Saat mendengar nama Muhammad Fatah, bisa jadi tidak semua orang tahu. Namun, kalau diganti Lucinta Luna, saya kok yakin persentasenya orang tahunya akan meningkat drastis.
Sudah tiga tahun terakhir ini, Lucinta Luna banyak menjadi pro dan kontra di masyarakat. Apapun tingkah polahnya seakan tidak luput dari kontroversi. Tak heran, beberapa saat lalu pengakuan Lucinta Luna di kanal YouTube Boy William langsung ditonton jutaan orang.
Pengakuannya menurut saya bukan lagi hal baru. Terkait bagaimana lingkungan bisa mengubah kepribadian seseorang. Tentang bagaimana hal baru yang dibiasakan akan mampu membentuk karakter seseorang. Kekuatan impian menjadi terkenal dan kaya akan membuat seseorang mau melakukan apapun juga.
Satu yang ingin sedikit saya bahas tentang bagaimana Lucinta Luna tadi mengaku di-bully teman-teman sekolahnya, dan hal itulah yang antara lain memicu dia untuk berubah.
Belum lama ini, kita mendengar bagaimana seorang anak SD di-bully habis-habisan di ruang kelasnya yang dikunci. Anak SD tersebut kesakitan, hingga masuk IGD. Belum lagi rombongan pelajar susur sungai Ciamis yang menelan banyak korban.
Kejadian-kejadian tadi, baik yang berada di dalam ataupun luar lingkungan sekolah, selagi masih dalam acara atau kegiatan institusi pendidikan terkait, harus benar-benar menjadi perhatian untuk dicari solusinya segera.
Memang tidak mungkin, satu orang guru di kelas mengawasi satu persatu siswanya. Oleh sebab itu, diperlukan peran orang tua yang lebih aktif dalam pengawasan dan ngobrol dengan anak tentang kesehariannya di sekolah. Namun, upaya apapun perlu terus dicari dan dikembangkan demi kesehatan fisik maupun psikis anak-anak Indonesia.
Melihat dari cerita versi Lucinta Luna di atas, tentang kondisi SMK, memang tidak bisa kita telan mentah-mentah tanpa mencari tahu kebenaran ceritanya. Namun, seandainya hal itu terjadi, bisa jadi bukan hanya kasus pertama saja, dan mungkin masih terjadi di sekolah-sekolah kita.
Dengan sudah dimulainya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas di beberapa sekolah, sudah semestinya ditingkatkan pengawasannya. Apabila sebelum pandemi saja kasus-kasus bullying bisa luput dari perhatian, apalagi pengawasan terhadap protokol kesehatan (Prokes) di sekolah.
Apabila masih banyak orang dewasa yang sudah mulai abai terhadap Prokes, bagaimana kita mengharap anak-anak kita akan menaatinya, apalagi pelajar Sekolah Dasar.
Saya pribadi belum mengizinkan anak saya yang saat ini duduk di kelas 6 SD untuk hadir fisik di sekolahnya. Bukan tidak mendukung PTM terbatas oleh pemerintah, tetapi saya masih ingin melihat situasi pasca diberlakukannya PTM ini. Apalagi anak saya sendiri belum mendapat vaksinasi.
Kembali ke kasus bullying di sekolah tadi. Dalam hal ini saya setuju, tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah saja, tetapi juga peran orang tua. Meski begitu, sudah semestinya kalau kita meninggalkan anak kita di sekolah, apalagi di jam pembelajaran, keamanan semestinya terjaga. Kalau di lingkungan sekolah saja tidak bisa memberikan keamanan, bagaimana dengan di luar?
Adanya pandemik ini setidaknya bisa menjadi waktu refleksi bagi sistem pengawasan di sekolah. Apakah sistem yang ada saat ini sudah baik atau belum. Dengan sebagian anak yang tidak mengikuti PTM terbatas, setidaknya beban guru untuk mengawasi anak akan berkurang.
Kalau dalam masa pembatasan saja pengawasan masih tidak maksimal, bagaimana nanti setelah semua sekolah dibuka dan kehadiran siswa secara penuh. Betapa akan sulitnya pihak sekolah melakukan pengawasan yang lebih maksimal terhadap aktivitas anak.
Jangan sampai lagi ada kasus-kasus seperti contoh di atas. Jangan sampai ada kasus bullying lagi di sekolah, khususnya di tingkat dasar. Tingkat pendidikan ini merupakan tahapan penting untuk membentuk karakter anak. Tahapan ini akan sangat membentuk sikap anak kita di masa mendatang.