Stigma Masyarakat Terhadap Ruang Kehidupan Anak Penderita HIV

Ayu Nabila | khadijah hanina
Stigma Masyarakat Terhadap Ruang Kehidupan Anak Penderita HIV
Berbagi sedekah bersama teman-teman untuk orang-orang yang membutuhkan (DocPribadi/Khdjhhanina)

Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan penyakit infeksi virus yang menyerang sel darah putih (limfosit), sehingga merusak sistem kekebalan tubuh, akibatnya sistem imun akan semakin lemah dan mudah terserang penyakit lain. Seseorang yang terinfeksi HIV bila tidak diberi pengobatan dapat bertahan hidup selama 9-11 tahun.

Virus HIV bisa menular melalui cairan sperma, cairan miss v, dan darah penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain. Hal tersebut dapat terjadi melalui kegiatan reproduksi, suntikan, dan transfusi darah. Sementara, Infeksi pada anak dapat tertular saat ibu (penderita HIV) mengandung dan menyusui. 

Tingginya penolakan masyarakat atas kehadiran penderita HIV diakibatkan oleh stigma (Maman S, Abler L, Parker L, Lane T, Chirowodza A, Ntogwisangu J, et, 2009). Stigma masyarakat terhadap penderita HIV, berasal dari pemikiran individu yang menganggap penyakit ini adalah sebuah kutukan dari tuhan atas perilaku amoral. Sehingga stigma ini tergambar dalam sikap sinis, pengucilan, dan diskriminasi. Hal ini menyebabkan anak penderita HIV mendapatkan perlakuan yang kurang adil dalam kehidupannya. 

Studi penelitian menunjukkan 49,7% dari responden memiliki sikap negatif terhadap penderita HIV (Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., 2015). Bentuk-bentuk dari sikap negatif ini antara lain anak dilarang bermain bersama dengan anak penderita HIV, atau yang disingkat dengan ADHA (Anak Dengan HIV/AIDS), tidak mau menggunakan toilet bersama penderita, bahkan keluarga dekat pun menolak merawat anak penderita HIV yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Sehingga, risiko yang terjadi ialah pengucilan dari lingkungan dan masyarakat, yang membuat mereka kehilangan kebutuhan primer seperti rumah dan pendidikan. 

Jika kita renungkan, beban anak-anak ini tidak seharusnya diterima oleh mereka, sebab mereka tidak melakukan perbuatan yang tercela. Hanya saja mendapatkan dampak atau penularan dari kedua orang tuanya yang menderita HIV. Padahal, anak-anak penderita HIV juga memiliki hak untuk dilindungi. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 mengenai pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada anak, di antaranya yaitu anak dengan HIV.

Layaknya anak pada umumnya, mereka juga memerlukan tempat tinggal agar merasakan kehangatan keluarga dalam rumah, serta pendidikan yang mampu menunjang keberlangsungan hidupnya. Semua hal itu dapat tercapai apabila adanya dukungan sosial dari seluruh masyarakat untuk mengembangkan kualitas hidup anak penderita HIV. Dukungan sosial ini bisa berupa perhatian, penghargaan, dan kenyamanan. Dukungan sosial sangat diperlukan bagi anak penderita, agar meningkatkan rasa kepercayaan dalam diri dan mampu membangkitkan mental serta semangat untuk menghadapi rintangan kehidupan. 

Sebagai pemuda-pemudi, kita harus peduli pada seluruh anak bangsa. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan kita bersama. Sudah sepatutnya kita saling merangkul dalam memberikan dukungan kepada sesama dan tak terkecuali kepada anak penderita HIV, mereka memiliki hak untuk diberikan keadilan, kenyamanan, serta fasilitas ruang kehidupan agar mereka dapat meraih cita-cita tanpa ada stigma buruk yang menimpa. Oleh karena itu, mereka semua berkesempatan untuk meraih kesuksesan yang mereka impikan.

Menjadi manusia yang berbudi luhur sudah seharusnya kita dapat menyantuni anak-anak yatim, berbuat baik kepada siapapun, tanpa melihat latar belakangnya, serta memiliki nilai-nilai toleransi sesama manusia yang memiliki segala perbedaan. Hal inilah yang bisa kita jadikan prinsip atau pegangan hidup untuk bersikap baik dan adil kepada siapapun termasuk memberikan ruang kehidupan bagi anak-anak penderita HIV, terlebih lagi kepada mereka yang telah kehilangan orang tuanya akibat penyakit HIV/AIDS.

Untuk membuka kacamata dari stigma yang menimpa anak-anak penderita HIV, diperlukan influencer yang mampu mengajak masyarakat dalam membantu menyuarakan anti diskriminasi dan memberikan ruang kehidupan bagi anak-anak penderita HIV. Sebab, seperti yang kita tahu bahwa banyak dari mereka mendapat perlakuan tak setara hanya karena virus tersebut.

Bella Anggela, influencer asal Indonesia pernah mengatakan “yang harus dijauhi itu virus HIV bukan orangnya.” Bella Anggela merupakan salah satu influencer yang turut menyuarakan kesejahteraan bagi anak-anak penderita HIV. Dalam kontribusinya Bella mengajak para artis dan influencer untuk turut membantu anak penderita HIV melalui gerakan ‘‘ Teaching Saturday.’’

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak