Budaya Data dan Literasi Peta di Tengah Pandemi COVID-19

Hernawan | Aji Putra Perdana
Budaya Data dan Literasi Peta di Tengah Pandemi COVID-19
Ilustrasi peta COVID-19 dalam aplikasi mobile. (Unsplash/Brian McGowan)

Hari Rabu (27/20/2021) lalu, saya berkesempatan menjadi moderator acara Cartography and Geovisualization Day yang diadakan oleh Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Mengawal dua narasumber kunci yang mengulas topik tentang derajat kepercayaan peta dan data spasial 3 Dimensi. Salah satu salindia presentasi narasumber pertama menunjukkan penggunaan teknologi geospasial menghadapi pandemi COVID-19.

Peta sebaran pandemi COVID-19 diolah dan disajikan dalam sajian kartografi analitik berupa dasbor peta. Penggunaan dasbor peta ini makin memudahkan pengguna melihat integrasi penyajian data dan informasi yang berupa tabel, grafik, dan tentunya peta dalam satu layar.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), menyampaikan arahan dalam acara puncak peringatan Hari Raya Informasi Geospasial ke-52. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tanggal 19 Oktober 2021 secara hybrid. Saya kutip arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang saya anggap memegang poin penting untuk direnungkan kita bersama, di tengah situasi pandemi COVID-19 serta berita yang berkembang belakangan ini terkait data dan peta.

"Data adalah kekuatan baru pada hari ini maupun masa depan," tegas Jokowi.

Saya mencoba memaknai kalimat yang beliau sampaikan tersebut terhadap situasi pandemi COVID-19. Saya mengajak kita semua untuk merefleksikan kembali sejumlah permasalahan data yang masih saja terjadi di bangsa ini.

Pandemi COVID-19 mestinya makin menggugah kita tentang urgensi adanya Satu Data yang terkelola dengan baik, terutama bagaimana integrasi data statistik, keuangan, dan geospasial. Kemudian, jika kita masih ingat, ternyata input data dan sinkronisasi data antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat juga memegang peranan penting dalam penentuan kebijakan.

Isu perbedaan data akibat keterlambatan entri maupun akibat keengganan kita untuk jujur dalam data menjadi permasalahan tersendiri. Namun, problematika tersebut tampaknya sudah diselesaikan dengan baik seiring angka kasus pandemi COVID-19 telah memiliki kecenderungan menurun. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap lonjakan kasus masih tetap menghantui, sehingga tingkat kewaspadaan dan pengelolaan data tetap tidak boleh lengah.

Bicara mengenai Satu Data, saya teringat saat beberapa waktu lalu menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah D.I. Yogyakarta. Salah satu narasumber menyampaikan pentingnya budaya data (data culture), di mana di era keterbukaan informasi publik, Pemerintah mesti membagipakaikan data dan informasi.

Selain itu, budaya daya berkaitan juga dengan bagaimana kita dapat menentukan klasifikasi data yang bersifat terbuka, terbatas, atau tertutup. Butuh sinergi berbagai pihak agar diperoleh satu data yang terpadu sehingga tidak ada tumpang tindih informasi, kejelasan walidata menjadi kunci. Harapan utamanya adalah kemudahan mencari data dan informasi pada satu wadah tunggal serta interoperabilitas data terwujud, termasuk siapa yang bertanggung jawab terhadap data itu jelas.

Saya melihat ada satu isu lain terkait budaya data yang perlu diperhatikan, yaitu keamanan data, terutama data pribadi. Kita dapat melihat bagaimana belakangan ini, isu terkait bocornya data pribadi dan bobolnya sejumlah situs pemerintah masih menjadi permasalahan yang kerap muncul di tengah kesadaran kita untuk membangkitkan budaya data.

Lebih lanjut, budaya data ini erat kaitannya dengan kesadaran kita terhadap bagaimana data tersebut dikelola, baik dari proses pengumpulan, pengolahan, hingga penyajiannya. Tantangan berikutnya yang muncul adalah literasi data dan informasi yang telah disajikan pada situs web maupun pada aplikasi mobile. Salah satu bagian dari literasi yang ingin saya angkat adalah literasi peta di tengah situasi pandemi COVID-19.

