Fase dalam kehidupan yang (menurut saya) paling menyenangkan adalah fase anak-anak. Pada fase tersebut, kebahagiaan yang dirasakan sangat murni, tanpa rekayasa. Selain itu, pada masa kanak-kanak pikiran belum terdistraksi oleh masalah-masalah kehidupan seperti uang, pasangan, atau sekadar waktu luang yang kerap kali menjadi dilema bagi manusia dewasa. Bicara soal anak-anak, sebenarnya usia berapa saja yang bisa digolongkan sebagai anak-anak?
Laman wikipedia.org melansir, usia yang disebut sebagai anak-anak adalah 1 sampai 12 tahun. Hal tersebut kemudian dibagi menjadi dua yakni anak kecil (early childhood) yang berusia 1 sampai 6 tahun, dan anak besar (later childhood) yang berumur 6 sampai 12 tahun. Disadari atau tidak, anak-anak adalah pembelajar yang terbaik. Mereka acap kali begitu mudah meniru apa yang dilihat dan apa yang didengar. Dengan demikian, maka sangat tak mengherankan bagaimana orang tua memperlakukan anaknya bisa membentuk karakter sang anak.
Pola asuh orang tua memang sangat berpengaruh terhadap seperti apa anak itu nantinya. Apabila orang tua mengasuh dengan kekerasan, maka kemungkinan besar anak tersebut karakternya akan menjadi keras. Pun demikian sebaliknya. “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” begitu kiranya ilustrasinya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anaknya sopan santun dan ‘dengan cara yang baik’. Karena dengan begitu, kemungkinan keberhasilan didikan orang tua akan lebih besar.
Pertanyaannya, mengapa anak harus diajarkan pasal sopan santun? Istilah lain untuk menyebut sopan santun adalah akhlak. Membahas soal akhlak pastinya tak bisa dilepaskan dari visi Nabi saw sendiri yakni “menyempurnakan akhlak mulia.” Artinya, ketika anak diajarkan sopan santun (akhlak) itu sama dengan mengimplementasikan visi Nabi saw. Selain itu, akhlak juga merupakan penentu takdir seseorang. Selaras dengan ungkapan bahwa karaktermu (akhlakmu) adalah takdirmu.
Salah seorang filsuf Yunani, Demokritos memberikan analogi sederhana terkait ungkapan di atas. Ia menyatakan, “Jika karaktermu adalah keledai, maka engkau akan lebih memilih jerami daripada emas. Apabila karaktermu seperti babi, maka kamu akan lebih memilih lumpur daripada air bersih.” Dari sini akan lebih mudah dimengerti mengapa karakter menjadi penentu dari takdir. Alasan-alasan termaktub nampaknya cukup substansial untuk menjawab pertanyaan mengapa anak perlu didikan sopan santun.
Bicara soal santun, ada banyak sekali unsur-unsurnya. Contohnya kejujuran, mengakui kesalahan, bertutur kata yang baik, menghargai orang lain, mengurangi ego diri sendiri, dan semisalnya. Semua penting sebagai bekal manusia yang notabene merupakan makhluk sosial (makhluk yang tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan dari yang lain). Lantas, apakah semua unsur sopan santun tersebut masih dibutuhkan di era modern seperti sekarang? Jawabannya, masih dan akan terus dibutuhkan, kapan pun dan di mana pun.
Apalagi saat ini eranya era digital di mana hampir seluruh aktivitas manusia berlangsung melalui gadget, bahkan banyak anak-anak yang turut menjalani proses ini. Hal tersebut berbanding lurus dengan jumlah pengguna internet yang tentunya telah mencapai titik tidak lagi bisa dikatakan sedikit. Survei dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan bahwa pada tahun 2018 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171, 17 juta jiwa. Angka tersebut juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yakni 30 juta tahun.
Melihat data tersebut maka bisa dinyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah beralih dari masyarakat konvensional menuju masyarakat digital. Lalu apa hubungannya dengan pentingnya sopan santun di era semacam sekarang? Dunia maya adalah dunia di mana tabir antara ruang publik dan ruang privat menjadi sangat kabur. Dalam dunia maya, orang bisa menyebarkan opini-opininya terhadap suatu problematika, di sisi lain orang juga bisa memfungsikan dunia maya sebagai tempat curhat. Semua bercampur baur dalam satu tempat sehingga sulit diketahui mana yang benar dan mana yang salah.
