Sedikit banyaknya, akhir-akhir ini publik turut dihebohkan dengan kebijakan food estate. Tidak lain, adalah pengalaman traumatis masyarakat akan kegagalan kebijakan pertanian monolkultur pada rezim Soeharto melalui kebijakan Swasembada Pangan-nya. Dampaknya yang besar, jika gagal dalam mengawal realisasi food estate, tidak hanya menyasar pada sektor ekonomi, tetapi juga merusak atmosfer dan ekosistem lingkungan.
Merujuk pada Majalah Tempo, Proyek Food Estate, Mengulang Kesalahan Soeharto, penanaman jenis tumbuhan seragam dalam pertanian lumbung pangan cenderung bermasalah. Jika ditinjau, konsep lumbung pangan yang hendak dicanangkan belum pungkas secara tuntas, terlebih alih fungsi lahan yang membutuhkan dana besar dan rentan akan sumber penderitaan bagi warga sekitar.
Permasalahan itu sudah terlanjur dialami pada proyek Pembangunan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare era pemerintahan Soeharto.
Alih fungsi lahan gambut menjadi pertanian untuk mendulang swasembada pangan gagal. Alih-alih untuk memenuhi pembangunan ekonomi nasional, justru mengakibatkan pada banjir Kalimantan, belum termasuk kebakaran hutan dan lahan (karhutla). (Muhammad Noor, 2012)
Krisis sosial, ekologi dan budaya juga turut mewarnai kegagalan proyek PLG. Imbasnya, secara perlahan, hingga saat ini bekas gagalnya alih fungsi lahan gambut masih menjadi lahan kosong tanpa ada tindak lanjut. Sulit dipulihkan.
Yang sulit dipahami, ketika pemerintahan Jokowi kembali mengulang cerita lama yang menyisakan drama dan derita. Bahkan, pemerintahan sekarang mengkategorikan food estate dalam Proyek Strategis Nasional (Prolegnas). Melihat pengalaman sebelumnya, kebijakan ini riskan akan ragamnya masalah. Pun, bencana masif belakangan ini membuktikan kerusakan lingkungan parah terjadi sebagai imbas dari proyek pangan Orde baru.
Food estate sebagai pertanian monokultur dengan penggerak utama revolusi hijau untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi nasional perlu ditinjau sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Oleh karena itu, food estate adalah upaya kedok pemerintahan dalam privatisasi pangan. Permasalahan pangan harusnya disandarkan pada petani, bukan korporasi. Food estate adalah pertanian tanpa petani.
Ciptagelar dan Kendali Pangan
Bertolak dari kebijakan food estate yang ugal-ugalan, ‘kearifan lokal’ adalah solusi alternatif pemecahan problematika lingkungan yang sedikit banyaknya selalu menjadi momok simultan.
Dalam pembahasan ini, Kasepuhan Ciptagelar menjadi sorot bagaimana mampu menjaga ketersediaan pangan yang berkelanjutan. Terlepas dari tradisi adat yang dipercaya turun temurun, kajian konsep tipologi sistem pertanian Ciptagelar layak dijadikan pedoman.
Kasepuhan Ciptagelar adalah permukiman masyarakat tradisional di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang masih mempertahankan warisan budaya tradisional dan sistem pertanian. Ciptagelar adalah salah satu dari banyak masyarakat adat yang bersandar pada budidaya padi, seluruh sendi-sendi kehidupan disandarkan pada kalender siklus padi.
Menarik untuk dikaji dan dipelajari dari Kasepuhan Ciptagelar adalah pola dan format mereka dalam membudidayakan pertanian yang sustainable. Bahkan, sisa pasokan beras jauh melebihi kebutuhan masyarakatnya dalam setiap periode panen.
Keadaan tersebut tentu tidak bisa lepas dari pola konsumsi pangan masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, demografi dan faktor gaya hidup. Ada beberapa poin yang menjadi pembeda antara konsep pertanian tradisional yang turun temurun dilanggengkan oleh Kasepuhan Ciptagelar dengan pola pertanian modern yang akhir-akhir ini menjadi cita dan tujuan primer pemerintah. (Linda Dwi Jayati, dkk, 2014)
Secara khusus, yang membedakan sistem pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dengan sistem pertanian masyarakat modern adalah sifat kealamiannya serta adanya aturan-aturan adat setempat dalam setiap prosesi pertanian, antara lain; pertama, hanya memperbolehkan masyarakat setempat menanam padi sekali dalam setiap tahunnya; kedua, selalu menggunakan bibit lokal dan alat-alat pertanian tradisional; ketiga, adanya upacara-upacara adat dalam setiap rangkaian kegiatan bertani. (Ilham Rohman, dkk, 2018)
Kearifan lokal tersebut terlihat dari kepatuhan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar terhadap tradisi kultur dan patuh terhadap pemimpin adat. Hal yang bisa dilacak adalah adanya pelaksanaan ajaran tatali paranti karuhan dan Leuit si Jimat sebagai lumbung padi yang dimiliki oleh pemimpin adat.
Selain itu, sistem pertanian di masyarakat Ciptagelar memiliki dua jenis sawah; pertama, sawah, yang sumber airnya berasal dari sungai-sungai dan mata air-mata air; kedua, sawah huma, kegiatan cocok tanam di ladang tanpa diari air. Dan pengelolaan sumberdaya hutan yang terintegrasi dengan pertanian secara tradisional ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari.
Penyimpanan hasil panen di kalangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dilakukan dalam pranata ekonomi lokal, yang dikenal sebagai sistem leuit atau lumbung padi. Dengan jumlah satu hingga lima leuit, dapat menampung 300-1000 pocong padi yang tersimpan dengan keadaan tidak dipisahkan dari tangkainya, tetap bergantung dalam keadaan terikat menggunakan tali bambu (pocongan).
Kearifan lokal sistem budidaya pertanian masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sebaiknya dipertimbangkan dalam mengembangkan konsep pembangunan pertanian berkelanjutan. (Ikmaludin, dkk, 2018:15)
Uraian di atas adalah pembahasan ringkas mengenai bagaimana pola dan sistem budidaya pertanian yang dicanangkan oleh masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Upaya pemenuhan ketersediaan pangan yang berkelanjutan tidak harus melalui revolusi hijau atau pertanian monokultur yang realitanya rentan akan berbagai masalah yang ditimbulkan, berkaca pada tipologi budidaya pertanian Kasepuhan Ciptagelar (dan masyarakat adat lain) bisa menjadi refleksi dan cermin untuk pemerintah atas solusi pangan.
Ketersediaan pangan adalah permasalahan fundamental dalam setiap negara. Indonesia yang dikenal dengan negara agraris, berjuta-juta hektare lahan sawah belum mampu mencukupi dan memehuni kebutuhan pangan warga negara. Ini menjadi indikasi bahwa selama ini pemerintahan belum cakap dalam pengelolaan dan pembudidayaan pangan.