Eksistensi bahasa Indonesia yang dicanangkan berpotensi menjadi bahasa internasional dan instrumen soft power diplomacy semakin gencar dikembangkan melalui program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau yang dikenal dengan BIPA. Data tahun 2022 yang disadur dari laman BIPA Kemdikbud mencatat bahwa terdapat 279 penugasan program BIPA dengan jumlah 10.730 pemelajar di lebih dari 38 negara di dunia.
Selain itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud telah memfasilitasi 146 lembaga berbagai negara yang tersebar di seluruh dunia (Oktari, 2020). Target bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional atau bahasa resmi PBB tentunya menjadi sebuah tantangan besar yang dalam perjalanannya dibutuhkan perjuangan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di lapangan termasuk bagi para pengajar BIPA. Masalah merupakan kesenjangan yang terjadi antara teori dan kenyataan yang diharapkan. Kendala tersebut harus mampu diselesaikan dengan bijaksana agar tidak ada kesenjangan antara teori yang praktek.
Salah satu masalah yang terjadi di lapangan ketika penulis mengajar BIPA adalah kesenjangan yang terjadi antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan sebaliknya (Kurniawan, 2015). Apabila hal tersebut tidak diperhatikan secara khusus, maka gegar budaya akan semakin menghantui dan menurunkan minat serta motivasi pemelajar.
Hal ini selaras dengan pernyataan Grabe (1986) bahwa masalah belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Maka dari itu dibutuhkan bahan ajar yang fungsional, tepat, dan menyenangkan untuk menunjang pembelajaran bahasa asing, dalam hal ini bagi pemelajar asing yang mempelajari bahasa Indonesia.
Pemilihan bahan ajar yang utilitarian disesuaikan dengan jenjang atau level pemelajar BIPA. Permendikbud Nomor 27 tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Lulusan menjabarkan bahwa terdapat tujuh jenjang dalam pembelajaran BIPA dengan ruang lingkup sebagai berikut.
- BIPA 1–Mampu memahami dan menggunakan ungkapan konteks perkenalan diri dan pemenuhan kebutuhan konkret sehari-hari dan rutin dengan cara sederhana untuk berkomunikasi dengan mitra tutur yang sangat kooperatif;
- BIPA 2–Mampu mengungkapkan perasaan secara sederhana, mendeskripsikan lingkungan sekitar, dan mengkomunikasikan kebutuhan sehari-hari dan rutin;
- BIPA 3–Mampu mengungkapkan pengalaman, harapan, tujuan, dan rencana secara singkat dan koheren dengan disertai alasan dalam konteks kehidupan dan tugas kerja sehari-hari;
- BIPA 4–Mampu melaporakan hasil pengamatan atas peristiwa dan mengungkapkan gagasan dalam topik bidangnya, baik konkret maupun abstrak, dengan cukup lancar tanpa kendala yang mengganggu pemahaman mitra tutur;
- BIPA 5–Mampu memahami teks yang panjang dan rumit serta mampu mengungkapkan gagasan dengan sudut pandang dalam topik yang beragam secara spontan dan lancar hampir tanpa kendala kecuali bidang keprofesian dan akademik;
- BIPA 6–Mampu memahami teks yang panjang, rumit, dan mengandung makna tersirat serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa yang jelas, terstruktur, sistematis, dan terperinci secara spontan dan lancar sesuai dengan situasi tutur untuk keperluan sosial dan keprofesian, kecuali dalam bidang akademik yang kompleks (karya ilmiah);
- BIPA 7–Mampu memahami informasi hampir semua bidang dengan mudah dan mengungkapkan gagasan secara spontan, lancar, tepat dengan membedakan nuansa-nuansa makna, serta merekonstruksi arhumen dan data dalam presentasi yang koheren.
Berdasarkan kesesuaian ruang lingkup capaian pembelajaran SKL BIPA, penulis menelaah jenjang BIPA 4 di kelas BIPA yang berada di sekolah menengah yang terletak di Victoria, Australia. Bahan ajar dipilih sesuai dengan jenjang dan kemampuan pemelajar yakni dengan pembelajaran materi otentik (authentic materials). Materi otentik yang mengandung unsur budaya Indonesia dipadupadankan dengan model discovery learning, bertujuan untuk memberikan alternatif yang memperlihatkan pemanfaatan kemasan produk sebagai salah satu jenis materi otentik dalam pembelajaran imbuhan di kelas bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) 4.
Kemasan dan label produk dalam Richards dan Reppen (2014) disebutkan sebagai salah satu jenis teks tertulis yang termasuk dalam daftar the Common European Framework of Reference for Languages (CEFR). Penggunaan materi otentik diyakini dapat menumbuhkan motivasi dan ketertarikan pemelajar dalam mempelajari suatu bahasa asing. Selain itu, materi otentik membantu pemelajar menyadari hubungan antara bahasa yang diperkenalkan di kelas dan bahasa yang digunakan di luar kelas.
Merujuk pada filsafat ilmu, tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Suriasumantri, 1987:2). Ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bahtiar, 2012:134).
Adapun menurut Dasuki (2019) ontologi merupakan pembahasan dalam rangka untuk mencari atau mendapatkan hakikat dari sesuatu. Materi otentik adalah materi yang dibuat untuk suatu keperluan di dunia nyata dan biasanya ditujukan untuk penutur jati (Polio, 2014). Materi otentik merupakan materi yang digunakan di dalam kelas bahasa, akan tetapi tidak dirancang secara khusus untuk keperluan pembelajaran atau pengajaran bahasa, melainkan diperuntukkan untuk keperluan sehari-hari. Materi-materi tersebut merupakan fakta bahasa asli, baik lisan maupun tulisan, yang diperoleh dari berbagai sumber yang berbeda.
Tomlinson (2008:4) menyatakan bahwa prasyarat bagi pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah pengalaman yang banyak tentang bahasa dalam penggunaannya, dan materi yang baik bagi semua level pembelajar yakni yang memberikan exposure atau pemajangan bagi pengguna bahasa asing yang otentik baik dalam bentuk lisan maupun tertulis, yang dapat mengikat pemelajarnya secara kognitif maupun afektif. Hal ini dapat dicapai melalui materi otentik yang disesuaikan dengan kebutuhan pemelajar BIPA.
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan atau lebih menitikberatkan pada sebuah proses pencarian ilmu (William, 1965, dalam Suriasumantri, 2005). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Dikemukakan oleh Richards (2006) bahwa argumen-argumen yang mendukung penggunaan materi otentik di kelas bahasa adalah sebagai berikut;
- Materi otentik menyediakan informasi kultural tentang bahasa target;
- Materi otentik menyediakan pemajanan pada bahasa asli;
- Materi otentik berkaitan lebih dekat dengan kebutuhan pemelajar;
- Materi otentik membantu ancangan pengajaran yang lebih kreatif.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka dipilih materi otentik berupa kemasan produk yang asli berasal dari Indonesia sebagai refleksi kultural bahasa target yang mengandung bahasa Indonesia dalam kemasan tersebut. Kemasan produk khas Indonesia dipilih karena berkaitan dengan kebutuhan pemelajar BIPA yang tinggal di Indonesia dan membeli maupun mendapatkan produk tersebut, sehingga produk yang digunakan di dalam pembelajaran terasa lebih dekat dan fungsional bagi pemelajar serta meningkatkan kecintaan terhadap produk lokal negara target yakni Indonesia. Berikut merupakan contoh kemasan produk dalam materi otentik.
Aksiologi dalam filsafat ilmu merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1996). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia serta kajian tentang nilai-nilai khususnya etiket. Nunan dalam Elizabeth (2017) mengemukakan pentingnya pemelajar untuk mendengarkan dan membaca materi otentik yang beragam sebanyak mungkin. Itu akan membantu memotivasi pemelajar dengan membawa konten dan pokok bahasan lebih konkret bagi mereka dan memungkinkan mereka menciptakan kaitan yang penting antara dunia kelas dan dunia luar.
Selanjutnya ia menyoroti bahwa materi otentik menyediakan sumber yang bervariasi dan menarik bagi pemelajar di kelas. Materi-materi itu akan membantu pemelajar untuk memahami bahasa dengan lebih mudah dan mampu menggunakan bahasa itu dalam pembelajaran yang lebih bermakna karena mereka dihubungkan dengan kehidupan nyata.
Kelebihan dan kekurangan ketika menggunakan materi otentik dikemukakan oleh Gebhard (1996). Mengenai kelebihannya diungkapkan bahwa materi otentik dapat digunakan sebagai media untuk menghubungkan kegiatan-kegiatan kelas dengan dunia luar. Pemelajar akan diperkaya dengan bahasa di luar buku teks sehingga mereka dapat memperluas pengetahuan mereka tentang bahasa dari kelas ke penggunaan bahasa yang nyata di luar kelas.
Lebih lanjut lagi Gebhard menyampaikan bahwa materi otentik menawarkan sebuah cara untuk mengkontekstualisasikan pemelajaran bahasa. Materi otentik merupakan sumber yang berharga bagi masukan (input) bahasa. Dengan menyajikan materi otentik seperti peta sebuah daerah yang asli, menu restoran yang asli, atau brosur hotel yang asli di sekitar tempat tinggal mereka atau apa saja yang digunakan dalam kehidupan nyata, pemelajar akan cenderung lebih berfokus pada konten dan makna daripada hanya bahasanya. Mereka akan dipajankan pada penggunaan bahasa yang nyata selain pengetahuan tentang bahasa itu (Elizabeth, 2017).
Di samping kelebihan materi otentik, kekurangan dalam penggunaan materi otentik adalah mengumpulkan, menyeleksi, dan mencocokkan materi otentik dengan pelajaran-pelajaran tertentu dapat menghabiskan waktu yang lebih banyak. Selain itu, materi otentik kadang-kadang berisi kata-kata atau pilihan kata yang sulit dipahami oleh pemelajar. Untuk mencegah terjadinya hal itu, pengajar harus dengan cermat memilih materi otentik yang paling cocok bagi pemelajar sesuai dengan tingkat kemahiran pemelajar (Gebhard, 1996).
Tambahan pula, Kirana dalam Elizabeth (2017) menyatakan bahwa mempertimbangkan rancangan tugas juga penting dalam menggunakan materi otentik di kelas. Pengajar harus memperhatikan tingkat kesulitan tugas-tugas yang diaplikasikan dengan penggunaan materi otentik di kelas. Tugas-tugas harus sesuai dengan tingkatan siswa. Berbagai materi otentik dapat selalu disesuaikan dengan tingkatan siswa dan tujuan pelajaran yang tentunya memerlukan kreativitas dan inovasi pengajar.
Belajar bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya. Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sangat tinggi. Marsinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia, atau dengan kata lain kebudayaan adalah suatu sistem yang melekat pada manusia serta mengatur interaksi manusia di dalam bermasyarakat, maka bahasa adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut.
Unsur budaya dan bahasa merupakan dua hal yang perlu diperkenalkan sedini mungkin kepada pemelajar BIPA. Unsur budaya tersebut dapat diperoleh dari materi otentik dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan bahan ajar yang fungsional yaitu bahan ajar yang bersumber dari materi otentik, dengan kata lain pemelajar akan memperoleh kemudahan untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya. Pemelajar dapat lebih memahami kebermaknaan materi yang dipelajarinya karena mereka mengalaminya langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari (Kurniawan, 2015).
Penggunaan materi otentik yang digali melalui filsafat ilmu pada aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, diharapkan dapat semakin mengembangkan pembelajaran BIPA serta diharapkan dapat membantu meminimalisir gegar budaya yang terjadi pada pemelajar BIPA yang tinggal dan berinteraksi langsung dengan penutur jati baik di Indonesia maupun di luar negeri, serta menjadi sarana belajar yang efektif untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia secara lebih aktif dan kreatif.
Daftar Pustaka
Bahtiar, A. (2012). Filsafat ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 134
Chaer, A. (1995). Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Dasuki, M.R. (2019). Tiga aspek utama dalam kajian filsafat ilmu; ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia Sasindo Universitas Pamulang.
Dubin, F., dan D.E Eskey and W Grabe. (1986). Teaching second language: reading for academic purposes. Addison: Wesley Publishing.
Elizabeth, R. (2017). Pemanfaatan kemasan produk sebagai materi otentik dalam pembelajaran imbuhan di kelas bahasa indonesia bagi penutur asing (bipa). FIB Universitas Indonesia. Jlt-polinema.org.
Kurniawan, E. (2015). Materi otentik bermuatan budaya indonesia sebagai pengembangan bahan ajar bahasa indonesia bagi penutur asing (bipa). Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III. Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UNS.
Oktari, R. (2021). Bahasa Indonesia diminati banyak negara. Laman. Indonesia baik. Tersedia Diakses pada 2 Januari 2022.
Permendikbud. (2017). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Kursus Dan Pelatihan Bidang Keterampilan Kepemanduan Wisata, Pemeliharaan Taman, Pekarya Kesehatan, Petukangan Kayu Konstruksi, Pemasangan Bata, Perancah, Pemasangan Pipa, Mekanik Alat Berat, Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing, Pembuatan Batik Dengan Pewarna Ramah Lingkungan, Pembuatan Malam Batik, Pembuatan Batik Dengan Pewarna Sintetis, Pembuatan Alat Canting Tulis, Dan Pembuatan Canting Cap.
Polio, C. (2014). Using authentic materials in the beginning language classroom. Center for Language Education and Research, 18 (1), 1-5.
Richards, J C. (2006). Communicative language teaching today. Inggris: Cambridge University Press.
Richards, J C. dan Randi Reppen. (2014). Towards a pedagogy of grammar instruction. RELC Journal Vol. 45 (I), hlm. 525.
Suriasumantri, J.S. (1987). Filsafat ilmu: sebuah pengantar popular. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, J.S. (1996). Filsafat ilmu: sebuah pengantar popular. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, J.S. (2005). Filsafat ilmu; sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tomlinson, B. (2008). Material development in language teaching. Inggris: Cambridge University.