Sebagaimana saya ungkapkan di awal tulisan bahwa pandemi COVID-19 membangkitkan penggunaan teknologi dasbor peta secara masif oleh berbagai pihak, dari pemerintah, akademisi, hingga praktisi dan komunitas masyarakat. Artinya, peta sebagai salah satu wujud penyajian data dan informasi terkait pandemi COVID-19 dapat diakses secara mudah oleh publik.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana membaca dan memahami isi peta dan apakah peta tersebut benar-benar digunakan oleh Pemerintah dalam analisis pengambilan kebijakan.

Sejumlah pertanyaan tersebut senantiasa menghantui saya di awal euforia penggunaan dasbor peta dan ramainya penerapan berbagai jenis PPKM yang menyajikan zonasi warna untuk tiap wilayah di Indonesia. Bahkan, kita masih ingat zonasi warna pun tak lagi mewarnai hanya pada tingkat desa, di tingkat Rukun Tetangga/Rukun Warga pun warna zonasi mewarnai diskusi atau obrolan keseharian.

Dampak dari kewaspadaan kita terhadap kasus pandemi COVID-19 yang saat itu cukup tinggi. Meskipun, dari sisi peta yang disajikan pada dasbor peta situs web satgas COVID-19 pusat masih pada level batas desa. Di sisi lain, keberadaan aplikasi pedulilindungi yang dikembangkan sebagai aplikasi berbasis geolokasi ternyata cukup membantu kita memahami zonasi warna tempat kita berada.

Lalu, apakah dengan peta zonasi yang mudah diakses via situs web dan berada di genggaman tangan kita melalui aplikasi pedulilindungi dapat menjadi pertanda edukasi dan literasi peta telah dilakukan dengan apik? Hal ini masih memerlukan telisik lebih dalam lagi untuk mengetahui sejauh mana masyarakat menggunakan dan memahami peta yang disajikan pada situs web maupun aplikasi pedulilindungi.

Saya coba menilai dari lingkungan terdekat, kesadaran geografis terhadap situasi pandemi COVID-19 saat itu belum mengoptimalkan penggunaan peta pada aplikasi pedulilindungi maupun situs web COVID-19. Kecenderungan masyarakat di lingkungan kehidupan saya lebih mudah mengenali peta zonasi dan warnanya dari berita tevelisi maupun media massa, serta postingan Instagram dari akun media massa maupun akun resmi pejabat atau pemerintah daerah.

Peta zonasi yang disajikan sebagai infografis cenderung lebih mudah dikenali dan dipahami. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan kita mengakses media sosial dan membaca berita daring via gawai. Walaupun, untuk kalangan tertentu yang kerap berinteraksi dengan laptop atau komputer mempunyai kebiasaan pula mengakses situs web COVID-19. Sekarang ini tatkala peta zonasi telah berwarna hijau untuk wilayah NKRI, maka saya melihat peta yang tersaji pun tak lagi menjadi hal menarik untuk dibaca.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa data dan peta yang perlu disajikan saat ini adalah peta mobilitas penduduk. Sejumlah analisis yang disampaikan oleh Pemerintah bahwa perlunya antisipasi lonjakan akibat dinamika mobilitas penduduk pasca pelonggaran perlu pula diwujudkan dalam bentuk dasbor peta dan juga terintegrasi pada aplikasi pedulilindungi.

Kesadaran budaya (membaca) terhadap data dan informasi COVID-19 yang tersaji dalam bentuk peta, baik di web, aplikasi mobile, maupun media sosial perlu menjadi perhatian bersama.

Di sisi lain, kita perlu juga menyadari bahwa belum meratanya teknologi digital dan aksesibilitas terhadap informasi di Indonesia yang beragam karakteristik geografis serta penduduknya. Berbagai upaya pendekatan berbasis kemasyarakatan dan kearifan lokal perlu tetap dilakukan sebagai upaya menjaga kesehatan di tengah pandemi COVID-19.

Aji Putra Perdana Ph.D. Candidate Geo-Information Processing di Faculty of Geo-information Science and Earth Observation, University of Twente

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak