Program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) hadir sebagai bentuk komitmen negara dalam memberikan akses pendidikan tinggi yang merata. Lewat program ini, pemerintah ingin memastikan bahwa keterbatasan ekonomi tidak lagi alasan seseorang gagal menempuh bangku kuliah. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa niat baik ini sering kali disalahartikan oleh penerima dana program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) bahkan sering disalahgunakan.
Saya sendiri menyaksikan langsung seorang teman yang menerima dana KIPK, tapi menjadikannya sebagai fasilitas untuk hidup konsumtif. Setiap kali dana cair, ia lebih memilih membeli gawai terbaru, nongkrong di kedai kopi mahal, hingga berbelanja barang mewah lainnya. Tidak satu-dua kali. Aktivitas seperti ini bahkan seolah sudah jadi rutinitas. Dana yang seharusnya digunakan untuk menunjang pendidikan malah dihabiskan demi citra diri. Dan celakanya, fenomena ini merebak di banyak kampus.
Menurut data Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) pada 2023, tercatat lebih dari 900 ribu mahasiswa di seluruh Indonesia menjadi penerima KIP Kuliah. Jumlah yang besar ini menunjukkan betapa luasnya jangkauan program tersebut. KIPK sendiri mencakup pembiayaan kuliah dan tunjangan hidup bulanan. Bagi banyak mahasiswa, bantuan ini adalah penyelamat untuk penopang mimpi di tengah keterbatasan ekonomi. Namun, sangat disayangkan ketika dana itu diperlakukan seperti uang saku bebas guna.
Sebagian mahasiswa bahkan menjadikan bantuan ini seperti “gaji tetap” yang bisa digunakan untuk memenuhi gaya hidup kekinian. Nongkrong hampir setiap akhir pekan, ikut tren belanja daring, hingga berlibur sambil menyebutnya sebagai “healing”. Padahal, mereka lupa bahwa setiap rupiah dalam bantuan tersebut berasal dari uang rakyat. Dari petani, buruh, hingga nelayan yang mungkin saja belum tentu bisa menguliahkan anaknya.
Yang membuat hati semakin miris adalah bagaimana sebagian penerima bantuan justru menyembunyikan statusnya, membangun citra sebagai mahasiswa “berkelas” di media sosial. Alih-alih menjadi sosok inspiratif yang memanfaatkan bantuan untuk prestasi, mereka justru memperlihatkan sikap sebaliknya yang sering lupa akan makna integritas dan rasa tanggung jawab sosial.
Prof. Nizam, selaku Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, dalam sebuah wawancara media nasional awal 2024, pernah menegaskan bahwa mahasiswa penerima bantuan seharusnya tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki karakter dan etika sosial yang kuat. “Bantuan ini tidak sekadar angka di rekening. Ini adalah amanah untuk masa depan bangsa,” ujarnya.
Sayangnya, budaya gengsi yang hari ini begitu kuat di kalangan anak muda membuat segalanya jadi buram. Ada tekanan untuk terlihat ‘kaya’, ‘gaul’, dan ‘trendy’ di media sosial. Citra lebih diutamakan daripada substansi. Dalam konteks ini, pendidikan pun terpinggirkan. Kita menyaksikan bagaimana banyak mahasiswa mengorbankan nilai kejujuran hanya demi tampilan luar.
Namun tentu saja, kesalahan ini tidak sepenuhnya ditimpakan pada mahasiswa. Sistem pengawasan pun belum optimal. Tidak ada mekanisme yang benar-benar memantau apakah dana digunakan sesuai kebutuhan. Evaluasi hanya fokus pada kelulusan atau IPK, tanpa melihat etika pemanfaatan dana yang diberikan. Padahal, tanggung jawab moral tidak bisa diukur dengan angka semata.
Untuk itu, kritik harus diarahkan ke dua sisi sekaligus. Pertama, kepada mahasiswa yang menyalahgunakan kepercayaan negara. Kedua, kepada sistem yang belum memberikan pembinaan karakter dan evaluasi mendalam terhadap penerima bantuan. Jangan sampai KIPK hanya jadi angka statistik program sosial, tapi gagal dalam membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Program ini adalah bentuk nyata hadirnya negara. Tapi jika terus dimanfaatkan untuk hal-hal yang tak sesuai, kebermanfaatannya akan tergerus. Semua pihak punya peran. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan edukasi, kampus perlu membina karakter mahasiswa, dan mahasiswa itu sendiri harus menyadari tanggung jawab sosialnya.
Bantuan ini tidak diperuntukan sebagai ajang pamer dan untuk mengejar gengsi. KIPK adalah jembatan untuk mereka yang punya cita-cita besar namun terhambat oleh keadaan. Sudah seharusnya bantuan ini dimanfaatkan secara bijak, karena di balik angka yang dicairkan, ada harapan banyak orang.