Berbicara soal pendidikan atau pembelajaran selalu erat kaitannya dengan peran guru. Di masa pandemi seperti saat ini, tentu banyak perubahan yang menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Salah satunya menyoal pembelajaran daring, yang tidak hanya guru melainkan peserta didik masih mencoba untuk beradaptasi pada kebiasaan baru tersebut.
Tak terasa, sudah 1 tahun lebih pembelajaran daring dilaksanakan. Muncul beragam permasalahan di awal pelaksanaannya. Meski begitu, seiring waktu berjalan, sebagian permasalahan tersebut telah menemukan jalan keluarnya. Tak sedikit orang yang mengeluhkan sistem pembelajaran daring, tapi di sisi lain ada juga yang justru terbiasa dengannya.
Mendengar kabar bahwa Januari 2022 pembelajaran akan kembali dilaksanakan secara offline secara bertahap, tentu ini merupakan kabar yang menggembirakankhususnya bagi mereka yang sudah jenuh dengan daring. Namun, nampaknya belum ada kepastian yang benar-benar bisa dipercaya terkait hal tersebut. Bila memang batal terlaksana, semoga kita bisa beradaptasi dengan sistem daring. Sebab, bisa jadi ini merupakan masa transisi menuju digitalisasi zaman.
Bicara soal sistem pembelajaran daring, di setiap tempat pada tiap tingkat pendidikan memiliki metode pelaksanaan masing-masing. Selain karena belum adanya kurikulum yang menjadi acuan tentangnya, kondisi wilayahdalam hal ini ketersediaan jaringan internetjuga berpengaruh terhadap bagaimana pelaksanaan sistem daring.
Pada tingkat perguruan tingi, mayoritas kampus melaksanakan pembelajaran melalui virtual conference. Namun, hal termaktub tentu tak bisa diaplikasikan pada tingkat sekolah dasar awal, mengingat para peserta didiknya memiliki tingkat imajinasi yang lebih tinggi dibandingkan tingkat logika.
Sebab (sepertinya) belum ditemukan alternatif lain, maka pembelajaran daringkhususnya pada tingkat sekolah dasardiwujudkan dalam bentuk pemberian tugas. Senin sampai Sabtu, mulai jam 7 pagi hingga 12 siang kiriman tugas untuk peserta didik tak berhenti mengalir. Hal ini bahkan tak jarang ditambah deadline pengumpulan yang sangat singkat. Dua hal tersebut membuat pembelajaran bukan lagi terasa membosankan, ia malah lebih berbentuk seperti siksaan. Sungguh miris! Apakah peran (tugas) guru di tengah pembelajaran daring hanya sekadar memberi tugas?
Dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dalam pasal 1 disebukan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan penidikan menengah.” Pasal tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa tugas guru lebih dari sekadar memberi tugas. Apabila dalam sebuah proses pembelajaran seorang guru ‘hanya’ memberi tugas, bukankah hal tersebut sama dengan menyalahi fitrahnya sebagai guru itu sendiri!?.
Oleh sebab itu, agaknya para guru perlu merenungkan kembali tugas apa saja yang telah dituanikan, khususnya sejauh pemberlakuan pembelajaran daring hingga saat ini. Suka atau tidak, membimbing dan mengarahkan peserta didik juga merupakan tugas utama seorang guru. Di tengah ‘belajar dari rumah’ seperti sekarang, nampaknya bimbingan dari guru sangat diperlukan. Bahkan intensitas dibutuhkannya lebih tinggi ketimbang saat pembelajaran dilaksanakan secara luring.
Bimbingan dan arahan di sini tak hanya tentang pemahaman terhadap materi pelajaran. Ia juga mencakup bimbingan dan arahan terhadap karakter peserta didik. Mengapa demikian? Sebab, seperti sudah diketahui oleh semua orang bahwa ‘guru’ merupakan akronim dari “Digugu dan ditiru”. Artinya, seorang guru harus mampu menjadi role model bagi para peserta didiknya. Namun, sayangnya hal ini terhalang oleh tembok yang bernama pembelajaran daring.
Begitulah, dalam pembelajaran daring pastinya tidak terjadi tatap muka (secara langsung) antara guru dan peserta didik. Hal ini membuat guru tak bisa menunjukkan teladan yang baik kepada para peserta didik. Tak berhenti di situ, tantangannya masih ditambah lagi dengan kedekatan peserta didik dengan internet. Tak menutup kemungkinan mereka justru lebih memilih untuk menjadikan apa yang mereka lihat di internet sebagai role model dibandingkan guru mereka sendiri. Bila yang dilihat bersifat positif tentu tak masalah, tapi jika sebaliknya?.
Melihat kerentanan di atas, maka adalah sebuah keharusan bagi guru untuk mengarahkan dan membimbing para peserta didik supaya mereka bisa mengambil manfaat dari internet. Hal ini tentu dibantu oleh pantauan setiap orang tua terhadap anaknya masing-masing dalam penggunaan gawai.
Seperti itulah idealnya. Meskipun pembelajaran dilaksanakan secara daring, tugas guru tak lantas berubah menjadi sekadar memberi tugas. Walaupun belum ditemukan alternatif lain yang lebih baik daripada pemberian tugas kepada para peserta didik dalam pembelajaran daring, esensi guru masih tetap mencakup semua yang disebutkan dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 1). Dan esensi tersebut tentu harus diimplementasikan.
Namun, ada hal lain yang lebih penting untuk dipertanyakan ketimbang tugas guru di tengah pembelajaran daring. Ia adalah kesejahteraan guru. Menjadi guru memang tak pernah berwujud hal yang mudah. Selain berkewajiban untuk mengentaskan peserta didik dari ketidakpahaman, guru pun dituntut mampu mendidik peserta didik menjadi warga negara yang baik. Sayangnya, tugas berat nan mulia itu mendapat feedback yang tak setimpal.
Bila hal itu terus terjadi, tak menutup kemungkinan negeri ini akan mengalami krisis guru. Sebab, orang-orang akan menganggap bahwa menjadi guru hanya akan mendapat lelah. Jadi pertanyaannya, kapankah guru di Indonesia bisa memperoleh kesejahteraan? Semoga semua guru-guru kita diberi kekuatan dan keberkahan oleh-Nya. Aamiin.