Dengan demikian, maka penggunaan gadget harus disertai kehati-hatian, etika. Sebab, tanpa kehati-hatian dan etika alih-alih menuai manfaat dari gadget, orang justru akan mendapat kerugian karenanya. Bahkan, bisa jadi yang tak hati-hati dia tapi yang kena imbasnya justru orang lain. Itu disebabkan oleh hal yang telah disebutkan tadi, ruang publik dan ruang privat yang tabirnya tak jelas. Oleh sebab itu, orang tua harus mendidik anak tentang bagaimana menggunakan gadget yang seharusnya, khususnya dalam penggunaan media sosial. Hal ini tentunya mengingat banyaknya kasus permasalahan yang terjadi akibat kurang bijaksananya pengguna media sosial.
Di daerah saya pernah terjadi kesalahpahaman akibat status Whatsapp. Waktu itu, ada seorang siswa yang menulis di status Whatsapp-nya bahwa para alumni dari jenis sekolah A (termasuk dirinya) akan menjadi orang-orang golongan atas, sementara alumni dari jenis sekolah B hanya akan menjadi orang-orang bawahan. Tak butuh waktu lama, esoknya para siswa dari salah satu sekolah jenis B langsung menyerbu salah satu sekolah yang berjenis A (sebut saja A2). Tak tanggung-tanggung, mereka menyerbu dengan membawa senjata tajam.
Para penghuni sekolah A2 menjadi bingung dan takut karena sebenarnya mereka tak tahu-menahu tentang problematika tersebut. Pelakunya pun bukan berasal dari sekolah mereka, melainkan dari sekolah jenis A yang lain (sebut saja A1). Beberapa guru dari sekolah A2 kemudian berusaha menjelaskan baik-baik duduk perkara yang sebenarnya. Akhirnya para penyerbu pun pulang dan baku hantam (akibat status Whatsapp) bisa terhindarkan. Dari sini bisa diketahui bahwa status Whatsapp yang nampaknya sepele ternyata bisa membawa kerugian yang sangat besar apabila penggunanya ceroboh.
Oleh karena itu, suatu keharusan bagi orang tua untuk memberitahu anaknya bahwa tak semua hal bisa dibagikan di media sosial. Ada batas-batas yang tak boleh dilanggar, dimana batas-batas tersebut berkaitan dengan hak orang lain yang mesti dihormati. Apa yang berlaku di dunia nyata itu juga berlaku di dunia maya. Bila di dunia nyata kita harus respect kepada orang lain, pun begitu dengan di dunia maya. Jika di dunia nyata kita harus mengetuk pintu dan mengucap salam ketika hendak bertamu, maka di dunia maya juga berlaku seperti itu (mengucapkan salam pembuka ketika hendak berkomunikasi, khususnya ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua).
Semua itu harus diajarkan kepada anak-anak, sebab bila tidak demikian mereka akan menggunakan media sosial sesuka hati mereka. Disadari atau tidak, mayoritas orang lebih berani berekspresikhususnya perihal kebenciandi media sosial. Penyebabnya adalah di media sosial identitas bisa disembunyikan, sehingga orang tidak akan mudah mengetahui siapa kita sebenarnya bila kita menggunakan identitas palsu. Meski begitu, ada juga orang yang berani mengungkapkan kebenciannya tanpa menutupi identitasnya yang sebenarnya.
Ada sebuah cerita yang unik, dari seorang siswa yang masih duduk di sekolah dasar. Waktu itu, mata pelajarannya adalah matematika. Karena pembelajaran dilaksanakan secara daring, sang guru pun menjelaskan materinya melalui sebuah video yang ia buat sendiri. Selesai menjelaskan, guru tersebut kemudian memberi tugas kepada para muridnya. Semua itu berlangsung di grup Whatsapp kelas.
Tanpa disangka-sangka, ada salah satu murid yang membalas pesan (penjelasan dan tugas) dari sang guru dengan kalimat yang jauh dari kata sopan. Ia menuliskan, “Anda membuat otak orang jebol!”. Masyaallah! Saya sendiri bertanya-tanya dimana rasa hormat murid tersebut kepada sang guru. Di sinilah bisa diketahui pentingnya didikan orang tua terhadap anaknya tentang etika bermedia sosial. Jadi, mari ajarkan anak-anak kita tentang bagaimana media sosial harus digunakan, supaya yang dituai darinya adalah manfaat bukan mudharat!