya berani melawan komplotan demi mengikuti nurani mereka. Walaupun niat baik mereka pada awalnya terhalangi birokrasi yang rumit dan pelik, namun mereka tidak menyerah dengan keadaan.

Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan, apalagi ketika polisi resmi justru lebih sibuk mengurus kasus-kasus titipan dari atasan mereka. Sehingga prosesi penanganan masalah menjadi lebih lamban, dan bisa berefek akan memakan banyak korban.

Bila diperhadapkan dengan kondisi sekarang, tentu ceritanya tidak sama persis dengan situasi yang sedang kita hadapi, tapi semua orang dapat menjadi Ki-Joon ataupun Hee-Yo, yang berani untuk mengikuti nurani mereka, daripada tidak berbuat sama sekali untuk mencari posisi aman saja. Mereka berdua mengisyaratkan contoh kerja kolaborasi yang tidak lagi memandang status dan jabatan.

Mereka sangat memahami bagaimana teori waktu kritis yang telah mereka pelajari tidak sekedar wacana belaka, tapi langsung dengan tindakan kongkrit yang sangat nyata. 

***

Sebagai penutup dari catatan ini, ada sebuah nasehat dari seorang sufi dan penyair Muslim abad ke-13 yang bernama Sa'di Shirazi. Ia mengingatkan kepada kita semua dalam sebuah syairnya, yang kemudian diadopsi dalam lagu instrumental berjudul "Children of Adam" dari Coldplay yang terinspirasi dari syair Sa'di.

Di mana di tengah lirik lagu itu terselip syair Sa'di berjudul "Bani Adam":

Anak-anak adam adalah bagian tubuh
Satu sama lain, yang telah di ciptakan dari sati esensi.

Ketika mala petaka menimpa suatu bagian tubuh, bagian tubuh lainnya ikut merasakan.

Jika engkau tidak bersimpati dengan penderitaan orang lain, maka engkau tidak layak disebut sebagai manusia.

Dalam syair ini, seolah-olah Sa'di ingin menegaskan, ketika malapetaka menimpa suatu bagian tubuh, bagian tubuh lainnya ikut merasakan. Dan jangan sebut kita 'manusia' jika tidak mau merasakan penderitaan antar sesama.

Sekarang kita semua sudah merasakan dampak dari pandemi, baik dalam skala kecil maupun besar. Selanjutnya tugas kita adalah melepaskan ego entitas dan saling membantu antara sesama, dalam rangkaian kerja kolaborasi. Dan kita tidak perlu ngotot dengan narasi versi kita saja. Apapun narasinya akan terbilang dan terpandang jika membuahkan hasil untuk kebaikan bersama. Bukan hanya sebatas diskusi belaka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak